“Mau puasa aja pake acara lihat-lihat hilal segala. Repot banget. Padahal mau salat aja enggak pernah lihat bayangan Matahari,” kata kawan saya, dedengkot Muhammadiyah-yang-kaffah-karena-tidak-bisa-melucu-sama-sekali.
Sebagai jamaah Nahdliyin, rasanya kok gemes-gemes gimana rasanya dalam hati kalau mendengar hal begituan. Mau diserang balik langsung, kok ya ada benernya juga (lho?). Enggak maksudnya kok ngabis-ngabisin abab aja ngladenin gojek kere macam itu.
Kawan saya yang lambe turah ini namanya Habib As’ad, adik Mahfud Ikhwan, penulis Kambing dan Hujan. Kakak-adik ini betulan Muhammadiyah totok karena di kampung mereka di Lamongan, Muhammadiyah menguasai pusat desa. Warga Nahdliyin cuma dapet pinggiran-pinggirannya. Ibarat luka, NU cuma dapet pinggiran korengnya aja.
Baik saya dan maupun Habib punya latar belakang yang sama. Kami ini orang-orang yang lahir dari keluarga dua ormas terbesar di Indonesia. NU dan Muhammadiyah. Dan kami berdua besar di lingkungan di mana persinggungan kedua ormas ini terlalu intens.
Habib terbiasa dengan istilah Masjid Lor dan Masjid Kidul di kampungnya, untuk membedakan masjid NU dan Muhammadiyah. Saya, yang lahir dalam keluarga NU dan tinggal di kompleks perumahan IAIN Sunan Kalijaga, waktu kecil sering ke masjid kampus yang merupakan salah satu pusat gerakan Muhammadiyah di Jogja (sekarang saya enggak tahu kondisinya masih atau tidak).
Saya sih tidak serta merta akan menyebut diri orang NU, saya cukup mendaku jamaah Nahdliyin saja. Karena rasanya kok lancang betul, saya bukan ulama, je, kok ikut-ikut jadi bagian Nahdlatul Ulama? Orang awam begini, kok. Orang awam itu ya jamaah. Ada banyak. Kalo ulama mah dikit-dikit. Kayak FPI atau HTI misalnya, ulama semua mereka itu. Dikit, soalnya.
Saat saya kecil, membedakan Muhammadiyah dan NU patokannya sederhana. Saya perhatikan aja bangunan-bangunannya. Kalau yang bikin Muhammadiyah pasti bagus-bagus. Kalau yang bikin NU, sederhana. Saking sederhananya kadang malah enggak ada bangunannya.
Setelah remaja dan jadi sering ikut jamaah di masjid Muhammadiyah atau NU, saya baru tahu ada makin banyak perbedaannya.
Misalnya soal jumlah azan salat jumat.
Kalau azannya sekali, situ lagi salat jumat di Masjid IAIN tahun 1990-an yang masih Muhammadiyah banget. Sedangkan kalau azan dua kali, berarti situ lagi salat jumat di Pondok Tebuireng Jombang. Jauh amat Bang jumatan aja sampai Jombang?
Perkara kedua, salat subuh. Yah, situ tahulah, mana yang pake kunut dan mana yang enggak.
Ketiga, hisab dan rukyat untuk menentukan awal puasa dan lebaran.
Di bagian ketiga inilah yang selalu asik jadi gojek kere daripada dua perkara sebelumnya. Sebab azan salat jumat dan kunut itu bukan persoalan “Kelas A”. Nah, salat id dua kali dalam dua hari berturut-turut itu baru seruuu banget. Multi-aliran banget rasanya.
Oh, iya, kok enggak ada perkara yasinan, tahlilan, dan segala macam pernak-perniknya?
Jadi, begini, sidang jumat yang dirahmati Allah…
Muhammadiyah sekarang ini sudah banyak yang pada beralih rupa. Dari Mas Iqbal Aji Daryono kader Muhammadiyah yang bisa ceramah via Facebook pake materi yang lucu-lucu, sampai Muhammadiyah di kampung yang sudah bisa hafal doa-doa tahlil.
