Surat Protes Terbuka untuk Sistem Zonasi Sekolah ala Pak Muhadjir Effendy

MOJOK.CO – Sistem zonasi sekolah sudah memakan banyak korban di Yogyakarta. Anak-anak berprestasi harus menerima fakta bahwa mereka tidak bisa lagi mengandalkan kemampuan untuk masuk sekolah pilihannya sebab data alamat Kartu Keluarga orang tua jauh lebih sakti.

Seorang siswi menangis tersedu di dekat ring basket salah satu SMP Negeri favorit Yogyakarta. Sementara ibunya berdiri di sebelahnya, mata si ibu sangat fokus pada layar hape memantau update info seleksi penerimaan siswa baru SMP secara online. Tidak tampak sedikit pun wajah ceria dari si ibu. Garis kerutan di keningnya tajam dan semakin melengkung. Anaknya, siswi lulusan SD tahun ini namanya tercoret dari daftar murid yang diterima dalam pantauan data online atau quick count sementara Penerimaan Peserta Didik Baru (PPBD) online.

Sekitar 10 menit yang lalu, sang ibu baru saja mencak-mencak di meja informasi pendaftaran SMP tersebut setelah mengetahui anaknya tercoret dari data online. Tapi ada daya, bapak-bapak yang menunggui meja informasi hanya menanggapi aduan si ibu dengan kalimat sakti, “Maaf kami hanya menjalankan aturan dari atas.”

Anak si ibu, yang biasa dipanggil Ratri, gagal masuk SMP pilihannya meski nilai Ujian Nasional (UN) SD-nya bisa dibilang sangat baik yaitu 274.80, dengan rincian nilai Bahasa Indonesia 88.70, Matematika 90.60, dan Ilmu Pengetahuan Alam 94.80.

Sayang sekali, Ratri harus gagal masuk SMP Negeri karena rumahnya jauh. Kalah dari calon siswa yang jarak rumahnya hanya 0,6 km dari lokasi sekolah tujuan. Padahal nilai UN siswa saingannya cuma 172.30 untuk 3 mata pelajaran, yang artinya rata-rata nilainya 5.

Ketika saya mendengar keluhan-keluhan tentang keanehan sistem penerimaan siswa baru bernama “zonasi” ini, saya langsung curiga, ulah aneh apalagi yang sedang coba diterapkan oleh pemangku kebijakan pendidikan di negeri ini?

Sekarang coba bayangkan, untuk meraih nilai UN rata-rata 9 seperti Ratri itu jelas bukan pekerjaan mudah. Nggak bisa kalau cuma bekal googling, minta air kembang kepada dukun, atau beruntung menang lotre ngitung kancing saat jawab ujian. Ada kerja keras untuk belajar mati-matian saat menghadapi UN. Ada pengorbanan yang tidak main-main diupayakan untuk bisa sampai pada tahap itu.

Saya tak bisa mengerti, kenapa usaha seorang anak agar bisa meraih nilai 9 bisa-bisanya dicoret dari daftar penerimaan, sementara ada anak nilai rata-rata 5 bisa masuk?

Jika memang sistem zonasi tahun ini hanya mengedepankan jarak sekolah tujuan dengan alamat sesuai kartu keluarga siswa pendaftar, maka pada akhirnya capaian nilai jadi nggak berarti dong? Lebih berarti kalau bisa satu kelurahan saja dengan sebuah SMP Negeri favorit, toh kamu pasti bisa diterima. Tentu saja itu bukan berarti saya terlalu mengedepankan nilai, tapi parameter selain nilai akan masuk akal jika bukan hanya karena kedekatan geografis tempat tinggal saja yang jadi patokan.

Saya mencoba mencari informasi, apa alasan peraturan ini diterapkan. Ada dua hal yang saya tangkap dari keterangan para pejabat sekolah saat itu. Pertama, hal ini merupakan upaya penyetaraan kualitas sekolah. Jadi harapannya nggak akan ada lagi istilah “sekolah favorit”. Semua sekolah bisa jadi favorit karena anak pintar masuk di sekolah daerahnya masing-masing.

Kedua, sistem zonasi diharapkan mengurangi kemacetan dan polusi sebab siswa tidak perlu jauh-jauh ke sekolah. Dengan begitu, jumlah kendaraan di jalan raya akan berkurang.

Kayaknya para pejabat pembuat kebijakan ini kurang panjang mikirnya, sampai-sampai sistem yang diujicobakan tahun ajaran 2018/2019 ini memakan korban kelinci percobaan seperti Ratri. Lha buat apalagi belajar, kerja kelompok, les yang mengorbankan banyak waktu bermain sore hari itu, jika yang ternyata yang dinilai pemerintah hanyalah jarak alamat di Kartu Keluarga (KK) dengan sekolah?

Bagi saya, hal ini bisa menghancurkan motivasi belajar anak-anak seperti Ratri yang menjelang ujian di kemudian hari akan merasa ngedrop duluan hanya karena alamat rumahnya sesuai KK berjarak puluhan kilometer—di Gunung Kidul misalnya—dari sekolah incarannya di tengah-tengah Kota Jogja?

Meskipun si anak dapat nilai yang cukup tinggi untuk setiap nilai ujian, peluangnya bisa tertutup untuk masuk SMP-SMA favorit, yang kegiatan ekskulnya keren, fasilitasnya laboratoriumnya lux, yang alumni-alumninya jadi gubernur, menteri, atau orang besar. Sekolah yang kalau pensi ngundang artis sekelas Isyana Saraswati dan Raisa.

