MOJOK.CO – Kalau merokok bikin hidup lebih nikmat dan santai, kenapa kita harius serius-serius amat menanggapi propaganda aktivis antirokok? Selow ae, guys~
Mas Aditia Purnomo kelihatan marah. Esainya di Mojok barusan saya baca sambil ngopi ditemani rokok. Santai Mas, santai. Perkara marah atau geram pada manuver yang dimainkan para aktivis antirokok yang tidak peduli pada kedukaan atas berpulangnya Pak Sutopo, dan malah menjadikannya sebagai bahan kampanye, Mas tidak sendirian.
Coba tengok page Boleh Merokok. Admin-nya juga geram, bahkan mengatai apa yang dilakukan aktivis antirokok itu, memalukan!
Saya perokok berat. Dan saya santai-santai saja menanggapi propaganda minus sadar situasi dari mahasehat barisan aktivis antirokok itu. Selain bahwa selama ini saya beli rokok pakai duit saya sendiri, manuver begituan itu mah sudah basi. Apalagi, kali ini bertolak dari situasi yang mestinya tak perlu dibesar-besarkan untuk kepentingan sendiri.
Ya, benar—memalukan. Tidak merokok kok tidak etis dan tidak kreatif? Apa gunanya, coba?
Menghadapi manuver aktivis antirokok yang belakangan ini ramai ditanggapi, saya sih cuma punya satu kesimpulan. Mereka itu baik, tidak salah. Bahwa apa yang mereka perjuangkan, meski tidak etis, itu benar (atau dibenarkan saja).
Hanya, mereka sedang malas berpikir lebih saja. Soal parah mereka di situ saja sebetulnya, Rekan-rekan.
Apa saja yang luput dipikirkan aktivis anti-rokok sehingga manuver mereka, dalam kacamata ilmu taktik dan strategi, saya nilai serampangan dan kontra-pertimbangan?
Pertama, mereka sedang lupa bahwa Bea Cukai pada 2018 berhasil memenuhi target APBN 2018. Bahkan, naik 6,7% dari 2017. Coba tebak, apa penyumbang terbesarnya? Ya betul: rokok.
Cukai rokok berada di angka Rp157 triulin, jauh di atas rekan seharam-semaksiatnya, minuman beralkohol. Bahkan, pendapatan yang teramat besar ini sampai dialokasikan untuk BPJS Kesehatan. Heroik!
Lantas, salahkah aktivits antirokok? Tidak! Hanya sedang malas berpikir saja. Sibuk jaga kesehatan dan sibuk merisak perokok aktif, sampai-sampai malas baca dan buka data.
Eh, tunggu—sehat tapi malas? Ini yang namanya kontradiktif dalam dirinya sendiri. Hadeh, mending beli rokok sana. Duit jangan cuma ludes dipakai untuk biayai kemalasan, dong!
Kedua, barisan aktivis antirokok itu barangkali, pada saat yang sama, mengidolakan tokoh-tokoh besar macam Che Guevara, Chairil Anwar, Bung Karno, atau Jean-Paul Sartre. Sekali lagi, mereka salah? Tidak! Mereka hanya sedang malas berpikir lebih saja sehingga abai terhadap kebiasaan-kebiasaan tokoh-tokoh idola mereka itu.
Foto Che mereka pajang di dinding kamar mereka, sajak-sajak Chairil mereka post di medsos mereka, ide-ide Bung Karno mereka garap dalam skripsi mereka, tesis-tesis seputar eksistensialisme Sartre mereka kutip untuk gagah-gagahan dalam tulisan atau saat diundang jadi pembicara, tapi buta bahwa keempat tokoh ini perokok berat.
Mereka bodoh? Tidak. Orang bodoh tak mungkin sebegitu gesitnya memakai cerita Pak Sutopo untuk kampanye. Mereka hanya sedang malas. Mereka sedang setepat-tepatnya menerapkan pepatah tua itu. Manisnya mereka telan, sepah mereka buang. Memalukan, memang. Mengidolakan seorang tokoh secara parsial saja, itu bukan mengidolakan, namanya. Itu politisasi, Ktivis.
Ketiga, bahwa Pak Sutopo berada dalam lingkungan kerja yang menyebabkan beliau dengan mudahnya terpapar asap rokok, saya kira Rekan-rekan sesama perokok tak perlu ngeles. Itu faktanya. Pesan Pak Sutopo itu baik dan benar adanya. Kita perlu belajar dari pesan itu. Jangan egois, dan makin bijaklah dalam merokok.
Hanya saja, bahwa seketika itu juga rokok atau Rekan-rekan kita dipersalahkan seolah-olah jadi penyebab utama, jelas perlu kita bantah, atau setidaknya kita bela.
Lagi-lagi, aktivis antirokok itu hanya sedang malas semalas-malasnya berpikir lebih. Andai pikiran mereka sampai ke sini: apa sumbangan teman-teman sekantor Pak Sutopo yang notabene perokok itu, dalam memperlancar kerja-kerja Pak Sutopo? Andai imajinasi mereka bermain sampai ke sini: saat Pak Sutopo sedang lelah, bawahannya yang sedang merokok beliau panggil untuk mengurut pundak Pak Sutopo. Atau saat Pak Sutopo belum tidur sampai jauh malam demi memantau perkembangan bencana atau potensi terjadinya bencana, beliau ditemani beberapa rekan kerja yang adalah perokok.
Jadi, kemalasan berpikir lebih dari barisan mahasehat itu dipersempit sesempit-sempitnya. Relasi Pak Sutopo dengan rekan kerjanya dibatasi hanya sebatas relasi kesehatan, bukan relasi kerja dan lain-lain. Sempit nian pikiran Ktivis-ktivis ini.
Betul, memalukan! Tapi, yah, aktivis mah gitu, kadang-kadang.
Saya juga pengin tambah beberapa hal lagi, tentang bagaimana rokok turut ambil bagian dalam kemajuan peradaban. Tentang bagaimana pada tahun 90-an, tukang-tukang bangunan di Flores hanya butuh Djitoe dan kopi saja pada pagi hari untuk bekerja keras sampai siang dalam membangun rumah atau toko atau gedung DPR. Tentang bagaimana pos-pos ronda di kampung-kampung selalu berasap di malam hari demi terjaganya keamanan warga. Tentang bagaimana satpam-satpam kita sampai kini bertahan sampai pagi hanya ditemani rokok dan game online. Tentang bagaimana Pram dan penulis-penulis lainnya pilih teman untuk bekerja dalam sunyi untuk keabadian.
Tapi setelah dipikir-pikir, nggak jadi, deh. Buang-buang waktu. Menjelaskan sesuatu kepada barisan yang dari sono-nya sudah malas berpikir lebih, jelas melelahkan. Contoh yang besar-besar saja barangkali tak masuk ke akal mereka, apalagi contoh-contoh receh yang sebetulnya penting juga mereka ketahui.
Akhirnya, bila sesama kami bersalah, saya—mewakili mereka semua—minta maaf pada Pak Sutopo dan keluarga yang ditinggalkan. Maafkan kami.
Pada saat yang sama, maafkan juga barisan mahasehat itu dari kemalasan mereka berpikir lebih karena tentu saja mereka tidak akan berpikir untuk minta maaf atas kemalasan dan manuver mereka yang tak etis itu.
Kenapa? Sebab, bukan rokok masalah utama dalam hidup ini. Masalah utamanya cuma satu: malas berpikir lebih.
Sampai sini paham, Bambang? Malih? Ferguso?