MOJOK.CO – Jika lapangan tempat salat Ied adalah lokasi yang sama untuk acara Mencari Telur Paskah atau perayaan hari raya agama lain di kota Reading, Inggris, ini jelas tidak bisa dibiarkan. Ukhuwah harus ditegakkan. Pemimpin muslim harus dipilih sebagai solusi untuk segala masalah.
Eid Prayer, 7:00 AM
Palmer Park, Reading, Berkshire County, UK.
Itu headline poster di sejumlah “toko halal” tak jauh dari rumah kontrakan saya, di kota Reading, Inggris. Ada keterangan tambahan berlarik-larik di bawahnya yang entah kenapa sulit dicerap dengan cepat. Mungkin mata saya masih terlalu Jawa, belum terbiasa menikmati desain poster ala toko-toko Asia Selatan yang khas; komposisi riuh-rendah dengan warna-warni gonjreng serupa shalwar kameez atau busana ibu-ibu Pakistan. Juga rombongan font type yang beraneka macam. Termasuk font sejuta umat kesayangan para desainer grafis sedunia: Comic Sans.
Tapi apalah arti komposisi visual yang cuma remah-remah duniawi dibanding substansi informasi yang terkandung di dalamnya. Jangan lupa, salat Ied adalah satu dari tiga momen penting dan syahdu saat lebaran, di samping malam takbiran serta pembagian angpao acara sungkeman kepada orang tua. Maka secara teknis, info itu sungguh berfaedah untuk mempersiapkan pelaksanaan ibadah dengan tenang dan tertib. Tidak terburu-buru, apalagi sampai terlambat. Masa iya salat Ied kok masbuk.
Demikianlah, pada pagi yang fitri ini saya berangkat menuju Palmer Park. Taman berusia lebih dari 120 tahun itu dapat saya capai kurang dari lima belas menit berjalan kaki santai. Kota-kota di Inggris memang mengalami booming taman sepanjang abad ke-19 pada zaman Ratu Victoria yang berpotongan dengan masa revolusi industri.
Saat itu banyak taman dibangun, bahkan oleh para filantropis, untuk mengimbangi pertumbuhan hunian para pekerja pabrik yang makin menyesaki kota. Seperti rumah-rumah era Victoria yang tetap lestari—dan menjadi kontributor penting dalam sistem penyediaan permukiman zaman now—begitu pula taman-taman kota yang tetap terawat untuk olahraga dan rekreasi.
Tapi, bajigur, satu hal saya lupa: Palmer Park itu luasnya hampir dua puluh hektar je. Di dalamnya ada stadion atletik dengan velodrome dan area parkirnya. Juga empat lapangan latih sepakbola. Belum lagi playground, pusat kebugaran, perpustakaan, dan fasilitas lain termasuk hamparan rumput yang ngaluk-aluk areanya. Apa iya, saya harus ngubek-ubek taman seluas itu untuk mencari TKP salat Ied ini? Saya segera googling, ternyata informasinya tak jauh berbeda.
Eid Prayer, 7:00 AM, Palmer Park.
Pitikih?
Dengan nawaitu ngawur, saya pun masuk melalui gerbang terdekat. Hambok pasrah saja. There is a will, there is a way. Man jadda wa jadda. Ada kemauan, ada jalan. Lho rak tenan! Belum jauh melangkah, saya langsung melihat sekelompok lelaki sedang sibuk bersiap-siap. Bersorban, berjenggot, berbaju gamis. Menemukan tanda-tanda visual yang sudah kita kenal adalah berkah saat mencari-cari sesuatu. Tapi tunggu dulu, jangan-jangan itu komunitas Sikh?
Tebakan yang bukan tanpa sebab. Soalnya di Reading, yang jaraknya hanya dua puluh menit berkereta api dari London, bulan Mei lalu sekitar dua ribu penganut Sikh merayakan Vaisakhi.
Hampir semua bapak-bapak Sikh berjenggot panjang, mengenakan gamis atau baju koko dilengkapi rompi selutut. Tentu saja bersorban. Ibu-ibunya berkerudung dengan bentuk pakaian tak beda jauh dari baju muslimah di Indonesia. Lagi-lagi, mata Jawa saya masih sering keliru membedakan gaya busana dan tampilan wajah masyarakat Sikh dengan masyarakat muslim dari Pakistan pada umumnya.
Saya memutuskan lanjut berjalan. Bukankah lebih panjang jalan yang kita tempuh menuju tempat salat, lebih banyak pula pahala yang kita peroleh? Nah, pahala dari memperpanjang rute kali ini saya dapatkan secara instan. Ketemu jamaah lain yang juga sedang bersiap-siap salat. Sebagian adalah orang-orang yang sering saya lihat di “toko-toko halal” tadi. Sekali lagi, menemukan hal-hal yang sudah kita kenal memang menenangkan di wilayah langsung. Tanpa pikir panjang, saya langsung bergabung.
