Sama Seperti KKN, Skripsi Sudah Usang dan Tidak Berguna

Sama Seperti KKN, Skripsi Sudah Usang dan Tidak Berguna MOJOK.CO

Ilustrasi Sama Seperti KKN, Skripsi Sudah Usang dan Tidak Berguna. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSkripsi itu sudah usang dan tidak berguna. Dan sialnya sebagai mahasiswa kita turut mengikuti arus itu selama berpuluh-puluh tahun. 

Saya cukup sepakat dengan tulisan Mas Prabu Yudianto yang tayang beberapa waktu lalu. Judulnya: “KKN Sudah Usang. Tidak Mendapat Pengalaman, Tidak Juga Membangun Desa, Mending Diganti Magang”. Saya rasa Mas Prabu telah mewakili keresahan banyak mahasiswa. Tapi, kalau dipikir-pikir, KKN adalah satu dari banyaknya program di dunia akademik yang memang sudah usang kalau menurut saya. Salah satunya yang membuat saya heran adalah skripsi. 

Terus terang saja, saya penasaran siapa yang mempelopori adanya tugas akhir mahasiswa bernama skripsi. Saya merasa bahwa skripsi itu sama seperti KKN: sudah usang dan sama sekali tidak berguna. Eits, jangan salah, saya mengatakan demikian bukan berarti saya omon-omon saja. Melainkan saya pernah kok mengerjakan skripsi. Dan selesai. 

Dihantui skripsi selama delapan bulan

Izinkan saya me-recall kembali “kencan” saya bersama skripsi. Saya masih ingat bagaimana tahun lalu skripsi seolah menghajar saya habis-habisan. Kira-kira selama delapan bulan saya dihantui oleh sesuatu yang namanya skripsi. 

Saya memang agak lambat dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Bukan karena kemalasan atau tidak paham penyusunan, karena pada waktu itu dosen pembimbing cukup slow response ditambah lagi ada halangan berupa beliau harus dirawat di rumah sakit.

Kemudian, di semester berikutnya, terjadi pergantian dosen pembimbing. Alhasil, saya harus merombak skripsi nyaris keseluruhan. Tidak. Saya tidak sedang menyalahkan dosen pembimbing itu. Anggap saja itu “kecelakaan”.

Memang pada waktu itu (kalau boleh agak percaya diri), saya sudah memiliki cukup kemampuan menulis. Tapi ternyata hal itu sulit saya terapkan ke dalam penulisan karya ilmiah khususnya skripsi. Saya menilai penulisan skripsi itu harus sesuai dengan kaidah yang disepakati. Tidak boleh cair. Harus kaku. Harus menurut pandangan para tokoh. Aghh, itu sama sekali tidak sesuai dengan karakter saya. 

Belum lagi saya menyoroti penulisan skripsi yang cenderung berbelit-belit. Misalnya menjelaskan hal-hal yang sudah menjadi rahasia umum. Sebut saja ketika mengangkat tema event. Nah itu dijelaskan pengertian event itu apa. Padahal kan yang namanya event banyak orang sudah tahu kalau itu adalah suatu acara. Sudah di situ saja. Tidak perlu dikasih deskripsi. Terlalu mbulet

Baca halaman selanjutnya: Skripsi makin tak berguna karena banyak yang nggak aplikatif.

Banyak mahasiswa bahwa tugas kayak gini nggak ada manfaatnya

Awalnya pandangan itu saya kira hanya opini mentah saya pribadi saja. Tapi ternyata tidak. Sempat saya iseng menanyakan hal serupa kepada teman-teman saya. Dari mulai teman yang jurusannya Psikologi, Ilmu Komunikasi, Sejarah, Pendidikan, dan lain sebagainya. Ternyata mereka mengatakan bahwa skripsi itu tidak ada gunanya.  

Saya sendiri juga yakin banyak mahasiswa di luar sana yang merasakan hal serupa. Tak ayal saya masih ingat tahun lalu sempat ramai usulan agar skripsi ini dihilangkan. Saya berada di pihak yang memang lebih baik dihapuskan saja. 

Coba sekarang kita pikir-pikir lagi. Skripsi ini gunanya untuk apa, atau untuk siapa? Kalau memang berguna bagi mahasiswa, apakah dengan mengerjakan skripsi kemampuan menulis mahasiswa semakin bagus? Sepertinya tidak. Atau apakah mahasiswa jadi memiliki daya kemampuan berpikir kritis/analisis yang mumpuni? Ya nggak juga karena kadang cuma formalitas syarat lulus. 

