Soal Tanah dan Benih Pengetahuan di Tubuh NU: Masih Relevankah Isu-isu Moderasi Beragama?

Soal Tanah dan Benih Pengetahuan di Tubuh NU MOJOK.CO

Ilustrasi Soal Tanah dan Benih Pengetahuan di Tubuh NU. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COJangan sampai, benih-benih baik yang sudah ditanam di “tanah” NU justru kita salah gunakan. Sungguh disayangkan.

Singkat kata, “tanah” yang saya maksudkan di awal adalah posisi NU dalam isu-isu ekstremisme, radikalisme, dan terorisme sebagai problem, dan dialog antar-agama, toleransi, dan moderasi sebagai solusi, yang mana pemaparan isu-isu ini rentan mengabaikan relasi kuasa yang berkelindan mengitarinya. (Lien Iffah Naf’atu Fina, islami.co, 16/6/24).

Jujur, membaca tulisan Bu Lien yang viral, saya merasa terjelaskan di satu sisi. Namun, di sisi lain, saya juga terpantik untuk bertanya lebih lanjut. 

Saya ingin bertanya, benarkah hipotesis yang disampaikan dengan segudang data dan argumentasi tersebut, mencerminkan dinamika perkembangan pemikiran Islam yang tumbuh di internal “tanah” NU sejak awal? 

Terutama di awal 90-an sebagai penanda tumbuh suburnya pemikiran Islam di generasi muda NU. Kemudian berjalan secara linier yang akhirnya isu-isu seperti moderasi, toleransi, pluralisme, seperti konsekuensi logis dari proses yang sudah sudah ada itu.

Ataukah, segenap isu yang disebutkan tadi adalah gejala baru yang muncul belakangan, yang tanpa disadari telah kehilangan spirit atau bahkan kehilangan arah dari benih yang telah ditanam para aktivis/pemikir Islam di masa-masa awal era 90-an? 

Jika ada pembelokan, faktor-faktor apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi? Dan sebenarnya bagaimana wacana tersebut bergulir terutama pasca reformasi, dalam konteks sosio politik di Indonesia sendiri, hingga kemudian isu-isu tersebut (moderasi, toleransi, dan pluralisme) masif saat ini? Itulah kira-kira kegelisahan saya secara pribadi, yang akan coba saya telusuri pelan-pelan dalam tulisan ini.

Sungguh usaha untuk melacak hal ini bukanlah hal yang mudah. Karena dalam rangka membaca hal tersebut, kita tidak semata-mata bisa berpegang dari informasi yang muncul dipermukaan. Baik yang tersiar di surat kabar atau yang tersaji di buku-buku yang beredar. 

Dari sana kita akan bisa melihat pola. Namun, tanpa bertanya secara langsung dengan aktor-aktor yang terlibat, kita akan kehilangan “sikap” bagaimana beliau-beliau menempatkan diri di tengah arus besar pergumulan pemikiran Islam di Indonesia saat itu, hingga sekarang.

Memulainya dari buku Kiri Islam

Jika teman-teman berkesempatan belajar di UIN atau IAIN, harusnya akrab dengan buku ini. Buku ini adalah buku Islam paling berpengaruh. Semacam pegangan wajib bagi anak-anak muda progresif kala itu. Baik di dalam maupun luar kampus, era 90-an yang gema pemikirannya menghentak banyak orang. Dan konon atas lahirnya buku tersebut, rezim pun sempat dibuat ketakutan.

Buku Kiri Islam adalah embrio, cikal bakal yang terlahir dari anak-anak muda IAIN Sunan Kalijaga Yogya yang gelisah saat itu. Dari buku yang diterjemahkan dari pemikiran Hassan Hanafi ini kita kenal kemudian dengan LKiS (Lembaga Kajian Islam Sosial), skena anak muda NU yang lulusan pesantren, kemudian membuat kolektif belajar di luar kampus, yang ternyata mencuri banyak perhatian.

Adalah KH. Abdurrahman Wahid sebenarnya di balik kemunculan buku tersebut. Beliau kemudian mendorong secara terus-menerus anak-anak muda progresif tersebut. 

Menurut kesaksian salah satu pendiri LKiS, bahwa Gus Dur yang sejak awal memberikan bahan bacaan. Beliau juga mengenalkan ide-ide besar dunia yang berkembang saat itu. Gus Dur juga mendorong munculnya inisiatif-inisiatif gerakan dalam rangka mengartikulasikan pemikiran-pemikiran alternatif dalam Islam dalam rangka mendinamisir keadaan.

