Surat Terbuka kepada Pemilih Jokowi Sedunia

esai-surat-terbuka-pemilih-jokowi-mojok

Halo, teman-teman. Sudah makan?

Menyenangkan sekali ya, melihat mantan capres yang tempo hari kita dukung sekarang sudah bergerak dan bergerak. Bekerja dan bekerja. Percayalah bahwa kita, saya dan kalian semua, punya kontribusi dalam mendudukkan beliau di posisi tertinggi Republik Indonesia.

Di tengah kegembiraan itu, sebenarnya kita para pemilih Jokowi berada dalam situasi yang, ehm, rumit. Itu mesti disadari dan diakui.

Bagaimana tidak? Mulai Mas Jokowi dilantik hari itu, sebenarnya beban terberat bangsa ini ada di pundak kita. Iya, pundak kita. Lhooo, jangan ketawa, ini beneran!

Bayangkan saja, setiap saat kita para ex-jokower ini tegang. Saat penyusunan formasi kabinet kita tegang. Forum APEC kita tegang. Mas Joko jalan ke luar negeri kita tegang. Kenaikan BBM kita tegang. Penetapan Jaksa Agung kita tegang. Rentetan ketegangan yang nggak bakalan berhenti sampai bertahun-tahun ke depan! Aduduuuh.

Jelas saja tegang. Lha ya gimana, saat langkah-langkah Jokowi terindikasi ngawur, nggak sesuai janji kampanye, atau mengandung gelagat pelanggaran visi dan misinya, kita-kita ini yang dibuli! Masih mending kalau cuma teman Facebook atau Twitter yang ngebuli. Lha kalau pacar sendiri gimana dong? Kalau calon mertua sendiri? Pusiiiiing…

Kadang, sebagai orang terpelajar, sejujurnya sih kita mengakui ada kekeliruan-kekeliruan pada langkah Jokowi. Contoh yang paling anget ya penunjukan politisi Nasdem sebagai Jaksa Agung. Meski posisi Jaksa Agung setara menteri pun (yang artinya Presiden bebas memilih) toh logikanya posisi itu bakalan melempem ketika dekat dengan lingkaran-lingkaran kepentingan di sekelilingnya. Sementara, sebagai orang dekat Nasdem dan Pak Bos Brewok, dia kemungkinan ya… gimana ya. Ah, begitulah.

Rasanya jadi gatel banget, pengen protes keras ke Jokowi, nampol dia pakai seluruh akun media sosial. Facebook, Twitter, Instagram, Path, semua pingin kita kerahkan buat teriak, “Lhooo kok begini caranya, Mas? Masih banyak tokoh yang puluhan kali lebih hebat dari si Jaksa Agung baru ituuu!”

Sayang sekali, buat melontarkan kritik, kita terkendala satu hal: g-e-n-g-s-i. Iya, gengsi. Hahaha.

Mengkritik sosok yang sudah kita dukung berpeluh-peluh sampai bela-belain berantem tiap hari di Facebook dan Twitter, jelas sebentuk bunuh diri eksistensial. Ya, kan? Bayangkan saja, bakalan ada berapa banyak ex-prabower yang menyambut postingan kritis kita dengan penuh gairah. Semacam menerima lemparan bola lembut dari kita, untuk lantas men-smash-nya balik ke muka kita dengan kerasnya. Plakk!

Mereka itu emang masya Allah banget. Di bawah pimpinan Al-Mukarom Imam Jonru, sudah pasti mereka teriak: “Tuuuuh kan? Apa gw bilaaang?! Jokowi antek asing! Mana kerjanya cuma ngumpet di ketek Si Emak pula!” Atau, “Nah! Sekali lagi Jokowi menjilat ludah sendiri!! Ooo.. itu to yang kalian puja-puja macam nabi??” Dan sebagainya. Dan seterusnya. (Untung sekarang udah jarang terdengar yang pakai model-model “Buka mata!! Tanyakan pada hatimu!!” Kalau yang begitu-begituan ampun deh, Kakak.)

