Barangkali sampean tahu dan mengalami sendiri bagaimana akhirnya rasanya mumet berkepanjangan yang timbul tenggelam seperti kayu diombang-ambingkan arus sungai.
Penyebabnya beragam: kesedihan akut, ketidakpuasan pada diri sendiri, situasi timeline yang tegang, teman berkurang, krisis di fase tertentu hidup, tekanan masyarakat untuk memenuhi standar sosial, jomblo berkepanjangan. Ya Tuhan, mendaftar penyebabnya saja sudah bikin depresi.
Saya punya teman seorang psikolog, dan ia berkata dengan mantap bahwa penyebab mumet atau, bahasa kerennya, depresi ringan tersebut adalah kuatnya tekanan super-ego atas id. Hasrat libidinal dikebiri seperti septic tank yang kepenuhan menampung tinja selama sepuluh tahun, dan meledaklah wadah itu satu bulan kemudian. Seperti seorang pemuda disiplin yang sungguh-sungguh ngebet menyalurkan hasrat seksual, eh, skripsi yang belum kelar, suntuk, pelesirlah si mahasiswa tua ke lembah Bigo Live yang penuh dosa dan menghabiskan kuota.
Kira-kira demikianlah perumpamaan sederhana tentang depresi ringan yang sedang marak.
Sebenarnya kita bisa bersenang-senang dengan menghamburkan uang, ikut piknik sebagaimana panduan My trip My Adventure lalu mengucapkan kalimat membosankan, “Suasananya keren banget bro, kita bisa seru-seruan di sini.”
Seru-seruan apanya.
Begini, ya. Bujang unggul yang kelebihan uang serta waktu buat tamasya ke tempat jauh itu jumlahnya sedikit, terkecuali memang segelintir pemuda peranakan tajir yang menganggap ongkos perjalanan ke Raja Ampat semurah harga gorengan.
Aduh, saya yang miskin ini kok jadi kelewat sinis. *Bertanya-tanya apakah diri saya haters*
Segala macam caption “Bahagia Itu Sederhana” di Instagram yang merujuk pada perayaan murahan seperti makan nasi sepiring dengan lauk biawak rebus, atau mengurung diri dalam kamar sambil menangis haru oleh sebab film kualitas rendahan pada malam Minggu yang cerah sementara mobil orang-orang kelas menengah mengular sepanjang jalan adalah bualan manis yang tak patut dipercaya bahkan oleh orok yang baru satu hari makan pisang. Omong kosong! Kene tak jak gelut.
Aduh, nyinyir lagi.
Iya, iyaaa, menghibur diri dengan caption itu adalah pelarian termurah bagi kamu yang sudah jatuh dan tertimpa tangga dan sulit cari kerja dan sedih dan dilanda kemarau perhatian dalam pertarungan sengit zaman yang menjunjung tinggi individualisme sambil mengabaikan solidaritas sosial sesama manusia.
Keadaan ekonomi kita juga tak kunjung membaik. Sejak 2001 sampai kemarin ketika Raisa merajuk manja memasang wajah gemes dengan sudut bibir terangkat begitu manis meminta sepeda, harga dolar tak pernah lagi berada di bawah Rp8.000, sementara sampai saat ini saya tak bisa mengetahui dengan pasti berapa harga satu gorengan di burjo Jogja yang oleh Aa’-nya dibanderol “dua ribu dapat tiga”.
Coba tebak, berapakah harga sesungguhnya satu gorengan jika dengan uang dua ribu rupiah seorang gadis mendapatkan tiga gorengan? Rp666.666667? Salah, Dik. Harga satunya seribu. Hukum Matematika enggak berlaku di warung burjo.
Itulah gagasan gemilang yang menegaskan bahwa menjaga sehat dalam segala keributan sosial yang terkadang tak rasional ini adalah kemustahilan. Mungkin sekali mengidap depresi ringan dan itu wajar. Kecerdasan menjaga kewarasan sedang dipertaruhkan.
Entah, mungkin saking mumetnya, tagar #RinduOrba beserta Soeharto dan keturunannya menggegerkan netizen beberapa waktu lalu. Mau gimana lagi, dampak Reformasi enggak konkret kok, mending jaman Simbah Harto yang apa-apa masih murah.
Itu kata mereka lho, bukan saya. Memang apa-apa murah di jaman Orba. Termasuk nyawa. Nakal dikit, gondrong dikit, tatoan dikit, dikarungin terus didor sama Petrus (akronim yang dibuat, entah kenapa, Kristen sekali).
Mengetahui karat depresi manusia modern begitu tinggi, kini netizen dimanjakan artikel penghibur kegamangan yang menjamur bak jamur di musim hujan.
Ada satu penyedia jasa layanan penulisan artikel penghibur cocok-cocokan seperti ”Tujuh Keunggulan Kamu yang Lulus Kuliah Cepat” yang satu minggu kemudian disusul dengan tulisan kebalikannya, “Tujuh Keunggulan kamu yang lulus kuliah lama”. Itu berarti mahasiswa kebelet lulus dan keseringan ngulang mata kuliah tak berbeda. Keduanya sama-sama unggul: setelah lulus menganggur. Kalaupun bekerja, biasanya susah beli rumah dan mustahil menyisakan gaji untuk tabungan haji.
