Siapa yang Menciptakan Geng Motor? Negara

Populasi motor se-Indonesia ada 100 juta unit. Berapa jumlah personel kepolisian se-Indonesia? Tidak lebih dari 500 ribu personel. Berapa yang bertugas lapangan sebagai polantas? Mungkin 100 ribu personel. 100 ribu ini harus mengawasi 100 juta unit motor, dan mungkin dua puluh juta unit kendaraan roda empat milik pribadi, bus, truk, dan lain-lain.

Bisa bayangkan betapa rendahnya kualitas pengawasan penggunaan motor se-Indonesia. Lihatlah secara acak di sekitarmu. Anak di bawah umur, pemuda, orang dewasa, laki-laki maupun perempuan, seolah bebas hukum dalam menggunakan motor. Tanpa helm, tanpa plat nomor, tanpa spion, bebas. Melawan arus, naik trotoar, parkir dan berhenti seenaknya, terabas lampu merah, bebas. Bahkan di depan mata Kepala Polisi sekali pun.

Mengapa negara membiarkan? Pro investasi akan menjadi alasan utama pemerintah pusat dan daerah. Pajak penjualan motor menopang keuangan pusat dan daerah. Membuka lapangan pekerjaan dan memberi makan banyak pihak. Jadi kalau ada ekses negatif, yaaaa mohon dimaklumi. Kira-kira begitu.

Peduli setan setiap jam 3 nyawa hilang di jalan, 70% lakalantas selalu melibatkan motor, dan 11-16% kecelakaan motor melibatkan pemotor usia dini. Tak jarang mereka menjadi cacat bahkan kehilangan nyawa.

Dengan statistik jumlah motor dan personel kepolisian, tak perlu bingung dengan maraknya geng motor. Jika ada 100 juta motor, 1% saja dikendarai brandalan, itu sudah satu juta motor. Jika satu motor dikendarai dua orang, ada dua juta brandalan motor. Bayangkan 1-2 juta tersebar di 500 daerah tingkat II senusantara. Ada potensi 2000-4000 brandalan motor per kota/kabupaten. Kalau semuanya membawa senjata tajam dan pentungan, tentu membahayakan keamanan semua orang. Mereka berpotensi saling melukai antarsesama, melakukan tindak kriminal dengan berbagai macam motif.

Itu kalau hanya 1% yang berpotensi kriminal. Bagaimana kalau 5% bahkan 10%? Kebebasan melakukan tindakan kriminal tentu menular.

Kira-kira langkah apa yang harus diambil? Ngomong baik-baik ke 1-2 juta berandalan untuk menghentikan aksinya? Atau mengambil langkah tegas ‘kekerasan negara’ agar kriminalitas melibatkan motor berkurang?

Karena kesalnya dengan berandalan motor yang melakukan kekerasan, akhirnya setiap pembalasan oleh massa, dan aparat bersenjata memukuli mereka, justru akan disambut gegap-gempita. Penghakiman jalanan mendapat tepuk tangan. Lihat saja sharing video penghakiman jalanan oleh masyarakat dan aparat yang sungguh marak belakangan ini. Untaian dukungan mengalir dalam bentuk like, love, dan komentar.

Jika saja tiap like, love dan komentar terkait geng motor di media sosial dikenakan tarif Rp5 ribu, niscaya akan terkumpul uang yang cukup untuk memodali saya maju jadi capres.

Di tengah emosi massa yang terus diaduk-aduk dengan berita geng motor mengeroyok dan dikeroyok, yang muncul ke permukaan adalah kelompok moralis. Meminta agar ada langkah-langkah pendekatan tanpa kekerasan.

Helloooo …. korban sudah berjatuhan dan bahkan korbannya aparat. Lalu mau dihadapi dengan elusan-elusan ringan, bahwa ini hanya gejolak temporer kawula muda yang tak perlu dihadapi dengan kekerasan karena akan mengakibatkan permasalahan psikologis? Temporer ndasmu.

Beberapa lagi berkomentar bahwa fenomena geng motor adalah potret kegagalan pendidikan nasional. Karena itu harus ada pendekatan ke sekolah-sekolah untuk sosialisasi. Akhirnya jadilah proyek sosialisasi dari daerah ke daerah yang isinya cuma beradu buih ludah tanpa ada hasil nyata. Cocok untuk proyek mereka yang (sok) moralis.

Menurut saya, masalahnya bukan urusan psikologi, pendidikan, atau moralitas yang penyelesaiannya jangka panjang, karena masalah keamanan masyarakat terkait berandalan motor adalah jangka pendek.

Saya rasa dalam jangka pendek harus ada hukum yang tegas terhadap berandalan motor. Tegas, tepat sasaran dan memberi efek jera yang dalam. Agak kejam tapi harus dilakukan. Razia di sekolah benar-benar di lakukan terutama SMP dan SMU. Razia di jalan untuk pemotor usia dini juga harus tegas. Hukum yang berat juga untuk orangtuanya. Entah hukumannya seperti apa, yang pasti menurut saya harus ngeselin. Misalnya motor disita 6 bulan, atau kalau perlu dihancurkan, lalu dijual jadi besi tua.

Hari gini masih berharap ngomong baik-baik ke publik, lalu dituruti? Rasanya sulit. Harus ada hukuman dengan efek jera yang dalam. Mengapa harus ada efek jera? Balik lagi, karena potensi kejahatan atas populasi motor sedemikian besarnya.

Jangka menengah, pemerintah harus melibatkan Menkeu dan Menperin, Menhub. Tujuannya konkrit: kurangi populasi motor baru, perketat kepemilikan motor dengan pajak, ear marking pendapatan pajak industri otomotif, khusus untuk subsidi kendaraan umum sampai terbangun mass rapid transportation yang menunjang (entah kapan, hahaha).

Buat saya, omong kosong melawan berandalan motor tanpa ada upaya mengurangi populasi dan memperketat kepemilikan. Apalagi cuma modal buih ludah penegakan moralitas dan pendidikan pemuda. Isinya seminar sana-sini ngabisin anggaran. Dampak nyatanya tidak ada.

Satu hal lagi yang membuat saya heran: Kalau ada perokok usia dini, data statistik sakit karena rokok dan ancaman kematian karena rokok, rasanya sedunia ikut menunjuk jari ke pemerintah dan pabrik rokok. Kalimat-kalimat penghakiman bahwa negara diatur pabrik rokok, rezim hidup dari nikotin, tutup pabrik rokok, pekerjanya menerima uang haram, bla-bla-bla, menyeruak di hadapan publik.

Kalau pemotor usia dini yang berdampak membahayakan mereka dan orang lain, cacat bahkan mati, mengapa publik dan dunia internasional tak gencar mengecam pabrik motor? At least, mempertanyakan apa upaya mereka agar pemotor usia dini dapat ditanggulangi ya. Ini upaya konkrit, loh, bukan sekedar himbauan dan seminar series kelilang-keliling Indonesia.

Saya tahu perbandingan pabrik motor dan pabrik rokok tidaklah apple to apple. Cuma rasanya enak juga saya bisa nyinyirin mereka yang ingin sekali menutup pabrik rokok, tapi anteng-anteng saja dengan bahaya motor.

Ya, namanya juga bikin usaha ya. Harus tuntas jiwa kapitalisnya. Bodo amat korban berjatuhan setiap saat karena lakalantas dan kriminalitas. Bodo amat dengan kekerasan susul-menyusul antara berandalan motor dan masyarakat yang kesal. Bodo amat! Kan sudah bayar pajak. Dampak negatif bukan urusan korporasi.

Exit mobile version