Si anak “nggunung” itu tadi ya peluang terbesarnya cuma bisa dapat sekolah di daerah pinggiran sana. Pupus sudah harapannya untuk punya teman sekolah remaja gaul yang postang-posting foto IG sedang makan di kafe-kafe yang lagi tren.

Memang betul, pemerintah sudah membuka juga seleksi jalur prestasi untuk lulusan yang nilainya bagus-bagus. Tapi mari kita coba lihat kembali kapasitas yang tersedia untuk jalur prestasi tersebut, hanya 5-10% dari total daya tampung. Selebihnya ya diisi lulusan-lulusan yang terdekat dari sekolah, meski nilai yang diterima itu cukup rendah.

Sepertinya pemerintah kurang memperhitungkan bahwa sistem zonasi dengan dasar argumentasi mengurangi kemacetan dan polusi itu peluang keberhasilannya sangat kecil. Saya kira, apapun taktik si pembuat kebijakan untuk mengurangi kendaraan bermotor akan tetap kalah dengan strategi ala swasta pabrikan motor di Indonesia dengan sales-sales nan gesit beserta iklan-iklan mahal yang memenuhi baliho di jalanan.

Lalu dengan begitu kita mesti berharap murid yang diterima sekolah terdekat dari rumah yang berjarak cuma satu dua kilometer ini mau berangkat sekolah jalan kaki? Waduh, saya kok sangsi. Zaman sekarang coba tanya tetangga Anda kalau mau ke minimarket jarak 100 meter aja, apa iya mereka milih jalan kaki ketimbang naik motor?

Atau berharap naik sepeda onthel ke sekolah karena lebih dekat? Mana ada bocah generasi Tik Tok mau keteknya keringetan naik sepeda ke sekolah? Masihkah Anda lihat murid sekolah naik sepeda di kota-kota besar? Kalau di kampung-kampung saya sih masih banyak, tapi di kota besar? Anda pikir sekarang zaman Orba?

Satu lagi hal yang kayaknya luput dari bahasan dari kebijakan sistem zonasi ini. Mereka lupa bahwa alamat di KK tidak benar-benar merepresentasikan tempat tinggal si calon peserta didik.

Sependek pengetahuan saya, ada banyak orang tua yang sekarang tinggal di daerah pinggiran tetapi bikin KK dengan alamat asalnya dulu. Lebih-lebih dalam banyak kasus, masih cukup banyak praktik orang numpang alamat di KK orang lain untuk suatu keperluan.

Jadi belum ada jaminan 100 persen akurat alamat calon peserta didik yang berjarak cuma ratusan meter dengan sekolah favorit itu sesuai data. Tidak menutup kemungkinan yang bersangkutan tinggal di perumahan-perumahan di daerah pinggiran.

Untuk diketahui juga, beberapa keluarga generasi sekarang sudah cukup kesulitan dapat lahan perumahan di tengah kota. Kasus di Jogja misalnya, mahalnya harga tanah yang berbanding terbalik dengan UMR yang begitu rendah membuat penduduk asli harus rela beli rumah di daerah pinggiran.

Kenapa saya bisa tahu sampai sejauh itu? Ya karena saya adalah salah satunya. Alamat KK saya masih di tengah kota Jogja, tapi kenyataannya saya tinggal di Kasongan, Bantul, supaya dapat harga tanah lebih miring.

Jadi ya sama saja calon peserta didik akan tetap ke sekolah naik motor (atau diantar pakai kendaraan bermotor), karena rumah sebenarnya ternyata pinggiran, namun data sekolahnya saja yang kota. Harapan jalanan akan berkurang kemacetan dan polusinya jadi sia-sia. Program baru pemerintah ini, saya kira, cukup gegabah karena tidak melibatkan sisi psikologi si anak juga sebagai acuan.

Lha gimana? Kebijakan ini berpotensi bikin si anak mengamini bahwa sekolah tujuannya adalah takdir Tuhan. Karena KK yang berdomisili di Kota Yogyakarta adalah warisan berharga orang tua. Beruntung sekali nasib bagi bayi yang lahir di kampung di samping SMA 3 Jogja yang favorit itu—misalnya. Sebaliknya, sial sekali nasib anak yang lahir di pelosok desa meski yang bersangkutan punya kemampuan lebih unggul.

Saya jadi khawatir jika generasi penerus bangsa memahami bahwa belajar dan berusaha sekeras mungkin itu akan sia-sia karena takdir pendidikan anak-anak itu ada pada alamat KK orang tuanya.

Barangkali tidak perlu waktu lama kebijakan ini akan ada evaluasi nantinya. Sudah jadi watak khas pemerintah (terutama Kementerian Pendidikan) jika bikin kebijakan baru, lalu di lapangan tidak cukup efektif, naga-naganya sih akan muncul evaluasi. Akan tetapi, sistem ini telanjur diterapkan serta sudah membawa korban. Anak-anak seperti Ratri yang tidak kebagian sekolah pilihannya karena rumah orang tuanya jauh sudah telanjur patah arang dengan kebijakan ini.

Aduh, Bapak Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy, apa Anda tidak pernah nonton iklan minyak kayu putih yang dibawain Titiek Puspa itu?

Buat anak kok coba-coba~

Exit mobile version