Rupiah menguat tajam dalam tiga hari terakhir. Perang opini pun tak terelakkan. Sungguh unik dan bikin ngakak melihat perang hestek dan saling klaim. Jangan harapkan ada pembahasan penuh data dan informasi pasar, nikmati saja ketidakkonsistenan Jokower maupun Jokowi haters.
Kalau rupiah melemah, Jokower akan ngomong: ini adalah pengaruh ekonomi global. Haters membalas: rupiah melemah bukti Jokowi tidak becus. Saat rupiah menguat, Jokower akan ngomong: ini jelas membuktikan kinerja Jokowi diapresiasi pasar. Bagi haters: rupiah menguat ini adalah pengaruh ekonomi global.
Sila jelaskan kepada haters bahwa kondisi sepuluh tahun terakhir sungguh menunjukkan potensi penurunan ekonomi, dan stabilitas selama satu dekade didasarkan pondasi yang sungguh fragile. Mereka tak akan peduli dengan defisit perdagangan dan anggaran yang dipicu subsidi BBM yang naik 1165% tahun 2004-2014. Mereka tak akan peduli target pajak sudah shortfall berturut-turut dalam beberapa tahun terakhir.
Pokoknya Jokowi salah. Selesai.
Bagaimana dengan Jokower? Sama saja. Mereka tak mau kritis: sudah terjadi shortfall pajak, tapi target pajak era Jokowi naik tinggi, yang tentu akan membahayakan kondisi makro jika kondisi perlambatan ekonomi terus terjadi. Begitu pula dengan kondisi APBN yang ruang geraknya untuk pembangunan infrastruktur sangat terbatas, ekuitas BUMN yang juga pas-pasan, dan sisa uang di perbankan yang tidak terlalu banyak, lalu pemerintah habis-habisan mencanangkan membangun infrastruktur yang akan menghabiskan anggaran Rp5.000 triliun bahkan lebih. Dengan kondisi usage/load factor infrastruktur yang mungkin tak memadai untuk membayar angsuran ke lembaga keuangan pasca grace period.
Pokoknya Jokowi benar. Selesai.
Anda mengerti dua paragraf di atas? Puyeng? Ya memang. Musti banyak baca, olah informasi dan data, serta diskusi dengan yang mengerti ekonomi. Urusan ekonomi bukan ilmu pasti, variabelnya banyak. Karena itu walau banyak hitungan matematis, ekonomi masuk ilmu sosial. Saya yakin Jokower maupun haters sama-sama tidak tahu mendalamnya. Tapi mereka cenderung tak mau mendengar suara berbeda dan penjelasan. Mungkin mereka lebih butuh perhatian. #Tsaaah
Kiai saya, sebut saja inisialnya R.U.S.D.I. M.A.T.H.A.R.I (ini sih bukan inisial, yak?), sudah mengingatkan publik berkali-kali mengenai bahaya klaim kebenaran dan memonopoli ketidakbenaran. Perlu waktu lama bagi saya untuk mencoba memahami kalimat-kalimat Cak Rusdi hingga saya berkeputusan menjadi pengikutnya. #Eaaaa
Penyakit klaim-klaiman dan mutlak-mutlakan ini kian parah. Masing-masing pihak beradu panas-panasan di berbagai isu. Saling serang, saling adu kata-kata kasar. Larut dalam arus deras polarisasi. Lupa bahwa diri pribadi punya otak dan analisis yang membuat tiap diri tetap gagah mengkristal saat yang lain larut.
Coba lihat silang sengkarut asap. Yang haters terus mempersalahkan pemerintah habis-habisan. Jokowi datang salah, gak datang salah. Kirim tentara salah, menerima bantuan negara tetangga juga salah. Jokower juga sama. Kebakaran terjadi setiap tahun warisan rezim sebelumnya. Kemana hasil dari kebun sawit, pulp, dan kertas yang sudah dihadiahi konsesi hutan jutaan hektar? Semuanya terakumulasi di tahun ini dan harus dipikul Jokowi seorang diri.
Seandainya saja yang ribut di media sosial dikirim ke Sumatera dan Kalimantan, masing-masing menyumbangkan satu kali gaji untuk beli oksigen, masker, dan membantu memadamkan api, mungkin asap bisa lebih cepat teratasi. Tapi, ya, mereka memilih gulat jempol untuk klaim-klaiman, mutlak-mutlakan. Entah untuk apa. Kepuasan pribadi? Bisa jadi. Demi invoice? Mungkin juga. Sayangnya yang berbasis invoice itu tidak pernah ngajak saya. Mungkin mereka ngeri dengan rate bayaran saya yang memang mahal luar biasa. #Wesbiyasa.
***
Mari kita kembali ke nurani kita sendiri. Membersihkan diri dari polarisasi yang kemudian mematikan nalar. Mari mulai berbicara apa yang sungguh kita kuasai. Jangan sok menjadi pengamat segala bidang. Tak ada manusia yang sempurna karena sempurna hanya milik Allah. Karenanya, jangan dengarkan Sempurna Andra and The Backbone, itu jelas bid’ah.
Mari kembali menyelesaikan tagihan cicilan rumah, kesejahteraan anak istri–Agus Mulyadi sih enak gak mikir beginian–dan menyenangkan orang tua. Bicara yang asik dan tidak menyakiti orang di sekitar kita.
Mari kita terima semua kenyataan pahit dan manis tentang ekonomi Indonesia sebagai karunia Tuhan, yang kadang sulit kita mengerti. Seperti kata-kata bijak @lordrio82, seorang filsuf KW 3:
“Kadang Tuhan sungguh misterius. Bagaimana mungkin Sophia Latjuba yang usia 40-an bisa mempesona bagai perempuan usia 20-an. Sementara Nikita Willy yang usia 20-an bisa memiliki tampilan bagai tante usia 40-an?”
Lagi pula, untuk apa sih kalian repot-repot memikirkan rupiah? Memangnya rupiah pernah mikirin kalian? Ingat, hubungan yang bertepuk sebelah tangan itu tidak baik. Lebih baik terima saja apa yang ada. Toh selama ini siapapun rezimnya, rakyat kecil seperti kita (eh, kita?) harus berkelahi sendiri dengan kenyataan hidup setiap hari. Mereka yang duduk di singgasana trias politika, pinter-goblok tetap gajian. Lalu kita ikutan riweh hal-hal yang tidak ngefek dalam hidup kita dan memberi peluru politisi untuk saling terkam demi kekuasaan.
Oalah… Kurang pekok apa lagi, coba?