Lalu dari segi kampus, apakah akreditasi kampus terangkat? Sepertinya tidak juga. Kalau membicarakan apakah skripsi berguna bagi masyarakat tentu sangat tidak ada faedahnya. 

Nantinya di dunia kerja juga mahasiswa tidak akan ditanya skripsinya bagaimana. Kalau ditanya, biasanya hanya basa-basi saja. Saya mengamati dunia kerja tidak butuh skripsi. Untuk menghadapi dunia kerja yang dibutuhkan adalah skill, portofolio, relasi, dan reputasi.

Hanya akan menumpuk, tidak dibaca

Skripsi yang saya, Anda, kalian, dan kita semua hanya akan menumpuk di rak perpustakaan kampus atau mengendap di laptop. Tidak ada yang membacanya. Kalau kebetulan ada yang membaca, biasanya pas butuh saja. Alias ada tuntutan untuk mencari referensi di penelitian sebelumnya atau penelitian serupa. Pahit memang. Skripsi yang disusun dengan kerja keras, kesabaran, dan berdarah-darah harus mengalami nasib yang demikian. 

Jadi sampai di sini seharusnya dunia akademik khususnya kampus sadar bahwa tugas kayak ini nggak seharusnya jadi syarat kelulusan. Tidak berguna. Dan sudah usang. Bahkan akui saja kalau banyak dosen pembimbing yang terbebani dengan tanggung jawab untuk mengoreksi di tengah kesibukan mereka dalam tridharma perguruan tinggi: penelitian, pengabdian, dan pendidikan. 

Belum lagi dari pihak dosen kerap terang-terangan mengatakan bahwa skripsi yang bagus bukan yang sempurna, melainkan yang selesai. Ah saya mengira dari situ justru dunia akademik sedang mempermainkan mahasiswanya. 

Padahal, entah mereka tahu atau tidak bahwa banyak mahasiswa pusing mengerjakan skripsi. Semacam ada beban yang seolah mengajak untuk menyerah. 

Skripsi lebih baik diganti ke tugas akhir aplikatif

“Lantas apa solusinya? Jangan cuma mengatakan kalau skripsi itu tidak penting dan sudah usang saja!” 

Mungkin ada yang berpikir seperti itu. Sebenarnya kalau membicarakan solusi, saya tidak memiliki kewajiban untuk itu. Karena yang sudah semestinya memikirkan adalah pihak-pihak yang berkecimpung di instansi pendidikan, khususnya dinas-dinas atau menteri pendidikan.

Tapi kalau boleh usul, lebih baik dunia pendidikan tinggi mengganti skripsi dengan tugas yang memiliki kemanfaatan, setidaknya bagi mahasiswa. Misalnya tugas akhir aplikatif. Atau masing-masing jurusan diberikan tanggung jawab tugas akhir yang relate dengan jurusan tersebut. 

Misal mahasiswa Ilmu Komunikasi dengan konsentrasi jurnalistik membuat media online. Mahasiswa Sastra Indonesia membuat buku atau karya lainnya. Dan kampus harus memberikan dukungan secara penuh.

Memang harus diakui ada beberapa kampus yang saya tahu sebenarnya sudah menawarkan pilihan untuk mengerjakan tugas akhir sebagai pengganti. Tapi, boleh ada keruwetan-keruwetan di birokrasi yang mau tidak mau membuat mahasiswa lebih mending memilih skripsi.

Dan izinkan saya memakai istilah yang mungkin kesanya agak ndakik-ndakik, bahwa skripsi telah merebut ingatan mahasiswa. Para mahasiswa kalau mau lulus digiring harus mengerjakan skripsi. 

Padahal, sekali lagi, skripsi itu sudah usang dan tidak berguna. Dan sialnya sebagai mahasiswa kita turut mengikuti arus itu selama berpuluh-puluh tahun. Sungguh hal yang sia-sia. 

Penulis: Khoirul Atfifudin

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Saat Mahasiswa ITB hingga UGM yang Depresi dan Diabaikan Dosen saat Skripsi Terselamatkan Jasa Bimbingan dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version