Sebagai seseorang yang berkecimpung di dunia desain, saya merasakan haru yang begitu membludak di pelupuk mata begitu mengetahui bahwa karya desainer bungkus jajanan bisa lebih terkenal daripada lagu latah presenter Ini Talkshow. Tentu anda semua sudah bisa menebak, jajanan apa yang saya maksud: Yak, tepat, Snack Bikini.
Hampir semua tetangga di warteg maupun di warnet bergosip soal snack Bikini, alias Bihun Kekinian, makanan ringan berupa mie kremes dengan slogan ‘Remas Aku’.
Yang terekam dalam ingatan seorang bangsat penjahat feminism soal makanan itu adalah: ramping, kuning langsat, gaul, dan seksi, yang tentu saja bisa diremas. Tarifnya murah(an). Hanya 15 ribu sekali remas #eh.
Melihat visualnya, Bikini memang terlihat lebih cocok sebagai cover komik hentai ketimbang kemasan sebuah camilan. Dan ketika Bikini laris, itu menjadi salah satu rangkaian bukti bahwa Indonesia memang penuh dengan anak-anak nakal, kegatelan, dan agresif.
Bikini menjadi heboh karena pembohongan massal atas strategi pasar di luar etos dan norma sejak mendapat izin PIRT dengan menyertakan label halal dan konsep desain yang aduhai.
Pemasaran Bikini dilakukan melalui jejaring media online. Rata-rata pesanannya 6000 pcs. Produsennya? Mahasiswi cantik yang sudah akil baligh (18+). Namanya Tiwi. Ia seorang gadis yang tumbuh menjadi insan kreatif dengan sejumlah terobosan baru berkat kursus entrepreneur.
Snack Bikini yang diproduksi di Bandung itu harus ditarik dari peredaran karena mendapat banyak laporan dari masyarakat terkait kemasannya yang dianggap menjurus ke pornografi. Selain itu, Bikini juga dinilai ilegal karena tidak terdaftar di Dinkes dan BPOM, logo halalnya pun palsu.
Tentu ini bukan perkara sederhana, karena efeknya, masyarakat kemudian menaruh curiga pada perizininan edar makanan dan menganggap bahwa desainer, selain kepalanya kotor dan berantakan, juga bekerja sebagai tukang tipu yang cerdas. Wirausahawan pun dianggap tidak lebih dari sosok mata duitan. Lalu, Bandung, didaulat rawan keresahan akibat kreativitas warganya yang kebablasan.
Kota Bandung memang dikenal sebagai kota industri kreatif sekaligus tempat berkumpulnya para jomblo. Tidak jarang banyak orang yang betah membuka lapak kuliner maupun fashion di pinggiran taman sambil diam-diam mencari pacar idaman. Seperti kata-kata Pidi Baiq, “Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi.” Betul sekali. Bandung adalah kota di mana kesepian sangat mungkin untuk dipupuk menjadi karya brilian.
Nah, karena merasa menjadi bagian dari Bandung dan demi mewakili seluruh pelajar Desain Komunikasi Visual, saya ingin sekali membicarakan soal kemasan. Saya selalu bertanya tentang apa pentingnya kemasan. Bayangkan, suatu hari, di dalam bus, ada seorang pedagang asongan yang menawari kita sebongkah permen jahe tanpa bungkus. Kita lebih baik pura-pura tidur atau loncat lewat jendela sekalian daripada harus mengunyah permen telanjang! Kalau toh ada permen dengan kemasan rusak dan mengganjal perasaan, kita berhak berprasangka tentang racun atau narkoba atau obat-obatan terlarang. Iya, kan? Iya dong.
Sebutir cilok tidak lebih mahal dari nugget So Good. Segelas jamu juga tidak lebih prestisius dari kopi Startbucks. Karena apa? Karena kemasan. Bagaimana kamu bisa lolos dari supermarket tanpa barang belanja yang sebetulnya belum pernah kamu rencanakan? Karena kemasan, si penarik perhatian. Ingat display eksotis yang ada di depan meja kasir? Kita tergoda sekali untuk menyentuhnya, kan?
Kemasan begitu penting. Penting sekali meski ujung-ujungnya pasti dibuang. Jadi sampah. Jadi limbah. Kemasan bakal tercampakkan dan mampat di selokan.
