MOJOK.CO – Setelah konflik saling sindir antara stiker mobil manual dengan matic, kini lahir pula stiker-stiker sindiran yang lain. Soal riba misalnya.
Di jalanan, saya sering melihat stiker di kaca belakang mobil: “Real men use three pedals“. Lalu di lain hari ada; “Real men use two pedals“. Stiker pertama itu ditempel oleh pengguna mobil manual. Sedang yang kedua pasti milik pengendara mobil matic.
Mobil manual memang punya 3 pedal, yaitu gas, rem dan kopling. Sementara mobil matic cuma dua. Cuma gas dan rem, zonder kopling.
Dua kubu transmisi itu memang sering memasang stiker di kaca belakang mobilnya untuk saling menyindir. Semuanya ingin dianggap “real men”. Entah untuk apa.
Dalam perdebatan ini biasanya muncul juga kubu sempalan. Saya pernah melihat stiker bertuliskan. “Who cares about pedals. I’m flying!” Yang ini biasanya di bawahnya ada logo Boeing atau Sukhoi. Ini masnya pasti pilot.
Beberapa malam lalu saya menemukan varian lain lagi.
Tertulis; “Real men buy car without riba. Who cares about pedals.”
Nah yang ini, patut diduga pengendaranya mas-mas hijrah atau newly-found.
Membaca tulisan itu, saya sebenarnya mau tersinggung, tapi tidak jadi. Malah merasa geli.
Toh saya naik motor. Dan meskipun punya mobil, alhamdulillah sudah lunas juga.
Stiker itu mungkin memang hanya berniat dakwah untuk menjauhi riba, yang niatnya tentu saja bagus. Beberapa kawan juga menyebut riba yang dimaksud di stiker itu mungkin beda dengan sistem kredit.
Tapi dari obrolan dengan beberapa kawan lain, jelas bahwa yang dimaksud memang sistem pembelian kendaraan dengan kredit melalui leasing seperti yang lazim dimanfaatkan oleh masyarakat.
Menurutnya, apa saja yang melibatkan lembaga pembiayaan atau bank konvensional, adalah riba. Saya menghormati pendapat golongan ini, termasuk nasihat mereka yang bilang, “karier tertinggi bagi seorang pegawai bank adalah resign.”
Masalahnya, dari sana saya malah jadi ingat ceramah seorang kiai.
Waktu itu Ramadan. Sang kiai memperingatkan orang yang membangga-banggakan salat malamnya tapi menyindir orang lain yang tidak bisa melakukannya.
Kata beliau kira-kira begini, “Jangan menyebut rugi orang yang tidak penuh tarawihnya. Itu menyakiti hati orang lain. Ada orang yang mungkin terhalang oleh pekerjaan atau uzur lainnya.”
Intinya, beliau mengingatkan bahwa tidak semua orang diberi karunia kelapangan seperti kita. Tidak semua orang bebas mengatur waktunya. Tidak semua orang punya duit cash.
Dalam hal ini, saya membayangkan bagaimana perasaan sopir angkot atau Gocar yang mobilnya masih nyicil ketika membaca stiker “real men buy car without riba” itu. Bisa jadi ia sedih karena tak punya pilihan dan situasi lapang.
Stiker itu mungkin dibuat untuk meramaikan konflik manual dan matic, tapi dampaknya jadi tidak terlalu lucu bagi kelompok orang tertentu. Bahkan bisa punya risiko menyakiti hati seseorang.
Problemnya, ketika tulisan ini pada mulanya saya jadikan status di Facebook, ada seseorang yang berkomentar. Katanya dakwah memang harus menyakiti perasaan, biar orang jadi merenung dan bertobat.
Mungkin benar begitu, tapi kok saya jadi nggak relate ya?
Saya lebih sering mendengar kisah betapa Rasulullah meminta kita untuk tidak menyakiti hati orang lain dalam kondisi apa pun, karena dampaknya yang besar. Berdosa kepada Allah kita bisa minta ampun langsung. Tapi kalau menyakiti hati orang, minta maafnya justru lebih susah.
Beberapa orang juga menjapri, menjelaskan dan menunjukkan apa yang ia sebut “kesalahan berpikir” saya. Malah ada yang mengarahkan saya seharusnya menulis apa.
Saya terima semuanya dengan baik sebagai tanda cinta. Tapi gimana yak, itu cuma status biasa, pikiran-pikiran lewat saja yang saya tulis saat nunggu mobil dicuci. Masak harus saya kasih latar belakang masalah dan pembahasan kayak skripsi.
