Saya Merasakan Sendiri Stres Kerja di SCBD, tapi Tetap Bersyukur karena Pernah Stres Plus Dapat Upah Rendah di Jogja

SCBD dan Jogja Bikin Stres, tapi Uang Meringankan Segalanya MOJOK.CO

SCBD dan Jogja Bikin Stres, tapi Uang Meringankan Segalanya MOJOK.CO

MOJOK.COSaya merasakan sendiri stres kerja di SCBD. Namun, saya bersyukur karena gaji SCBD agak meringankan. Beda dengan stresnya buruh Jogja.

Saya sedikit tergelitik kemarin ketika membaca tulisan di Mojok. Tempo hari, ada artikel tentang curhat karyawan dengan “gaji SCBD” yang dulunya sekolah di Jogja. Namun, dia mendapati bahwa gaji gede di Jakarta tak menjamin semuanya indah belaka. Ini bukan cerita yang baru. Hampir tiap waktu, selalu ada cerita seperti ini. Saya sendiri juga mengalami, kok.

Saya lahir dan besar di Madiun. Bapak saya orang asli Jakarta, tapi saya lebih merasa sebagai wong Jowo ketimbang orang Jakarta. Singkat cerita, saya berkuliah di Malang, mencicipi kerja pertama di sana, lalu berpindah ke Jogja selama 1 tahun, sebelum akhirnya hijrah untuk bekerja di Jakarta sejak 2017. Lompatan gaji yang saya rasakan cukup terasa signifikan. Tapi yang namanya lompatan dengan lentingan dahsyat, tekanannya pun ikut dahsyat. Ini kan keniscayaan ya.

Tekanan kerja di SCBD Jakarta

Pertama, biaya hidup. Makan, sewa indekos, transportasi, terasa lebih mahal di Jakarta, nggak cuma di SCBD. Belum lagi gaya hidup, terutama buat mas-mbak yang doyan ngopi. Saya nggak tahu kenapa banyak sekali karyawan di Jakarta yang sangat suka pesan kopi dengan harga Rp30 sampai Rp70ribu per gelasnya seolah itu minuman yang layak dihargai seperti itu. 

Bujet ngopi di ibu kota sendiri selama sebulan, saya rasa sudah setara sama UMR Sleman, deh. Apalagi kalau kebetulan kecantolnya sama kopi macam Starbucks. Kopi Tuku boleh, lah. Cuma ya buat saya yang nggak suka ngopi, saya tetap mending air putih dingin, sih.

Kedua, bujet stres. Kebetulan, dari artikel Mojok yang saya baca kemarin, dia mendapatkan “gaji SCBD” tapi sering stres. Jadi, dia sering memakai uangnya untuk konsul ke psikolog. 

Bujet stres ini nggak cuma buat ke psikolog, ges. Bisa juga dipakai untuk karaokean, ke panti pijat, atau jajan-jajan dewasa lainnya yang dianggap bisa mengurangi stres. Dan tentu saja, bujet stres ini sama seperti bujet biaya hidup yang nominalnya nggak sepele.

Tapi, dari pengalaman saya, yang namanya lentingan hidup, meminjam istilahnya Bambang Pacul, memang semacam pretest buat kita beneran tumbuh dewasa.

Baca halaman selanjutnya: Stres itu nyata, tapi uang meringankan.

Dewasa dalam menentukan prioritas

Kan nggak semua yang ada di SCBD Jakarta itu perlu kita ikutin alur mainnya. Ketemu atasan tengik di kantor, tinggalin. Kalau belum ada kerjaan baru, ya tahan dulu. Namanya hidup, bakal banyak nggak enaknya. Kalau banyak enaknya, biasanya itu hidup anak pejabat. Dan biasanya, lentingan ekonomi yang melibatkan uang, selalu diiringi dengan banyak hal nggak enak.

Saya ambil contoh dari cerita Ariel Noah ketika tempo waktu lalu berselisih dengan eks anggota Peterpan, Andhika. Desas-desus kenapa Andhika dikeluarkan atau mundur dari Peterpan, seperti cerita Ariel, salah satunya karena ketika nyemplung ke industri, mereka bermusik tak lagi mengutamakan passion tapi sudah mengikuti tuntutan dari industri itu sendiri. 