Belakangan, dari percakapan beberapa jamaah sebelum salat, saya tahu bahwa sekelompok pria bersorban yang saya lihat di dekat gerbang taman tadi bukanlah komunitas Sikh. Melainkan? Hm, itu jamaah Syiah.
La haula wala kuwwata illa billah.
Saya tentu bukan orang penting dan populer seperti kru Mojok. Tapi kalau sampai ada yang melihat saya sedang salat bersama jamaah Syiah, lalu memotret—walaupun itu nyaris mustahil—lalu foto itu sampai ke Indonesia, oh, kan bakal blaik tenan. Betapa mengerikannya.
Saya mungkin “selamat”, saya masih di Inggris, tapi bisa-bisa rumah yang sedang saya tinggalkan di Sleman bisa dikucilkan, dianggap mencemari lingkungan. Kalau pemiliknya yang dipersilakan pergi, mungkin masih tertanggungkan. Kalau rumah kami juga harus angkat kaki, piye jal?
Faktor ini menyebabkan saya tidak konsentrasi mendengarkan khotbah Idul Fitri. Tapi itu faktor keempat. Yang pertama, fajar musim panas yang kelewat dini. Padahal maghrib di hari terakhir puasa sudah mendekati pukul 21.30. Menunggu saat isya harus sampai 11.30. Baru tidur mak nyuk, sebelum jam 03.00, tahu-tahu fajar sudah tiba. Sudah saatnya salat subuh. Pendek sekali malamnya.
Faktor kedua, perut kenyang. Sebab makan sebelum salat Ied merupakan perbuatan balas dendam yang hukumnya sunah.
Faktor ketiga adalah gabungan antara ngantuk dan kenyang, plus suasana pagi di taman yang kondusif untuk liyer-liyer. Kicau burung sahut-sahutan menjadi backsound khotbah Idul Fitri. Pohon-pohon tinggi dan teduh, yang setengah tahun lalu rimbun daunnya berwarna kuning lantas jadi jingga kemudian marun yang kian coklat dan akhirnya gugur, kini hijau lagi dan gemerisik tertiup angin.
Untung masih ada yang membuat saya tetap terjaga. Ada mbak-mbak yang jogging agak di kejauhan. Dengan baju dan celana lari musim panas, tentu saja. Inilah akibatnya kalau kota tak punya Polisi Syariah. Tak ada yang menegakkan adab berpakaian.
Mohon maaf jika saya membagi perhatian antara mendengarkan khotbah dan mengamati mbak-mbak jogging memikirkan agenda lain yang tak kalah mendesak, yaitu membuat Reading menjadi kota yang lebih ramah syariah. Sebab hampir tiap musim semi, saat taman tampak makin cantik karena tajuk pohonan merimbun bukan oleh lebatnya daun tapi rapatnya bebungaan, di playground yang bersebelahan dengan tempat salat Ied ini ada acara yang selalu menarik perhatian anak-anak beserta orang tua mereka tiap tahun ketika Paskah tiba, yakni: mencari telur Paskah.
Boleh-boleh saja, sih. Tak ada larangan. Tapi kenapa harus di sebelah venue salat Ied? Walaupun waktu pelaksanaannya terpisah beberapa bulan, seharusnya ada dinding permanen yang membatasi kedua area ini. Lapangan yang dipakai salat Ied ini, ternyata lapangan yang sama untuk acara mencari telur Paskah. Hedeh, masalah yang dihadapi kota-kota kafir di dunia memang hampir sama. Mereka tidak paham bahwa tiket menuju surga adalah kemurnian iman.
Mana ada kemurnian dibentuk dengan merangkul, menggandeng, atau jalan beriringan? Menjaga kemurnian adalah menegakkan benteng secara tegas dengan sebenar-benarnya tegas. Misalnya, kalau makan harus dengan tiga jari, ya, tiga jari. Tegas! Walaupun yang disantap itu indomi rebus panas. Seberapa sih panas kuah indomi dibanding api neraka?
Selain digunakan untuk mencari telur Paskah dan salat Ied, taman ini juga jadi tempat perayaan Divali (salah satu hari besar orang Hindu), atau Festival of Lights, yang tahun lalu berlangsung pada bulan Oktober. Meriah, tentu saja, karena melibatkan pesta cahaya warna-warni lampu dan atraksi kembang api yang cetar membahana. Ini pun oke-oke belaka. Tapi mengapa tidak pakai lilin saja? Salat Ied kan juga tidak pakai lampu. Mana ada jamaah salat Ied bawa petromaks. Bahwa petasan identik dengan lebaran, ya, itu kan cuma di Cina dan Indonesia, jangan dibanding-bandingkan dong.
