Soal Sengketa Tanah Yerusalem, Trump Harus Belajar Dari Jokowi

Trump_yerusalem_mojok

Trump_yerusalem_mojok

[MOJOK.CO] “Trump mengakhiri sepihak sengketa tanah Yerusalem. Bisakah ia mendamaikan Israel dan Palestina?”

Dunia dibuat kaget oleh pernyataan Donald Trump, presiden Amerika yang pas dilantik berjanji akan membuat pribumi Amerika kembali jadi tuan rumah di negeri sendiri (padahal Donald Trump sendiri juga bukan pribumi sana). Gak ada angin gak ada hujan, mak bedundug beliau mengumumkan kalau Abu Janda, maksud saya, Amerika mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.

Malah, katanya, Oom Donald –yang menurut Setya Novanto highly disukai di Indonesia (padahal kepala Oom Setnov belum kejedot tiang listrik waktu itu)—juga berencana memindahkan kedutaan Amerika ke kota yang statusnya masih ‘tanah sengketa’ itu. Semakin benarlah kata-kata orang Amerika yang gak mendukung Oom Donald waktu pilpres bahwa Oom Donald itu lebih suka mendirikan tembok ketika yang lain berusaha membangun jalan tol.

Dunia, seperti biasa, terbelah. Ada yang pro, ada yang kontra. Celakanya, yang menentang Amerika, selain Inggris dan kebanyakan negara Eropa, adalah Cina yang di sini dibilang aseng dan Iran yang sudah jelas Syiah. Di sisi lain, Arab Saudi malah mendukung keputusan Amerika. Posisi Indonesia sih sudah jelas. Seluruh rakyat Indonesia selalu bersama rakyat Palestina, kata Pak Jokowi.

Tapi ya gitu. Rakyat Indonesia tetap terbagi dua: rakyat yang kampret dan yang cebong, yang taplak dan yang serbet. Ini yang, kalau kata saya, membela Palestina dengan citarasa pilpres atau pilkada ibukota. Masalah internasional, berantemnya lokal.

Alumni Monas University yang baru menggelar reuni beberapa hari yang lalu dan disindir karena ke mana-mana bawa bendera Palestina –mirip penonton konser musik yang apapun konser musiknya, benderanya tetap Slank—menantang pencelanya untuk ikut membela Palestina. Atau kalau gak punya bendera Palestina di rumah, minimal memprotes Amerika.

Sementara pemilik IQ 200 sekolam balik menantang lawannya untuk juga memboikot produk-produk Arab karena Arab Saudi mendukung Amerika. Amunisi bertambah buat kelompok kedua setelah Cina yang aseng dan Iran yang Syiah tadi sudah menyatakan tidak setuju dengan  keputusan Amerika. Mana Fadli Zon pernah foto sambil mrenges pula sama Donald Trump dan sialnya, kayaknya semua kecebong nyimpen foto itu di laptopnya.

Konflik di Timur Tengah, tanpa ditambahi keributan antara bani taplak dan bani serbet pun sudah susah untuk dipetakan. Bahkan kalau cuma mau membicarakan Israel-Palestina, atau mungkin Yerusalem saja. Di tempat yang kata Golda Meir, mantan perdana menteri Israel, gak ada minyaknya itu, Tuhan dan malaikat-malaikatnya justru paling sering menampakkan diri. Tapi malah di tempat lahirnya agama-agama Samawi ini kedamaian sepertinya jadi barang yang langka.

Yerusalem –tempat Daud dulu mengintip Betsyeba mandi, lalu mengirim suaminya ke garis depan, lalu mokat, lalu menikahi jandanya—kalau kata orang Israel ya punya mereka. Dasarnya jelas, Tuhan menjanjikan tanah Kanaan, termasuk Yerusalem di dalamnya tentu saja, kepada mereka. Tertulis di kitab suci mereka.

Di kitab suci saya, Alkitab, juga ada. Bayangkan, betapa berdosanya mereka kalau sampai membuat Tuhan gak bisa menepati janji-Nya. Mau diutak-atik kayak apa, seluruh daerah dari Lebanon sampai lembah Sungai Yordan yang disebut Kanaan tadi sudah tertulis di kitab suci. Ngaku Yahudi tapi gak percaya janji Tuhan di kitab sucinya, mending gak usah ngaku orang Yahudi.

Argumen kayak gini kayak pernah denger di manaaa gitu ya?

Orang Palestina juga punya dasarnya sendiri ketika mengklaim Yerusalem sebagai ibukotanya. Orang Yebus yang dikalahkan dan diusir Daud dari Yerusalem –yang sehabis menang itu Daud joget-joget di sepanjang jalanan Yerusalem terus dimarahin istrinya—didaku sebagai nenek moyang mereka, walaupun untuk membuktikannya tentu sulit sekali.

Begitu juga dengan orang Israel, lha wong orang Israel itu kan pendatang dari Mesir, yang dibawa Musa yang kata Golda Meir tadi muter-muter 40 tahun di padang gurun. Lha orang asing kok, dengan agama dan kepercayaan yang juga impor, kok berani-beraninya mengklaim kota sampai bikin negara di tanah nenek moyang kami.

Argumen kayak gini rasanya kok juga gak asing di kuping ya?

Semua orang tahu kalau Yerusalem adalah kota suci bagi tiga agama yang diwariskan oleh Abraham.