Dari semua ledekan, yang paling ngehek kalau ex-prabower sudah mulai ngomong, “Ah, andai Pak Prabowo yang jadi pemimpin kita, pastilah…. anu, anu, anu.” Jelas itu ngehek banget. Bagaimana bisa mereka mengandaikan begitu? Enak aja. Kita pun jadi ngebet menjawab, “Yeee, kalau Prabowo yang presiden, bakalan lebih parahh!! Emang dia bisa ngadepin tuntutan konsesi politik dari media besar yang selama ini bela dia mati-matian semacam punya Bakrie? Kalau Bakrie ngambek trus ngancam berbalik menentang, apa Prabowo berani? Belum lagi PKS, yang getolnya tiada tandingan itu? Apa bisa Prabowo menolak itu semua? Ha?!”

Kalau kita sudah menjawab begitu, kita dan mereka jadi sama-sama ngehek. Kenapa? Jelas dua-duanya nggak bisa dibuktikan, karena cuma “andai”. Lalu apa yang bisa diperdebatkan dari sebuah “andai”? Ini kan mirip kalau ada brondong songong bilang, “Ah, andai gue mau, tuh cewek udah pasti takluk sama gue. Cuma yaaa guenya yang enggak mau..” Noh, mau dijawab gimana, coba?

Tapi ya sudah. Harap kalian pahami dan sadari saja: ngeledek-ngeledek gitu sudah jadi jatah hak eksklusif teman-teman ex-prabower. Beneran. Ini memang mekanisme alam yang adil.

Begini maksud saya. Waktu Jokowi menang, kita gembira luar biasa, pesta sejadi-jadinya. Itulah hak eksklusif kita. Sementara pendukung Prabowo nangis darah dan nggak doyan maem semingguan. Jadi ya fair-fair aja kalau sekarang gantian.

Ketika para ex-jokower sibuk ngemil tomat dan sayur-mayur untuk mencegah serangan jantung, kini ex-prabower tiap hari nonton tivi dengan santai. Kalau kebijakan Jokowi bagus, mereka toh kecipratan enaknya juga. Tapi kalau tindakan Jokowi sembarangan, mereka tinggal buka HP dan posting status: “Sekali lagi si Pinokio menunjukkan kebodohannya! Mau jadi apa negeri ini?” Aih aiiih, benar-benar kehidupan para ex-prabower itu nikmat dambaan seluruh umat manusia. Saya jadi ngiri..

Jadi, berhentilah mengeluh karena dibuli. Itu sudah konsekuensi kita karena mendukung salah satu capres, dan capres kita menang. Toh semisal Prabowo yang menang, ex-jokower-lah yang pasti menikmati hak mem-buli. Yakin deh. Kalau kalian nggak siap dengan risiko pertaruhan semacam ini, mending dari dulu safe playing aja bareng teman-teman saya seperti Mahfud dan Fahmi. Dari awal keduanya sinis kepada semua capres, sehingga siapa pun pemenangnya ya mereka tetap aman-tenteram-sentausa heuheuheu.

Maka, lebih baik sekarang kita lakukan yang semestinya. Ayo tetap dukung Jokowi, dengan cara menjaga agar dia tidak anjlok dari relnya. Berhenti memuja dan memuji tanpa pandang bulu atas semua sikap Jokowi, seolah dia itu bukan makhluk yang makan nasi dan doyan ngopi. Jokowi toh manusia juga. Dia bisa capek, bisa masuk angin, bisa ngantuk, bahkan juga bisa takut. Di situlah justru peran penting para suporternya untuk terus mendukung dia, menjaga tensi keberaniannya, mem-pukpuk pundaknya, biar mampu kukuh bersetia pada visi yang telah dirancangnya.

Melulu mendukung segala langkah Jokowi tanpa sikap kritis bukan cuma memalukan, tapi juga berbahaya. Terkait hal ini, ingat-ingatlah nasihat seorang bijak: “Akan datang suatu masa, ketika Jokowi dilemahkan justru oleh para jokower sendiri.” Nah.

Salam mojok.

 

Exit mobile version