Senyum dan Humor Nabi Muhammad

Hikayat-2019 - Mojok.co

MOJOK.CO – Imam al-Ghazali pernah menyebut kecenderungan candaan Nabi Muhammad dalam berdakwah pun sering muncul. Artinya Nabi pun punya “sense of humor”.

Nabi Muhammad saw. dianggap sebagai contoh ketampanan lahiriah. Wajahnya, seperti dinyatakan para penyair sesudahnya, dilukiskan sebagai “mushhaf nan indah,” dan “bulu-bulu halus” di pipinya laksana “nash wahyu yang diturunkan.”

Namun, ketampanan lahiriahnya tidak lain ialah cerminan keindahan dan kemuliaan batinnya, karena Allah Swt. telah menciptakannya sempurna dalam akhlak dan moral, khalqan wa khulqan.

Tatkala ‘A’isyah, istrinya yang masih muda, ditanya perihal akhlaknya, ia berkata, “Akhlaknya adalah Al-Quran—dia menyukai apa yang disukai Al-Quran, dan membenci apa yang dibenci Al-Quran.”

Qadhi ‘Iyadh, salah satu pengagum Nabi saw., yang sangat khas dalam keyakinan muslim, menulis:

Allah meninggikan derajat Nabi-Nya dan memberinya pelbagai kebajikan, dan hak istimewa. Dia meninggikan derajatnya dengan amat mengagumkan, sehingga tidak ada lidah atau pena yang sanggup melukiskannya. Dalam kitab-Nya, Allah secara jelas dan terbuka menyatakan peringkatnya nan tinggi, dan memujinya karena segenap sifat dan kebiasaan mulianya.
Dia memerintahkan para hamba-Nya untuk mendekatkan diri kepadanya dan mengikutinya dengan patuh. Allah Yang Mahaagung memberikan kehormatan dan karunia, menyucikan dan membersihkan, yang memuji dan memberikan pahala …
Dia memperlihatkan di depan mata kita sifatnya yang mulia, sempurna dan luhur dalam segala hal. Dia memberinya pelbagai kebajikan sempurna, segenap sifat terpuji, kebiasaan-kebiasaan mulia, dan banyak kelebihan yang mengagumkan. Dia menunjang pesan-pesannya dengan berbagai mukjizat yang cemerlang, bukti-bukti yang jelas, dan tanda-tanda yang nyata.

Menurut Annemarie Schimmel dalam Cahaya Purnama Kekasih Tuhan: Dan Muhammad adalah Utusan Allah (2012: 71-77), semua catatan mengisahkan telatah Nabi Muhammad yang ramah, baik hati, tetapi serius, dan tidak sering tertawa. (Sebuah hadis Rasulullah saw. yang masyhur, yang sering dikutip oleh kaum zahid awal, menyatakan: “Jika kalian tahu apa yang aku ketahui, kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa”).

Akan tetapi, dia juga diriwayatkan punya senyum paling memesona yang senantiasa menarik hati para pengikutnya. Imam al-Ghazali bahkan menyebutkan kecenderungan Nabi untuk tertawa.

Humornya nan lembut terbaca dalam beberapa kisah Islam awal, misalnya:

Suatu hari seorang perempuan tua bertubuh kecil datang kepadanya dan menyatakan apakah perempuan tua yang menyedihkan seperti dirinya itu juga akan masuk surga.

“Tidak,” ujar Nabi, “tidak akan ada perempuan tua di surga!”

Dan kemudian, melihat kesedihan di wajahnya, Nabi meneruskan sambil tersenyum, “Mereka akan diubah semuanya di surga, karena semua penghuni di sana hanya berusia muda!”

Dan kebijaksanaannya yang praktis dalam menghadapi para sahabatnya terungkap dengan cogah sekali dalam ucapannya kepada Abu Hurairah, yang sangat sering mengunjunginya: zur ghabban tazdid hubban, “Berkunjunglah jarang-jarang, agar engkau lebih disayang!”

Sumber-sumber ini memuji kepedulian Nabi Muhammad pada kaum yang lemah, dan kebaikannya selalu ditonjolkan.

“Dia tidak pernah memukul pelayan, apalagi pelayan perempuan, atau salah seorang istrinya,” kata sebuah hadis.