Hal ini tercermin dari arhan Gus Dur dalam kata pengantar di buku Kiri Islam. Bahwa usaha yang dilakukan dengan memunculkan Kiri Islam adalah semacam pencarian, perluasan, pengembangan, wawasan universalisme Islam atau sering disebut dengan kosmopolitanisme yang intinya pada kemanusiaan.

Perlu dicatat dari respons dan kemunculan diskursus tersebut ada konteks yang melatarbelakangi. Bahwa saat itu, ketika LKiS hadir sekitar awal 90-an, adalah saat di mana Orde Baru dengan watak pemerintahannya yakni, modern, barat sentris, militeristik, dan otoriter sedang ingin merangkul umat Islam dengan kemunculan ICMI untuk melegitimasi kekuasaanya. 

Selain itu perlu diingat bahwa di masa itu juga kekuasaan sedang ingin memecah belah masyarakat dengan isu SARA, yang terjadi di berbagai daerah. Terutama di Situbondo dan Tasikmalaya sekitaran 1996 yang ternyata melibatkan santri yang menjadi aktornya.

Yang didorong oleh Gus Dur

Di masa-masa itulah kemudian Gus Dur dengan jaringan anak didiknya LKiS mendorong dua hal. Pertama, mencari paradigma pemikiran Islam yang lebih segar dan progresif dalam rangka menyadarkan dan menggerakkan masyarakat. Kedua, mewacanakan dialog antar-iman sebagai solusi atas munculnya isu SARA yang tidak lepas dari campur tangan kekuasaan. 

Sebenarnya, yang pertama kali fokus untuk mewacanakan itu adalah LSM Dian Interfidei, LSM yang lahir juga di Yogyakarta di masa-masa itu. Dan ketika maraknya isu SARA tersebut, Gus Dur menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh seperti TH Sumartana, Romo Mangun, dan banyak yang lainnya. 

Yang jelas kemunculan LSM generasi awal dengan beragam isu-nya, termasuk di dalamnya isu toleransi, dialog antar-iman, dan pluralisme terutama yang di bawah bimbingan Gus Dur adalah upaya secara tidak langsung menghidupkan kekuatan civil society. Kemunculan civil society ini dalam rangka melawan otoritarianisme, dan menegakkan keadilan di tengah masyarakat, bukan semata dialog antar-iman itu sendiri

Maka dari kedua konteks di ataslah sebenarnya segenap diskursus yang muncul di lingkaran generasi awal di lingkaran NU ini perlu diletakkan.

Masa setelah reformasi 

Akhirnya reformasi sebagai buah dari perjuangan generasi awal itu datang. Di masa-masa itu, situasi sosial-politik tidak stabil. Disintegrasi masyarakat menjadi ancaman terbesar. Hingga kemudian Gus Dur, sang perajut gagasan, tokoh reformasi, juga pembawa ide-ide besar perubahan muncul menjadi tokoh sentral. Beliau mengambil peran kepemimpinan nasional, menjadi Presiden ke-4 RI. 

Sejak itu, para aktivis muda terbelah menjadi dua. Ada yang masih konsisten berjuang di tingkat akar rumput. Mereka melakukan kerja-kerja pengorganisasian dan pendidikan masyarakat. Tidak sedikit pula yang melibatkan diri dalam euforia politik nasional. PKB sebagai ruang aspirasi politik di lingkaran NU dibentuk oleh Gus Dur. Di situ, para aktivis tersebut bernaung melanjutkan perjuangannya.

Dalam suasana dan situasi tersebut, sebenarnya watak dari kerja aktivisme masih sama seperti semula. Semangat demokrasi, memperkuat civil society di segala bidang menjadi galur utamanya. 

Bedanya, akibat pintu keterbukaan dibuka lebar-lebar, dana funding internasional semakin banyak datang. Semenjak itu pula kelompok-kelompok pergerakan yang sebelumnya masih bersifat komunitas, merubah bentuknya menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Perubahan yang terjadi

Maka dengan perubahan dalam bentuk korganisasian inilah, ditambah ada tuntutan untuk membuat laporan di setiap agenda yang dilakukan, jelas juga ada pendanaan yang lebih besar, lamat-lamat spirit aktivisme tidak murni untuk mengadvokasi isu sebagai bentuk ideologi perjuangan pun muncul. Tapi, juga ada nuansa pragmatisme sesuai isu yang dipesan dari para pendonor dana yang menjadi latar belakang.