Kembali ke soal ramah syariah, inilah dua alternatif solusi yang saya temukan.
Pertama, refleks saja, langsung ketemu template-nya. Kota Anda bermasalah? Pemimpin muslim solusinya! Contohlah kota London. Kemenangan Sadiq Khan di Pilkada London adalah bentuk kemenangan umat Islam. Sudah muslim, minoritas, anak sopir bis pula—kurang heroik apa lagi, coba?
Mengenai terobosan Sadiq Khan dalam pengelolaan transportasi atau komitmennya yang tinggi untuk membersihkan langit London dari polutan, tak perlu didiskusikan apalagi diteladani. Wong yang menjadikan umat bangga sebagai ukhuwah memang cuma kemenangannya itu. Kalau Sadiq Khan hendak kembali jadi topik pembicaraan, mungkin dia perlu mengadopsi gagasan politisi Indonesia dengan mengubah tanggal ultah kota London seturut kalender hijriah.
Bagaimana dengan Reading, kota tempat saya tinggal? Di kota selevel ini, walikota dipilih oleh Dewan Kota. Fungsinya juga lebih seremonial. Tapi tetap saja, menurut saya yang penting juga harus muslim. Sebab, lha ini template lagi, pembangunan kota harus dimulai dari pembangunan manusianya. Artinya, pembangunan ahlak. Memangnya, siapa lagi yang bisa memperbaiki ahlak publik kalau bukan pemimpin yang muslim?
Solusi kedua: Berhentilah menyebut taman sebagai public space. Taman bukan ruang biasa. Ini adalah teritori. Te – ri – to – ri. Apa bedanya? Ruang itu netral; cuma seperangkat koordinat belaka. Isinya: luas alas kali tinggi. Jika kita melekatinya dengan makna, ruang atau space tadi berubah menjadi tempat atau place. Kampung halaman misalnya, itu bukan sekadar ruang. Ia tempat kita menautkan kenangan, kerinduan, cita-cita dan sebagainya. Petak tanah bisa ditukar guling. Tapi kampung halaman tersemat di hati, tak bisa direlokasi semena-mena.
Bagaimana dengan teritori? Nah, ini lebih istimewa. Bukan sekadar persil dan makna tapi terutama berkait dengan penguasanya. Teritori adalah pengejawantahan kedaulatan pada ruang. Batas teritori negara bahkan dijaga tentara. Pak RT pun harus ketuk pintu dan minta izin kalau hendak masuk teritori kamar kosmu. Tapi kalau temanmu menginap, kamulah yang harus izin Pak RT sebab kamar kosmu berada dalam teritori beliau.
Dengan menyatakan taman sebagai teritori maka semua kegiatan, terutama yang membahayakan iman, tak cukup hanya meminta izin Dewan Kota. Yang lebih penting justru kula nuwun kepada preman wilayah pemangku kepentingan. Dan siapakah pemangku kepentingan itu? Tak lain dan tak bukan adalah warga sekitar. Merekalah yang paling handarbeni taman itu.
Tapi bukankah di kota kafir ini umat Islam minoritas? Jangan khawatir. Demokrasi memberi tempat kepada mayoritas dan minoritas. Di Indonesia, kita desakkan hal-hal yang menguntungkan mayoritas. Di kota kafir, tentu, kita dahulukan minoritas. Plin-plan? No way. Inkonsistensi yang dilakukan secara konsisten adalah konsistensi juga.
Kalau mereka benar-benar minta izin, jawablah dengan santun dalam bahasa yang paling mudah mereka pahami. Misalnya, “Sepurané, Cak. Tapi kami tidak ingin ada infiltrasi, kontaminasi, apalagi intervensi. Bukan bermaksud diskriminasi, kami hanya ingin kemurnian dan kesempurnaan. Sori tenan, Dab.”
Barakallahu li walakum…
Khotbah Idul Fitri mendekati akhir. Khatib mengumumkan, setelah salat Ied, akan ada jamuan makan. Menurut saya, undangan makan-makan dari warga Indonesia yang sudah lama menetap di Reading jauh lebih menarik. Bukan hanya menjanjikan nostalgia cita rasa Nusantara yang kaffah (rasa Indonesia sehari-hari sering cuma terwakili oleh mi instan; itu pun bumbunya sudah sedikit di-bule-kan) atau pun kuantitas limpah-ruah tiap santapan.
Lebih dahsyatnya, saya tak harus cuci piring seusai makan raya itu. Sebab, cuci piring adalah urusan akhwat. Laki-laki kan pemimpin. Tidak pada tempatnya mereka cuci piring. Selamat cuci piring Idul Fitri, ya akhwat!