Memuja bahasa Arab sebagai bahasa terkudus di antara semua bahasa manusia setamsil dengan menabalkan semua orang Arab selalu suci pikiran dan perilakunya sepanjang masa. Sungguh itu hasrat hidup yang kepalang lebih berat daripada nazar Agus Mulyadi untuk selalu dalam keadaan punya wudhu sampai naik pelaminan di tahun 2025.
Sayangnya, pada sebagian muslim Indonesia yang upilnya saja tak bergen Arab, berahi “berarab-arab” agar seshaf mulianya dengan para sahabat nabi masih acap heroik dinarasikan. Sampai level mendem. Mabok segala yang bau-bau Arab.
Ini mudah sekali ditandai melalui runyakan klaim serba sakral atas segala yang dari Arab sembari menista segala yang berbau non-Arab (ajami). Di gundul mereka, quote macam “man jadda wajada” tertahbiskan lebih suci, Islami, dan dekat ke surga ketimbang “no gain without pain” dan “kualitas hidupmu selalu setingkat kualitas perjuanganmu”.
Akibat main-main sama kemuliaan bahasa Arab, Agnez Mo didera bulian sejagat virtual. Tak main-main, ia dituding melecehkan Islam, membahayakan akidah, dan, yang paling mengharukan: darahnya dihalalkan. Subhanallah!
Semua bermula dari tanggal 11 Januari 2016 di panggung ultah Indosiar, Istora Senayan. Semua tembang dan dance atraktif khas Agnez berjalan baik-baik saja mulanya, sampai ketika ia melepas jaket putihnya, lalu tampaklah kostum atasannya yang serupa bra dan bawahan yang sejenis hotpants dikurungi rok panjang transparan dengan tulisan bahasa Arab.
Sontak kaum muslim mendem Arab bergolak. Lantas mudah diterka, sergahan-sergahan murka meluas sedemikian viralnya.
Tentu saja Agnez kaget tak tepermanai. Ia meminta penyedia kostumnya, KTZ, memberikan klarifikasi publik. KTZ pun tangkas menjabarkan bahwa tulisan Arab di rok Agnez itu artinya “unity”. Persatuan. Kesatuan.
Saya perjelas lagi. Tulisan Arab itu terbaca “Al-Muttahidah”. Artinya “kesatuan”. Dari wazan tasfrif “Ifta’ala”. Di kita, sah saja kata itu dimaknai sebagai seruan merawat Bhinneka Tunggal Ika. Lantas, di mana konteks menghina Islamnya? Konteks membahayakan akidahnya?
Jika letak perkaranya adalah bahasa Arab dipadukan sama aurat, sebutlah hotpants, saya rekomendasikan Anda untuk buka youtube sekarang juga, lalu intipin aksi dan kostum para penyanyi Arab: Cryne Abdul Noor, Dina Hayek, dan Myriam Atallah. Betul, mereka valid berparas Arab, beda dengan Agnez, dan menyanyi dalam bahasa Arab yang fasih tajwidnya, beda sama Agnez lagi. Tapi masya Allah, aurat mereka juga tumpah-ruah!
Jangan lupa, saran saya, siapkan perangkat khas jomblomu: lotion dan tissue basah.
Hoh!
Tentu saja, saya mengiyakan bahwa bahasa Arab adalah bahasa ibu yang dipakai oleh Nabi Muhammad, para sahabat, dan tabi’in. Imam Malik dan Imam Syafi’i, misalnya, jelas berbahasa Arab. Menulis kitab Al-Muwatta’ dan Ar-Risalah juga dalam bahasa Arab. Bukan pegon. Benar pula bahwa Alqur’an diturunkan dan ditulis dalam bahasa Arab.
Tetapi soal bahasa Arab adalah bahasa penghuni surga, tunggu dulu, Anda tahu dari mana? Apa dulu saat mi’raj sampeyan dibonceng Nabi dan mendengar sendiri para nabi di surga berbahasa Arab?