Seringkali saya bilang bahwa jangan mau jadi desainer grafis sebab desainer grafis adalah pencipta sampah. Media cetak menumpuk dan jadi sampah. Surat kabar, majalah, brosur, poster-poster kampanye, spanduk caleg, pamflet iklan badut atau obat datang bulan, reklame iklan rokok, hingga tak terkecuali, kemasan produk. Semuanya dibuang. Selesai acara atau lewat masa tenggat atau kalau sudah habis dikonsumsi, semua harganya jadi setara tisu toilet, bahkan lebih rendah.
Mengerikan. Lalu kenapa masih ada desainer sampah?
Kita lupa bahwa sampah-sampah itu masih nempel di kepala meski wujudnya sudah tidak ada. Kita masih mengatakan Aqua untuk membeli semua merek botol mineral. Kita masih mengatakan Odol untuk semua merek pasta gigi. Kita juga masih ingat bentuk serta warna logo pertamina yang bertransformasi dari kuda laut sampai anak panah. Dari kejauhan kita juga mampu membedakan kemasan sampo yang berjejer di warung tanpa membaca mereknya.
Menjadi desainer grafis adalah menjadi penanam pesan subliminal yang terus bersuara. Tidak mengenal jarak dan waktu. Seperti hantu.
Begitu pun desain kemasan Bikini. Dia akan menjadi hantu bagi siapa pun yang jadi konsumennya, bagi anak-anak apalagi. Secara hierarki, kemasan tersebut sudah sangat maksimal dalam menanamkan pesan sublim. Pakaian dalam wanita menjadi image yang paling menarik perhatian. Indonesia menjadi bangsa termelek kalau disodorkan pornografi. Dan dari situlah kontroversi bermula.
Saya pernah mendengar dosen saya, Ifa Safira Sagir bercerita soal stategi marketing sebuah perusahaan obat kuat yang saya lupa nama brand-nya. Para Sales Promotion Girl disebar di beberapa titik di mall sambil membagi-bagikan timun gratis bertuliskan alamat situs tertentu pada pengunjung, khususnya kaum lelaki. Apa yang kaum lelaki pikirkan jika ada seorang gadis seksi tiba-tiba menawarkan timun sambil tersenyum? Timun loh ini. Bukan selebaran.
Dengan dongkol sekaligus penasaran, mereka tentu bertanya-tanya sambil memeriksa timun tersebut dan ingin mematahkannya. “Sialan! Punya gue gak lebih keras apa?” Bukan tidak mungkin kaum lelaki yang merasa kejantanannya sedang dipertaruhkan bakal langsung mengakses situs tersebut. Nah, pemirsa, untuk obat kuat saja desainer butuh kecerdasan tingkat dewa dan sopan santun. Bukan jebakan.
Kalau saja ada dua hal—kemasan yang mengandung kejahatan dan kejahatan yang dikemas—hadir di hadapan saya dan saya harus memilih salah satunya, maka saya akan memilih yang pertama. Memilih untuk menyalakan akal dan hati saya dalam kegiatan konsumsi. Tidak hanya untuk bertahan hidup, tapi demi prinsip.
Dalam kemasan yang mengandung kejahatan siapa tahu terselip kebaikan. Siapa tahu Bihun Kekinian itu gurih dan menyehatkan. Seperti merek-merek tertentu yang disinyalir merupakan konspirasi Yahudi dan mengandung minyak babi padahal tidak terbukti sama sekali.
Sedangkan dengan pilihan kedua, saya agak takut. Takut terjebak. Sebab kejahatan yang dikemas rapi sekali-kali tidak mengandung kebaikan. Oh, kalian pembaca, tidak perlu berpikir keras. Intinya, saya hanya ingin mengatakan bahwa Tiwi juga sama bingungnya saat diwawancarai wartawan perihal motifnya menjual snack Bikini dengan kemasan seronok seperti itu.
Ibu Pertiwi sendiri, Indonesia, memiliki sejuta kebaikan tapi tidak dikemas. Misalnya saja, keindahan pariwisata, budaya, sumber daya alam, dan sebagainya. Dan saya berharap, betul-betul berharap, para desainer grafis Indonesia bisa bersama-sama ikut berperan dalam pengemasan identitas bangsa. Branding Indonesia beyond yourself. Di luar diri kita, Indonesia harus memiliki nilai jual.
Sepakat? Mari berjabat tangan!
Sekarang saya sudah harus berkemas. Saya lupa hari ini saya belum memakai krim malam. Padahal jerawat dan komedo saya lebih menarik perhatian daripada kantung mata saya. Itu meresahkan. Saya butuh kemasan untuk wajah saya sendiri biar setidaknya ada pangeran yang nyantol.