Saleh di Kala Susah, Kufur di Kala Jaya

MOJOK.CO – Kita mengibuli hati sendiri pakai rasionalisasi canggih untuk membenarkan tindakan kita. Lalu jadi kufur di kala jaya dan cuma saleh di kala susah.

Perjuangan mencari rezeki adalah keniscayaan. Soal motivasinya, bisa seluas samudra. Entah dalam niat menafkahi anak istri, orang tua, atau adik-adik. Entah agar bisa dermawan terkemuka dengan banyak menafkahkan harta dalam pembangunan masjid, musala, dan menyantuni kaum duafa. Entah pula yang berupa hasrat purba agar hidup tak lagi kelaparan, tak lagi ada kecemasan soal besok mau makan apa. Entah pula untuk menggapai kemegahan dan kemewahan hidup dengan imaji bahwa keberlempihan harta adalah sumber utama kebahagiaan hidup.

Umumnya kita memulanya dari hal-hal kecil, setahap demi setahap, lelah dengan sangat lelah, berdarah demi berdarah, dengan pengharapan usaha, bisnis, kita akan terus maju, bisa terus merangkak, tumbuh, membesar.

Karena dirintis dari bisnis remah-remah, wajarlah bila memulainya dengan kesusahan-kesusahan yang luar biasa. Sebutlah misal sampeyan tergiur dengan bisnis penerbitan buku yang semarak jamur di Jogja. Niat kenceng. Wawasan perbukuan dirasa cukup karena selama ini update selalu tentang buku-buku baru di sosial media walau hanya satu dua kali membeli dengan sistem keep-dulu-ya-keep-dulu-ya. Penulis pula. Otomatis bisalah menyunting. Tapi modal tak ada, lemak tak punya, apalagi tamvan—jelas tiada. Hanya punya sejumlah kawan yang berkabar dengan katanya-katanya perihal seksinya bisnis buku secara peradaban dan perduitan.

Lalu dieksekusilah bisnis penerbitan buku indie tersebut dengan berpeluh darah yang luar biasa. Weladalah, ternyata jualan buku itu susah banget ya? Tak semadu katanya-katanya yang penuh racun komodo itu.

Dikarenakan sampeyan pernah nyantri di pesantren desa dulu, adalah itu denyar iman di hati. Sampeyan lalu menyokong perjuangan berat dan lelah bisnis buku itu dengan lelaku kepatuhan syariat yang bagus. Sampeyan meyakini bahwa kepatuhan kepada-Nya akan membukakan jalan bagi mulusnya kemajuan bisnis kecil ini. Sampeyan meyakini bahwa kesalehan yang berjalan seiring dengan ikhtiar luar biasa akan membuahkan karunia-Nya di suatu masa. Kini hanya perlu istikamah, bersabar, istikamah, bersabar.

Waktu pun mengalir hingga sangat lama dan jauh. Tak semua usaha lantas bisa maju pesat. Namun sebagiannya jelas mengalami kemajuan. Bahkan ada yang tak terbayangkan majunya (si pelaku sendiri tak pernah membayangkan akan menjadi pebisnis moncer seperti yang terjadi padanya sendiri). Berkah Ilahi, penerbit indie sampeyan itu termasuk yang bergerak moncer.

Otomatis, berubahlah warna hidup kita dari yang susah dan melarat menjadi keren dan bahkan mewah. Megah. Tamvan mulai hinggap. Dari dulu jalan kaki berubah punya motor, bahkan mobil, bahkan tak lagi satu. Dari dulu ngekos dengan rekor telat bayar melulu, lalu beralih ke rumah nyewa, kini jadi rumah milik. Bukan hanya satu pula. Dari dikerjakan sendirian hingga kini punya berjubel karyawan. Dari dulunya muterin uang jutaan kini milyaran.

Sampeyan telah berubah jadi taipan!

Hidup jadi penuh kesibukan, dan terus makin sibuk. Life style juga jelas berubah. Banyak meeting, banyak keliling luar kota, banyak jumpa relasi, dan sebagainya. Bila lima tahun lalu ngopi seharga lima ribu perak yummy saja di lidah, kini kalau bukan Arabica Excelso terasa kebas di lidah—kata sampeyan. Dulu lahap betul makan indomie goreng di Warmindo, kini mual-mual kalau bukan spaghetti dan steak—kata sampeyan lagi.