Al-Tirmidzi melukiskannya sebagai berikut: “Dia akrab dengan kesedihan, banyak berpikir, sedikit istirahat, tidak berkata-kata untuk waktu yang lama, dan tidak berbicara tanpa sebab. Dia memulai dan mengakhiri pembicaraannya dengan kata-kata ‘Bismillah.’ Pembicaraannya ringkas, tidak terlalu panjang, juga tidak terlalu pendek, tidak kasar, tetapi juga tak main-main, dan ringan. Dia menghormati setiap tanda karunia Allah, walaupun hanya kecil, dan tidak pernah mencela apa pun.”

Nasihat praktis bagi umatnya juga berlimpah. Ketika seorang Badui menanyakan kepadanya apakah dengan bertawakal kepada Allah dan berlindung kepada-Nya, dia boleh membiarkan untanya merumput dengan bebas, Nabi saw. menjawab ringkas, I’qilha wa tawakkal, “Tambatkanlah terlebih dahulu ia, lalu bertawakallah kepada Allah!”

Pentingnya berusaha di dunia ini, dan bukan fatalisme tidak sehat yang dalam jangka panjang akan menghilangkan tanggung jawab, terungkap dengan baik sekali dalam hadis yang sering dikutip ini: “Dunia ini adalah ladang persemaian bagi kehidupan akhirat.”; setiap tindakan yang dilakukan manusia di dunia akan memumbuhkan buah—entah baik, entah buruk—di akhirat.

Lebih jauh lagi, setiap muslim taat selalu ingat pada doa pendek yang tepat dari Rasulullah, “Ya Allah, tambahkanlah untukku ilmu!”

Orang beriman hendaknya juga meniru cara Nabi berkomunikasi dengan orang-orang sezamannya dan caranya berperilaku di tengah masyarakat. Bukankah dia pernah ditegur dalam Alquran (QS. ‘Abasa [80]: 1) karena bermuka masam tatkala seorang tamu buta menyela di tengah pembicaraan pentingnya dengan pembesar-pembesar Quraisy?

Teguran atas Nabi ini mendorongnya untuk lebih seimbang dalam berbuat baik kepada setiap orang: “Jika seseorang datang dengan suatu permintaan, maka dia tidak akan disuruh pergi sebelum permintaannya dikabulkan, atau setidak-tidaknya menerima jawaban yang ramah.”

Keramahan dan kemurah-hatian Nabi tertuju kepada semua orang; dia ditamsilkan sebagai seorang ayah bagi para sahabatnya.

Kemiskinan Nabi Muhammad dan keluarganya menjadi tema penting dalam tradisi rakyat. Rotinya syahdan terbuat dari biji-bijian yang tidak diayak.

Dalam bukunya, In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad (2007), Tariq Ramadan membayankan beberapa catatan yang melukiskan bagaimana Nabi saw. dan keluarganya, terutama putri tercintanya, Fathimah, merasakan kelaparan selama bermalam-malam.

Nabi selalu mengikatkan sebutir batu pada perutnya untuk menekan rasa lapar, dan kesengsaraan Fathimah digambarkan secara menggetarkan hati (terutama dalam tradisi Syi’ah).

Bahkan diceritakan, sepulangnya dari perjalanan mikraj-nya, keesokan paginya Nabi harus berutang biji gandum dari seorang pedagang Yahudi yang tidak simpatik untuk meredam rasa laparnya.

‘Umar bin al-Khaththab, khalifah kedua, pernah menangis begitu menyaksikan keadaan rumah Nabi yang menyedihkan; ketika ditanya mengapa menangis, ‘Umar menjawab bahwa dia tidak sanggup menerima kenyataan bahwa raja-raja Persia dan Byzantium hidup dalam kemewahan, sementara Nabi hampir kelaparan dalam kemiskinannya.

“Mereka memiliki dunia ini, dan kita memiliki akhirat,” sahut Nabi, menenangkan hati ‘Umar.

Kebaikan hati Nabi Muhammad yang penuh cinta kasih tertuju kepada semua makhluk. Dia dikenal mencintai anak-anak, sering menyapa mereka di jalan-jalan, dan bermain-main dengan mereka.