Alhasil, karakter aktivisme yang lahir dari LSM-LSM ini, tentu tidak semua, meminjam dari anekdot di kalangan mereka sendiri. Dari yang sebelumnya menghendaki adanya “transformasi” sosial, berubah hanya menjadi alat “transportasi” sosial. Praktik yang dilakukan semata pengguliran isu-isu pesanan, dan program-program yang diciptakan hanya dijadikan alasan untuk bepergian. 

Meski demikian, buah baik dari aktivisme generasi ke-2 ini adalah gairah intelektual di banyak kalangan anak-anak muda. Akibat pelatihan, workshop yang dilakukan di banyak tempat. Selain itu, di masa ini, teori-teori sosial baru tumbuh subur bermunculan.

Hilangnya konteks musuh bersama yang sebelumnya dialamatkan kepada Orde Baru membuat dinamika aktivisme sudah jauh berbeda. Berlangsungnya reformasi juga tidak sesuai harapan, membuat kerja-kerja aktivisme berjalan seperti tanpa arah. Terkesan sporadis, dan reaksioner. 

Dalam lapangan isu toleransi, pluralisme, gender, dan dialog lintas iman pun demikian. Bahkan pasca reformasi dengan ancaman disintegrasi bangsa semakin nyata, kelompok LSM yang bergerak di isu tersebut sudah tidak lagi terhitung jumlahnya. 

Kerja-kerja pelatihan dan penelitian untuk mendorong kesadaran baru atas isu tersebut, semakin banyak dilakukan terutama di lingkungan pesantren. Tapi seperti kehilangan konteks, dan spirit nyata kenapa isu-isu tersebut perlu kita suarakan.  

Gejala keagamaan baru

Mulainya setelah reformasi, ketika sisa-sisa dari elite Orde Baru ingin terus menancapkan kekuasaannya menggunakan ormas keagamaan menjadi tangan panjangnya. Saat itulah, banyak bermunculan ormas-ormas keagamaan baru yang cenderung konservatif dan radikal. 

HTI, FPI, Jemaah Islamiyah, dan lain sebagainya. Mereka tumbuh subur di kalangan kelas menengah perkotaan, di lembaga-lembaga pemerintahan, di kampus-kampus negeri dan hampir di seluruh instansi birokrasi yang ada. Mengapa bisa demikian, karena ternyata dari golongan inilah pemerintahan baru, saat itu pemerintahan SBY yang baru naik didukung dan ditegakkan.

Nahasnya, ketika muncul gejala keagamaan baru di kalangan umat Islam Indonesia tersebut juga terjadi peristiwa-peristiwa yang mengagetkan dunia. Sebuah serangan yang terjadi di Amerika, yang dikenal dengan tragedi WTC pada 11 September 2001 menjadi awal mulanya. 

Dilanjutkan rentetan bom Bali yang memang dilancarkan oleh para oknum umat Islam yang berhaluan keras. Semenjak itu, seolah seluruh umat Islam mendapat getahnya. 

Negara barat yang dipelopori Amerika, kemudian mendefinisikan diri sebagai korban. Dan secara serta merta mereka menuduh bahwa umat Islam adalah (pelakunya). Sejak itulah definisi Islam radikal mulai dikenal dan diamini juga oleh banyak orang. Dalam hal ini Bu Lien dalam tulisannya telah menjelaskan panjang lebar dan terang benderang.

Dalam konteks nasional, saat konstelasi geopolitik berjalan secara bipolar. Bersamaan dengan hal itu umat Islam Indonesia yang berhaluan keras semakin masif menancapkan kekuasaan. 

Mereka yang sudah terlanjur dicap radikal semakin dengan terang-terangan berani menyampaikan gagasan-gagasannya di ruang publik. Bahkan dalam suatu momen, sekitar tahun 2008 di stadion utama Gelora Bung Karno, HTI membuat Tablig Akbar yang dihadiri oleh para menteri kabinet saat itu. Mereka dengan lantang menyuarakan untuk menegakkan khilafah dan mengubah haluan negara Pancasila dan UUD 45, dengan nilai-nilai Islam.

Moderasi agama

Pada titik itulah, apa yang kita kenal dengan Moderasi Beragama mulai diusung sebagai counter atas narasi-narasi Islam teman-teman yang berhaluan kanan. Terutama ketika rezim berubah, saat Presiden Jokowi mengambil alih kepemimpinan nasional.