Pergaulan sampeyan benar-benar telah masuk ke jenjang The-Have-Iyig-of-Jogja!

Di antara gemebyar omset yang tak terbayangkan itu, masihkah sampeyan sempat ngaji Al-Quran dengan istikamah setiap hari, setiap usai salat? Masihkah sampeyan rutin khatam Al-Quran setiap sepuluh hari?

Masihkah hapalan sampeyan pada surat Al-Mulk, Al-Waqi’ah, Ar-Rahman, dan Yasin menempel kuat di ingatan sebagai tanda bahwa sampeyan masih istikamah membacanya dalam pelbagai kesempatan?

Masihkah sampeyan sempat salat jamaah di masjid? Masihkan sampeyan sempat menjaga salat lima waktu pada awal waktunya? Atau, minimnya, masihkah sampeyan menjaga dengan ketat jangan sampai kelewatan menjalankan salat lima waktu?

Masihkah sampeyan istikamah salat duha dan tahajud?

Masihkah sampeyan punya waktu untuk menengok orang tua di pelosok kampung nun jauh sana? Atau, sekadar meneleponnya setiap tiga hari sekali untuk menanyakan bagaimana kabarnya, bagaimana kondisi keluhan sakitnya yang telah menahun? Masihkah sampeyan menyediakan waktu untuk secara berkala nyekar ke kuburan simbah, abah, para leluhur? Masihkah sampeyan berkenan untuk menekur kepala di hadapan kubur para waliyullah untuk menafkuri diri, iman, dan segala nikmat Allah yang telah dihamparkan luar biasa itu?

Masihkah sampeyan menundukkan mata dari kerlingan lawan jenis yang wangi, seksi, dan penuh godaan yang duduk di seberang meja?

Masihkah sampeyan entengan membuka bibir tersenyum lebar kepada orang-orang fakir yang minta pertolongan?

Masihkah sampeyan istikamah membaca Dalaiul Khairat atau Syiir Tanpo Waton?

Masihkah, masihkah, masihkah sampeyan bergetar hati dengan hebat tatkala memiliki kesempatan luas untuk terseret kilau kemaksiatan berahi dan duniawi dengan menegaskan pada hati: “Inni akhafu in ‘ashaitu rabbi adaban yaumin adhim, aku takut jika aku sampai bermaksiat pada Tuhanku maka aku akan ditimpa oleh olehNya di hari pembalasan yang agung….”?

Sayangnya, enggak lagi!

Faktanya, sungguh jauh lebih banyak dari kita, ya termasuk sampeyan, yang dulu saleh kepada-Nya di kala melarat, susah, dan miskin, lalu menjelma pongah, zalim, angkuh, sok, dan kufur di kala derajat rezeki melesat. Kebanyakan kita yang tahu tumbuh jadi manusia dari sekedar setitik sperma berubah jadi penantang Allah yang paling nyata tatkala harta mulai menggunung, seperti dikabarkan Yasin ayat 77.

Nyatanya, kita lebih banyak tak sempatnya untuk tetap merawat dengan istikamah amaliah-amaliah salehah kita di kala melarat dulu justru di saat apa-apa yang kita impikan dengan kerja keras dan kita doakan dengan air mata berlinang dalam hening sujud tahajud telah dikabulkan-Nya!

Nyatanya, iman kita kepada-Nya makin goyah akibat memudarnya keyakinan yang mestinya tak boleh rompal secuil pun dari batin kita bahwa seluruh karunia yang kita dapatkan hari ini adalah milik Allah dan diberikan-Nya kepada siapa-siapa yang dikehendaki-Nya semata.

Nyatanya, kita makin kokoh meyakini hal sebaliknya, bahwa kejayaan dan kegemilangan serta kekondangan yang kita genggam hari ini adalah berkat kerja keras kita, kegigihan kita, kehebatan pikiran-pikiran stretegis kita, taktik-taktik bisnis kita, dan kemampuan kita membina relasi bagus dengan banyak orang hebat.