Muslim dan kristen berkewarganegaraan Israel juga ada. Di tempat ini ada reruntuhan yang diyakini sebagai Bait Suci yang dibangun Herodes sebelum diruntuhkan orang Roma, orang Yahudi meratap dan menyesali dosa-dosa mereka di tembok yang tersisa dari Bait Suci itu. Lalu di tempat yang diyakini orang Kristen sebagai tempat Yesus disalibkan, mereka mendirikan gereja dan berdoa juga di sana.

Ditambah lagi masjid yang diyakini umat Muslim sebagai tempat Nabi Muhammad memulai perjalanannya ke surga dalam satu malam yang menjadikannya kota suci ketiga setelah Mekah dan Madinah. Saya kalau disuruh memutuskan Yerusalem itu sebenarnya punya siapa juga gak bisa. Lha PBB aja juga gak bisa. Setahu saya, PBB pernah menyarankan supaya kota itu dijadikan kota internasional, tidak dimiliki baik oleh Israel maupun Palestina. Dunia internasional juga menolak klaim kedua negara, apapun dasar argumen mereka.

Tapi saya ingat –dari pelajaran agama saya jaman saya masih kecil—ketika banyak orang bilang orang Yahudi itu jenius-jenius, saya malah mengingat mereka sebagai bangsa penggerutu. Orang boleh mendaku kalau agamanya yang paling benar, atau ngaku-ngaku sebagai anak kesayangan Tuhan, tapi satu-satunya bangsa yang pernah dianterin Tuhan ya orang Israel itu pas keluar dari Mesir. Tiang awan di waktu siang dan tiang api di malam hari. Gitu aja anak buah Musa dan Harun itu masih saja mengeluh.

Contoh paling cespleng ya Golda Meir itu. Sudah bisa mendirikan Negara Israel, masih ngeluh karena gak punya minyak. Atau, kalau mau disambung-sambungin sama persoalan Yerusalem, sudah dikasih Yerusalem Barat pun tidak membuat orang Israel puas. Mencaplok Yerusalem Timur dan sekarang semuanya diaku sebagai ibukotanya.

“Piye jal prasaanmu nek dadi Tuhan?” mungkin begitu kalau kata Marno Blewah asli.

Saya sekarang malah curiga sama Oom Donald. Mengambil keputusan yang saya yakin dia tahu bisa menyulut perang, jangan-jangan beliau sebenarnya cuma lagi galau. Saya curiga jangan-jangan Oom Donald itu, di dalam negerinya, sebenarnya lagi bingung mencari cara untuk mengimbangi kerja pemimpin Amerika sebelum dirinya.

Karena gak punya program yang bagus –jadi presiden juga bejan-bejanan dengan memanfaatkan isu rasis—dan popularitasnya yang terus menurun makanya beliau kembali memainkan kartu lamanya. Sudah jadi presiden tapi berasa masih kampanye. Mungkin Oom Donald kepingin merapatkan lagi barisan kelompok Republik dan golongan kanan yang dulu mendukungnya. Dinyinyiri terus sama pendukung Obama yang belum bisa move-on kan gak enak.

Banyak cerita, tentu saja, dari kota yang dianggap suci oleh pemeluk tiga agama Samawi itu, tapi cerita favorit saya adalah ketika Umar bin Khattab bertemu dengan pemimpin gereja Yerusalem Sophronius selepas menaklukkan kota itu. Waktu ditawari untuk beribadah di Gereja Makam Kudus sama Sophronius, Umar menolak dan lebih memilih untuk beribadah di tempat yang sekarang konon menjadi tempat berdirinya Masjid Umar.

Kalau kata Wikipedia sih bukan karena Umar bin Khattab takut akidahnya luntur lalu masuk Kristen, tapi karena beliau tidak mau pasukannya kemudian punya alasan untuk mengubah gereja itu menjadi masjid. Malah, alih-alih pasang spanduk menolak berdirinya gereja di Yerusalem, Umar malah menjamin akan melindungi tempat-tempat suci dan umat Kristen. Tapi gak tau lagi sih kalau kata Ustadz Felix yang konon katanya paling tahu soal Utsmani. Mungkin Pak Felix lebih tahu soal ini.

Rasa-rasanya, keputusan yang paling pas menyangkut Yerusalem ya seperti usul PBB tadi: membiarkannya status quo. Yerusalem, kalau kata saya, memang seharusnya menjadi kota semua orang. Menjadi kota untuk semua orang berarti juga tidak menjadi kota untuk siapa pun. Mungkin orang –entah itu Yahudi, Kristen, maupun Islam—harus mulai melihat Yerusalem seperti Musa melihat seluruh tanah yang dijanjikan kepadanya dari puncak Piska di Gunung Nebo, tanah yang justru tidak pernah dimasukinya.

Atau Yesus yang melewati gerbangnya dengan menunggang seekor keledai, hanya seminggu di sana, lalu pulang ke rumah Bapa-Nya. Atau seperti Muhammad yang menapakkan kakinya di batu yang dipercaya orang Yahudi pernah digunakan Ibrahim meletakkan leher Ishaq, sebelum diganti dengan domba oleh Tuhan, untuk memulai perjalanan satu malamnya naik ke surga.

Sekarang pertanyaannya tinggal satu, kalau Yerusalem status quo, yang berhak mengelola atau minimal menjaga keamanannya siapa? Ya Indonesialah. Pak Jokowi bisa mempertimbangkan untuk mengirim ormas kepemudaan kayak Pemuda Pancasila, misalnya, ke sana. Supaya mereka bisa memperkenalkan nilai-nilai luhur Pancasila kepada dunia? Ya supaya aman aja. Secara mereka kan udah pengalaman ‘mengamankan’ tanah-tanah yang berstatus sengketa.

Exit mobile version