Presiden Jokowi memang mempunyai latar belakang nasionalis. Beliau didukung oleh kekuatan Islam tradisional. Saat itu, Bapak Lukman Hakim Saifuddin menjabat menteri agamanya. Beliau mendapat amanat untuk dengan sedikit demi sedikit meredam golongan Islam Radikal. Sejak itulah Islam Moderat dan Moderasi Beragama dijadikan pandu utama dalam menjaga tertib nasional.

Dalam hal ini jika kita melihat genealogi Moderasi Beragama sebagai sebuah ide sebenarnya tidak jauh beda dengan isu-isu yang telah diusung oleh generasi aktivis di era sebelumnya. Semangat toleransi, pluralisme, dan dialog antaragama menjadi metrum yang terus menerus diwacanakan. 

Bedanya, jika sebelumnya inisiatif tersebut muncul dari kelompok civil society, yang cenderung organik dan berbasis dengan konteks yang spesifik di mana muncul persoalan. Moderasi Beragama sebagai program pemerintah cenderung bergerak secara formal, yang akhirnya hanya bisa dipahami oleh kalangan elite, dan tak jarang berhenti sebagai jargon untuk mengeklusi yang tidak sepaham.

Kemunculan aktivis generasi ketiga

Selanjutnya, dengan situasi sosial politik nasional yang dinamis, apalagi saat-saat pemilihan umum berlangsung, ketika isu-isu identitas dan agama dijadikan dagangan politik. Di saat itulah para aktivis, yang mengaku diri sebagai generasi ketiga dari generasi-generasi sebelumnya turun gelanggang. 

Mereka dengan atas nama melanjutkan perjuangan ide dan gagasan Gus Dur yang belakangan hanya di-framing semata menjadi bapak pluralisme, menjadi juru bicara utama moderasi beragama di semua tempat dan kesempatan.

Gus Dur, yang selalu menjadi patron hanya dipahami dari sisi keterbukaan, pluralisme, dan toleransi-nya. Bahwa Gus dur adalah sosok pejuang kemanusiaan yang getol menyuarakan keadilan, luput mereka baca. 

Memiliki langkah-langkah yang tak terduga dan cenderung kontroversial karena beliau benar-benar mengetahui peta pengetahuan baik dari level, internasional, nasional, hingga lokal tak lagi muncul dipermukaan. Dan terakhir, mungkin mereka lupa Gus Dur yang selalu dibawa-bawa namanya itu adalah tokoh Internasional yang mempunyai bargaining position yang sangat kuat dan dihormati di mata dunia.

Pada lanskap itulah layaknya kita harus senantiasa tempatkan isu-isu terkait moderasi beragama, toleransi, dan pluralisme. Isu-isu tersebut seharusnya tidak selalu hanya menjadi diskursus semata, namun juga menjadi basis untuk menegakkan keadilan di antara umat beragama. Mempunyai wawasan ekonomi politik dan geopolitik sehingga mampu secara tajam membedah problem-problem mendasar kenapa masalah di antara umat beragama bisa terjadi di masyarakat kita. Bukan malah digunakan untuk membenarkan, melegitimasi bentuk-bentuk ketidakadilan baru, atas dasar relasi kuasa yang tidak setara.

Soal tanah dan benih di tubuh NU

Terakhir, kembali ke awal. Jika pertanyaannya adalah apakah sudah benar benih yang telah ditanam di “tanah” NU sedari awal? Jelas dari penelusuran dan kesaksian dari beberapa orang yang saya temui mereka telah menanam benih yang benar, setidaknya di masa itu. 

Karena memang “benih-benih” tersebut lahir dari situasi dan kondisi yang saat itu memang dibutuhkan. Tapi jika pertanyaanya, apakah benih-benih di tanah NU yang telah ditanam, yang kemudian tumbuh subur tersebut sekarang masih relevan? Kiranya kita perlu menilik ulang.

Karena kemungkinan di tengah “tanah” yang semakin sulit diolah akibat situasi cuaca geopolitik yang sulit diprediksi, ditambah lagi banyaknya kepentingan yang juga ingin ikut menanam di lahan tersebut, belum lagi adanya rumput rumput liar yang muncul dengan sendirinya, akibat kurangnya perawatan. 

Seharusnya, di tengah situasi yang tidak mudah itu, niat untuk terus belajar, terus kritis, dan waspadalah yang bisa kita lakukan. Jangan sampai, benih-benih baik yang sudah ditanam di tanah NU justru kita salah gunakan. Hanya demi “gaya hidup” baru aktivisme di era digital.

Penulis: Abdul Rohman 

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Kebenaran Gus Dur yang Serbakebetulan dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version