Nabi juga dikenal cinta kepada binatang. Dia pernah menjanjikan surga kepada seorang perempuan pendosa yang telah menyelamatkan seekor anjing dari kematian dengan jalan mengambilkan air untuknya. Nabi saw. terutama mengistimewakan kucing.

Konon, dia pernah memotong lengan bajunya ketika harus bangkit dari sujud karena tidak ingin mengganggu kucing yang sedang tidur di lengan bajunya. Salah seekor kucingnya bahkan melahirkan di atas pakaiannya.

Satu aspek kehidupan Rasulullah yang selalu membingungkan, mengganggu perasaan, bahkan mengejutkan kaum non-muslim yang mempelajari Islam adalah sikapnya kepada perempuan.

Sepanjang hayatnya, Muhammad menikahi sembilan perempuan. Seseorang yang dibesarkan dalam tradisi Kristen, dengan cita-cita asketisnya tentang kehidupan selibat Yesus dan penekanannya pada monogami, tentu saja akan menemui kesulitan untuk mengakui bahwa seorang nabi sejati pun menikah dan bahkan memiliki banyak istri.

Menurut Lesley Hazleton dalam karyanya, The First Muslim: The Story of Muhammad (2013), salah satu serangan yang sering ditujukan kepada Nabi Muhammad sejak awal Abad Pertengahan hingga kiwari adalah tuduhan perihal pengumbaran nafsu dan kejahatan seksual.

Kaum muslim, di lain pihak, merasa bahwa kemampuan Nabi untuk menggabungkan bidang duniawi dan bidang spiritual merupakan bukti bagi ketinggian derajatnya. Patut dicatat bahwa pembatasan Al-Quran untuk poligami hanya sampai empat istri, yang harus diperlakukan dengan sikap yang benar-benar adil menurut aturan-aturan Alquran, sesungguhnya adalah kemajuan yang sangat besar bagi adat-istiadat pra-Islam.

Beberapa tokoh pembela Islam dengan gigih menekankan bahwa Nabi Muhammad menikahi beberapa istrinya pada tahun-tahun belakangan (pasca istri pertama, Khadijah, wafat) dengan tujuan memberikan perlindungan anyar bagi para janda syuhada. Selain itu, banyaknya istri dan selir Nabi Sulaiman dan Nabi Dawud—dua nabi-raja dari Bani Israil, yakni pendahulu Nabi, yang disebutkan oleh Alquran—membuat jumlah istri Nabi sesudah wafatnya Khadijah tampak terlalu sedikit.

Orang sering lupa bahwa Nabi menikah, selama sebagian besar masa hidupnya, hanya dengan seorang istri, Khadijah, yang jauh lebih tua darinya.

Hanya dalam tiga belas tahun terakhir dalam hidupnyalah Muhammad melakukan beberapa perkawinan. Meskipun demikian, Khadijah tetaplah menjadi istri ideal bagi Nabi walaupun sudah wafat, sampai-sampai ‘A’isyah, istrinya yang masih muda usia itu, tak henti-henti mencemburuinya.

Arkian, meniru perilaku dan pemikiran luhur yang diajarkan Nabi saw., sang “teladan indah” (uswah hasanah), kepada umatnya melalui contoh pribadi, dimaksudkan untuk membentuk setiap muslim agar menjadi seperti Rasulullah itu. Dengan begitu, setiap orang, seperti juga dirinya, harus memberikan kesaksian atas keesaan Allah melalui perbuatan dan kehadirannya.

Oleh sebab itu, sebagaimana dikemukakan dalam kitab Dala’il al-Khairat, orang muslim yang saleh hendaknya berdoa:

“Aku mohon kepada-Mu wahai Tuhanku, untuk memanfaatkan diri kami bagi Nabi, mematikan kami sebagai umatnya, memasukkan kami ke dalam barisannya, di bawah panji-panjinya, dan menjadikan kami sebagai sahabat-sahabatnya, memberi kami apa-apa dari sumbernya, memberi kami minum dari cangkirnya, dan memberi kami anugerah cintanya” (Schimmel 2012: 84).


Sepanjang Ramadan MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus soal hikayat dan sejarah peradaban Islam dari sejarahwan Muhammad Iqbal.

Exit mobile version