Saya tidak berpretensi untuk berdakwah. Saya tidak punya kapabilitas dan otoritas. Saya tahu diri, penuh dosa dan soda. Nggak pantas menceramahi orang lain. Satu-satunya “dakwah” yang berani saya lakukan, hanya kepada anak-anak dan istri saya.
Misalnya di #khotbahjumatuntukdesanti di akun Facebook saya, yang saya bikin setiap Jumat, itu juga cuma meringkas dakwah orang lain.
Saya sadar memang lemah di bagian ini. Saya bukan tipe yang harus keras demi apa yang yang saya anggap kebenaran. Kepada diri sendiri iya, tapi tidak kepada orang lain. Apalagi kalau kebenaran saya itu berpotensi menyakiti hati orang lain.
Jangankan kepada sesama manusia, saya mengajari anak-anak saya untuk tidak menyakiti hati apa pun. Anak saya, River, pernah makan terong balado, tapi dia tidak suka kulitnya dan akan membuangnya. Saya suruh dia minta maaf ke kulit terong itu sebelum dibuang.
“Sampaikanlah walau hanya satu ayat,” itu ajakan yang indah, tapi tidak untuk diaplikasikan dengan serampangan. Sebab, orang lain di luar agama kita tidak membaca kitab suci kita, ia melihat kita sebagai etalasenya. Tindakan kita di masyarakat itulah yang menjadi tafsir ayat suci yang dibaca oleh lain.
Balik lagi ke soal stiker “pedal” itu. Saya jadi berpikir, mungkin memang ada orang yang berbakat balistik. Gampang menyakiti hati orang lain yang tidak ada hubungannya dengan peperangannya.
Tapi seorang kawan yang lain menegur saya. Dia bilang saya saja mungkin yang baperan. Tersinggung padahal itu cuma stiker yang biasa saja ditempel dengan iseng. Tidak ada maksud apa-apa.
Stiker apa saja di kaca belakang mobil seseorang, tidak selalu mencerminkan pikiran dan tindakan pemiliknya. Saya pernah melihat stiker logo kepala kelinci di mobil seseorang yang terlihat seperti guru.
Kemarin, mobil kami diseruduk mobil lain dari belakang saat mengantre di kemacetan jalan menuju Puncak. Lumayan keras. Saya sempat turun dan memeriksa bemper, ada sedikit lecet tapi tidak parah.
Saya tidak berniat memperpanjang urusan karena tidak ingin membuat makin macet. Tapi sejujurnya saya berharap si penabrak itu juga turun, setidaknya ada basa-basi lah. Anehnya, jangankan turun, si pengemudi itu bahkan tidak sedikit pun menurunkan kaca mobilnya yang gelap.
Saya balik lagi ke mobil dan disambut pertanyaan istri saya. “Nggak minta maaf sama sekali?”
“Nggak,” kata saya. “Nggak merasa bersalah kali. Atau jangan-jangan mobil kita yang mundur?”
“Ya nggak mungkin lah,” kata istri saya.
Saya juga berpikir begitu. Ini kebetulan kita di jalan menurun. Dan kalau kami yang mundur, pasti sudah diklaksonin kenceng-kenceng.
Ketika kendaraan sudah mulai jalan lagi, saya melihat mobil itu mencoba menyalip dari arah kiri. Saya menurunkan kaca. Istri saya juga sudah siap-siap dengan muka galaknya. Saya yang deg-degan.
Maklum, saya tidak siap berkelahi di jalanan. Saya membayangkan pengemudi mobil itu pasti sangar orangnya, mungkin badannya besar dan bertato.
Lalu ketika mobil kami bersisian, saya baru bisa melihat tampang pengemudi itu. Ia tidak menoleh sama sekali, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Saat melewati kami, istri saya sempat memotret bagian belakang mobil yang menabrak kami. Ada stiker mobil tulisan Arab, kalimat sholawat nabi. Di situlah saya yakin, stiker mobil tidak selalu menggambarkan karakter pengendaranya.
Ini seperti orang yang menempel stiker “Fake Taxi” di kaca belakang mobilnya. Dipikir desain stiker itu keren tapi tidak tahu itu sebenarnya apa.
BACA JUGA Filsafat Hidup di Bokong Truk dan tulisan Fauzan Mukrim lainnya.
Penulis: Fauzan Mukrim
Editor: Ahmad Khadafi