Di lain tempat, kawan-kawan saya yang tak disiplin sedang getol memainkan permainan konyol yang cukup menghibur dirinya id.testony.com. Siapa pemikir yang sejalur dengan Anda? Jonru. Siapa presiden yang karakternya seperti Anda? Soeharto. Siapakah Anda di masa lalu? Stalin. Partai apa yang sesuai dengan Anda? Partai Idaman. Hiburan murah yang sungguh mbel.
Orang modern tengah berlomba menghibur dirinya sendiri sebelum dilahap depresi. Bos-bos media menyediakan artikel penghibur. Sementara psikolog bertugas menenangkan pasien tanpa benar-benar menyelesaikan masalah. Tak ada yang sungguh terbebas dari jerat depresi. Ini masa penuh kegilaan.
Tapi kita tidak sendiri, gejala depresi ini bukan milik orang kita saja, melainkan mendunia, baik di Amerika yang sedang ramai karena Trump, Prancis yang konon katanya 40% warganya mengaku stress dan susah percaya partai, dan Belanda yang partai rasisnya sempat digdaya meski kalah dalam pemilihan kemarin. Ini gejala internasional, Bung, Nona.
Begini, saya akan beri penjelasan teroretis dan harap sampean membacanya dengan saksama. Tolong camken karena ini serius. Setidaknya menurut Vedy Hadiz atau Arianto Sangaji dan beribu artikel yang saya simpulkan secara serampangan, semuanya menyataken:
Kadar depresi dengan segala turunannya, baik itu anxiety, skizofrenia, rasisme, seksisme, sampai insomnia tidak lain tidak bukan disebabken oleh bangkrutnya sistem neoliberalisme internesyenel yang menghasilken susahnya hidup dan ketimpangan yang menganga lebar. Hidup miskin tanpa pengharapan menjadi pesakitan.
Deterministik banget, ya. Memang banyak analisis lain, tapi ribet. Kan Mojok media selow dan menghibur.
Gimana dong, sementara segelintir orang menggelar pesta bikini di sebuah vila mewah di Bali, mahasiswa miskin Jogja menghabiskan weekend dengan ceburan di kolam air bekas PDAM di Maguwo.
Bagaimanapun pusingnya sampean ngadepin kenyataan, tolong jangan bertindak konyol. Bunuh diri seorang pria Jumat kemarin yang ia siarkan langsung lewat Facebook karena ditinggal pergi istri sungguh mengejutkan. Saya berduka cita untuk itu.
Ingat, menyakiti diri sendiri itu dilarang agama. Tidak perlu menantang saya untuk menuliskan dalilnya. Percayalah, saya ini mahasiswa UIN.
Untuk situ lagi trauma agama karena petingkah ormas yang itu, saya sitirkan pikiran Albert Camus si filsuf Absurditas. Entah bagaimana pun absurdnya hidup di matamu, bunuh diri bukanlah jalan keluar. Itu kekalahan eksistensi. Kalau kau muak dan menganggap segalanya tak bernilai, nyawamulah satu-satunya kebenaran nilai yang harus dipertahankan. Aduh mulai rumit. Pokoknya kau harus tetap hidup, Tuan dan Puan.
Sepintas cerita: Gus Dur tampak malas mengerahkan massanya untuk berdemonstrasi menuntut turunnya Mbah Harto. Itu awal 1998. Ia memilih jalan berunding dengan Simbah ketimbang konfrontasi langsung. Sikap itu cukup aneh dengan melihat besaran massa di sisi Gus Dur dan betapa pro-reformasinya blio. Gusdur bersikap tenang menghindari terjadinya adu jotos rakyat dengan tentara. Ups, ralat. Mahasiswa main jotos sementara aparat main tembak.
“Konfrontasi seharusnya dihindari, karena harga manusia yang harus dibayar terlalu mahal bahkan untuk prestasi apa pun yang diperoleh,” begitu alasan Gus Dur. Itu sikap politik blio kala itu.
Biar saya tutup. Meski kondisi sosial, politik, dan ekonomi tampak begitu menggemaskan, percayalah, dunia akan lebih baik esok hari asal kiamat tak segera terjadi. “Koe pancen cah edan, tapi ra pantes mati,” kata seorang gadis kampung sebelah.
Akhirnya, ada dua sikap pamungkas yang boleh kita pilih salah satu untuk mengatasi tekanan hidup. Menerima gagasan takdir dunia sebagai tempat terkutuk yang akan selalu dijejali masalah sampai kiamat nanti sehingga akan lebih baik jika kita menunggu surga saja, atau melempar sumpah serapah sejenak, kemudian berusaha menciptakan surga temporal di atas dunia. Terserah pilihanmu, Mas, Mbak.
Raisa mana Raisa?