Ada kontrak miliaran yang harus mereka hormati. Ada kemauan brand yang harus mereka turuti. Sampai pressure dari label musik yang menaungi untuk rilis album, single, dan lain sebagainya. Singkatnya, ketika sudah berurusan dengan uang yang banyak, biasanya hidup memang jadi sedikit tidak menyenangkan. Tapi, semua akan sedikit terasa lebih mudah. Karena apa? Ya karena ada uangnya.

Di circle teman-teman kantor, asumsi saya mungkin bisa salah, cuma standar gaji mereka saya kira ada di angka Rp6 sampai Rp10 juta rupiah per bulan. Sekalipun stres atau burn out karena kerjaan, mereka punya 6-10 juta buat menghibur diri. Dan yang kayak gini nggak cuma terjadi di SCBD.

Tapi bayangkan kamu di Jogja, dengan standar gaji 2 jutaan. Kalau stres, nggak banyak yang bisa kamu lakukan selain pasrah dan ikhlas. Mungkin lalu tergerak jiwa pendekarnya untuk mulai mencari kerja sampingan. Jadi nggak heran kalau pekerja di Jogja itu punya double job. Ya gimana, kalau cuma punya 1 sumur pendapatan, seringnya nggak cukup untuk sehari-hari dan nabung.

Susahnya hidup pas-pasan karena UMR Jogja, bikin stres SCBD jadi mendingan

Mungkin banyak yang merasa cukup dengan gaji 2 jutaan di Jogja, ya alhamdulillah. Tapi seiring zaman yang makin mengerek naik semua harga kebutuhan primer, nyaris mustahil orang yang bertahan dengan gaji minimal di Jogja, bisa survive dalam waktu beberapa tahun ke depan. 

Ya mungkin bisa bertahan, tapi hidupnya serba pas-pasan yang mana hidup seperti itu adalah hidup yang tidak ideal menurut saya. Di mana-mana, hidup yang ideal adalah hidup yang berkecukupan. Nggak kaya banget, tapi juga nggak kekurangan. Tidak banyak orang yang betah hidup pas-pasan kecuali ya memang nggak ada pilihan lagi, kan.

Maka dari itu, kita tahu banyak sekali perantau yang mengadu nasib di SCBD Jakarta dan sekitarnya. Dihajarnya terik panasnya Sudirman, dihimpit macetnya Bekasi dan Ciputat, sampai basah kuyup karena hujan badainya Bogor. 

Mari mengadu nasib, berusaha sekeras mungkin

Saya nggak lagi mencoba mengglorifikasi hidup di Jabodetabek atau lingkaran SCBD. Cuma, dengan semua kesempatan yang ada di sini, agaknya bertarung di kawasan ini cukup menarik peluangnya ketimbang bertarung di kota-kota macam Jogja dan sekitarnya. 

Lagipula, Jogja romantis kan sebenarnya perspektif turisme saja hehehe. Kalau kamu tiap bulan cuma dapat gaji bersih Rp2 juta, sulit buat meromantisasi keadaan, meski ya nggak mustahil juga tapi uabotttt, lik.

Betul belaka bahwa kita memang harus bersyukur berapa saja yang kita dapat saat mencari nafkah. Tapi satu yang perlu diingat, keluarga kita berhak mendapatkan yang terbaik. Apalagi kalau kamu seperti saya, pria dewasa yang sudah punya istri dan keluarga. Agaknya sebagai kepala keluarga, nyaris mustahil ada yang mau anak-istrinya hidup pas-pasan dan memaksa mereka bersyukur.

Jadi ya akhir kata, apapun itu, perspektif kalian soal gaji SCBD atau gaji Jogja, satu yang terpenting, jangan ragu buat mengadu nasib dengan sengit. Sebab seperti kata Syahrir, hidup yang tak dipertaruhkan, konon, tidak layak untuk dimenangkan.

Penulis: Isidorus Rio

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA SCBD Adalah Tempatnya Orang Selingkuh Malah Diromantisisasi, Bikin Culture Shock Orang Jogja yang Kerja di Jakarta dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version