Nyatanya, kita malah menjadi fakir waktu dan kesempatan untuk sekadar pulang ke rumah sebelum magrib, lalu bersama anak-anak dan istri bareng ke masjid untuk salat berjamaah.

Nyatanya, kita tak lagi mampu untuk bangun sebelum azan subuh dikarenakan kita sibuk jumpa relasi, meeting, hingga jauh malam dan dini hari, sehingga lengket sekali kelopak mata untuk dikuak menunaikan salat subuh berjamaah di masjid yang kata Sang Rasul Saw fadhilahnya melampaui seluruh dunia dan isinya.

Nyatanya, kita tak lagi murah senyum pada tetangga, kerabat, apalagi kaum duafa yang mencari kita dan butuh bantuan kita.

Lalu….

Kita mulai membangun alasan-alasan rasional untuk membenarkan kafasikan dan kemungkaran yang kita lakukan hari ini, padahal itu semua kita sendiri ngerti tak lebih dari sekadar sarapan kedustaan-kedustaan belaka.

Kita bilang time is money hanya untuk mengibuli hati kita sendiri perihal betapa tak bahagianya kita dengan sulit bisa kumpul bersama anak-anak untuk pergi ke masjid bersama—atau jalan-jalan bersama kemudian.

Kita terus rangkaian narasi-narasi penuh kemunafikan pada diri kita sendiri, dan akibatnya kita tak lagi bisa bahagia di antara kekayaan yang dulunya kita kejar dengan hebat yang kita tabalkan sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup.

Kita bahkan telah sanggup untuk mengakali kebenaran kalam Allah. Kita kadali itu surat An-Nahl ayat 112: “Dan Allah telah menberikan sebuah perumpamaan dengan sebuah negeri yang dulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang melimpah ruah dari segenap penjuru, tetapi lalu (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, maka Allah mendatangkan pada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang telah mereka perbuat.

Hingga….

Suatu hari kita dihancurkan-Nya, beserta seluruh julangan harta yang kita tumpuk dengan bakhil selama puluhan tahun ini. Sampeyan pikir tak ada jalan mudah bagi Allah untuk menjadikannya?

Mudah sekali.

Pada suatu malam, pabrik kesayangan sampeyan, sumber kekufuran sampeyan, mengalami korslet listrik, lalu terbakarlah semuanya.

Aset sampeyan ludes semua. Stok barang dagangan sampeyan amblas jadi debu-debu. Tersisalah kemudian utang-utang dari para rekanan dan supplier, yang tak cukup sampeyan lunasi dengan cara menjual seluruh aset yang masih ada, termasuk rumah tinggal sampeyan.

Sampeyan pikir tak ada cara lain bagi Allah untuk mengajarkan ketakutan pada hidup sampeyan sebagai hukuman di dunia pada kemaksiatan sampeyan di ruang karaoke, spa, kamar hotel yang selama ini bikin sampeyan kelojotan-kelojotan di perut para ciwik bayaran?

Suatu hari, sampeyan terbangun dan berjalan ke kamar mandi dengan tengkuk berat, bersiap untuk suatu meeting dengan calon relasi kelas super kakap. Sampeyan yakin kemitraan dengannya akan melonjakkan omset sampeyan seratus persen.

Sampeyan terpeselet di kamar mandi. Iya, sampeyan kepeleset tumpahan sabun cair di lantai, yang sampeyan pernah bilang takkan pernah lagi pakai sabun batangan karena bikin kulit iritasi dan tulang linu-linu.

Sadar-sadar, tangan sampeyan, ya, tangan yang jari-jemarinya selama ini sampeyan pakai grepe-grepein payudara dan bokong para ciwik tak lagi bisa digerakkan.

Bibir sampeyan yang selama ini membual melulu sama Allah, sama hati sampeyan sendiri, mendadak terasa kebas, lalu mati rasa. Untuk sekedar menelan ludah pun, mulut sampeyan sangat kesulitan, sehingga berlelehanlah air menjijikkan itu di bibir, dagu, dan leher sampeyan.

Sampeyan lalu menangis….

Sampeyan menangis, membisikkan nama-Nya di relung hati terdalam, di antara puing-puing kehancuran.

Sayang seribu sayang, kebanyakan kita hanya saleh di kala susah dan kufur di kala jaya.

Exit mobile version