Oh ya, baik, Anda tahu dari hadits. Pasti Anda akan menyitir hadits riwayat Al-A’la bin Al-‘Amir ini: “Cintailah Arab karena tiga hal, karena aku (Nabi) orang Arab, Alqur’an dalam bahasa Arab, dan bahasa Arab adalah bahasa surga.”
Tahukah Anda status hadits itu? Ingat, tidak semua hadits absah dijadikan dalil. Jika Anda mempelajari Ilmu Rijalul Hadits (disiplin yang meneliti kualitas para perawi hadits), mudah sekali untuk melek bahwa nama Al-A’la bin Al-‘Amir bukanlah perawi yang otoritatif. Ia berstatus matruk (ditinggal atau ditolak), sehingga otomatis matan hadits yang diriwayatkannya tertampik. Hadits tersebut distempeli maudhu’ (palsu). Jumhur ulama—di antaranya Imam al-Haitami, Ibn Hibban, dan Imam Jawzi—memvonisnya demikian.
Itu pulalah alasan mengapa hadits tersebut tak banyak dikutip kitab-kitab salaf yang otoritatif. Imam Syafi’i, misalnya, tak pernah menyatakan bahasa Arab sebagai bahasa termulia, meski menyeru umat Islam yang mendalami hukum Islam harus menguasai ilmu Nahwu, Sharaf, Mantiq, dan Balaghah. Seruan Imam Syafi’i ini konteksnya semata bertalian dengan syarat wajib menguasai bahasa Arab dalam menggali ayat-ayat Alqur’an dan hadits. Tidak ada relevansinya sama sekali dengan pemberhalaan bahasa Arab.
Ibnu Taimiyah, mahaguru Wahabisme, tidak pernah pula menahbiskan bahasa Arab sebagai bahasa termulia. Beliau bahkan mengatakan pandangan demikian tidak ada tuntunannya (lihat Majmu’ Fatawa, Juz 4, hlm. 300). Begitupun posisi Ibnu Katsir. Keduanya hanya mengatakan bahwa wajib hukumnya menguasai bahasa Arab bagi para mujtahid.
Sampai di sini, dari mana juntrungnya kaum mendem Arab itu termehek-mehek sakau membela kemuliaan bahasa Arab plus segala yang bau-bau Arab?
Bisa diduga, Anda akan menukil surat Yusuf ayat 2 ini: “Sesungguhnya Kami menurunkan Alqur’an dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya.”
Coba baca lagi. Baca latinnya juga boleh. Hati-hati agar tak sariawan. Lalu coba buka tafsir Al-Mishbah, menurut Quraish Shihab, redaksi “agar kamu memahaminya” itu ditujukan kepada orang Arab di masa awal turunnya Al-Quran –agar mereka bisa memahaminya. Ini logis belaka sebab khitab-nya (obyek) adalah orang Arab. Andai Al-Quran diturunkan di Potorono, redaksinya boleh jadi begini: “Kito ngedukke Al-Quran nganggo boso Jowo ben kowe do reti, Le.”
Clear, betapa ayat tersebut sama sekali tak relevan untuk dijadikan dalil penashih kekudusan bahasa Arab.
Jika suatu kelak Anda mendarat di bandara King Abdul Aziz, jagalah jantung Anda baik-baik. Orang-orang Arab gemar sekali menggunakan kata “Ya Allah” dalam konteks makna “hayo, ayo, hei, atau oke”, bukan Tuhan YME. Apalagi sekadar kata “al-muttahidah”, yang bisa saja dipakai sehari-hari oleh para Ahmad saat mbribik para Harem, serupa Aditia Purnomo yang sedang berjuang menghapal Yaasin, Juz ‘Amma, dan tahlil demi meminang Utami Pratiwi.
Apa daya! Agnez Mo hanya sedang kepalang sial kali ini. Sial yang ditimpukkan oleh suatu delusi yang dianggap kebenaran oleh para saudara seiman pengidap logical fallacy tak berkesudahan. Setiap terantuk peristiwa-peristiwa tolol demikian, saya hanya bisa menahan malu di hadapan kawan-kawan non-muslim, sembari membatin, “Maafkan kehajingukan saudara-saudara kami, Lur…”