Setelah Rumah Sakit dan Kampus, apakah bisnis maizhoh hasanah dan tahlil juga bakal dimonopoli Muhammadiyah juga? Hmmm, mncrgkn skl mmng.
Oke, kembali ke perkara rukyat dan hisab.
Untuk gambaran awalnya, biar kita sama-sama enak dapat pondasi pemahamannya, saya akan coba membaca status jomblo Agus Mulyadi Sang Redaktur Mojok dengan metode rukyat dan hisab.
Dengan metode hisab, hilangnya status jomblo Agus ini jelas enggak ada rasional-rasionalnya. Sebab polanya enggak pernah ada sebelumnya. Ah, daif ini. Palsu. Hoax. Rumusnya gak ketemu. Bertahun-tahun jomblo kok tahu-tahu dapat pacar. Kayak Liverpool tahu-tahu juara Liga Inggris, nih. Mustahil. Anomali.
Sedangkan dengan metode rukyat. Hm, kita mesti lihat Agus secara langsung. Kenalan langsung. Kalau perlu kenalan sama orang yang dikira pacarnya. Repot, sih, tapi kan lebih pasti. Setelah semua dicek dengan teliti, dilihat dengan mata kepala sendiri, maka kesimpulannya: Oke deh, sekalipun enggak rasional, Agus punya pacar itu jebulnya empiris. Fix.
Gimana? Sudah dapet bayangan apa itu hisab apa itu rukyat?
Itulah kenapa, dalam bayangan saya dulu, pengguna metode hisab ini seperti sekelompok anak-anak eksak yang otaknya puinter-puinter. Kalau SMA macam anak IPA. Jago Matematika, Kimia, Fisika, Astronomi, sampai Geografi dan Akuntansi. Nilainya bagus-bagus. Kutu buku, kacamatanya tebel-tebel, satu kelas cowok semua. Disuruh ngitung 2+2 langsung tahu hasilnya berapa.
Lha, piye? Mereka ini demen banget ngitung-ngitungin peredaran bulan dari angka. Presisinya bisa dipertanggungjawabkan lagi. Keren pokoknya. Awal puasa Ramadan pasti jatuhnya di tanggal segini, Dzulhijah di tanggal segitu. Dari situ akhirnya muncul anggapan, “Lha terus ngapain sih lihat-lihat hilal segala? Merepotkan.”
Nah, beginilah ibadah dengan pendekatan rasional. Pendekatan dengan membaca pola, menghitung, lalu memprediksi pola di periode berikutnya. Gak percaya? Coba deh lihat sejarah, Muhammadiyah memang dikenal sebagai “pembaharu” dengan pendekatan rasional akan arah kiblat salat. Gimana? Sejak pendirinya saja emang logis kok bawaannya, apalagi penerusnya.
Sebaliknya, pengguna metode rukyat itu, dalam bayangan saya dulu (sampai sekarang juga sih), ibarat anak fakultas olahraga.
Lebih suka sekolah di luar. Enggak suka duduk-duduk lama di kelas. Hawanya pengen main terus, gojek kere terus, joinan rokok, sampai debat-debat hukum fikih di tempat ngopi sambil nongkrong. Tugas kuliah gak dikerja-kerjain, kuliah molor sampai disusul anak sendiri.
Cuma mau ngitung 2+2 aja kudu dicari objeknya dulu agar betul-betul tahu. Ini dua apaan dulu nih? Dua voor, parley, atau dua apaan? Lamaaaa bener debatnya muter-muter.
Namanya juga fakultas olahraga, makanya yang dilakukan adalah jajal-menjajal. Teori mah ada, tapi dikit. Kebanyakan praktek. Semua dijabanin. Dilakuin dulu, baru disimpulkan. Wayang dipakai dakwah, gamelan dipakai solawatan, perayaan 1.000 hari kematian ndak apa-apa asal isinya zikir dan doa-doa. Semua dijajal. Kalo cocok ya dipake, gak cocok dibuang. Simpel.
Pada akhirnya, orang-orang macam begini lebih yakin dengan yang langsung-langsung. Gak percaya gosip, bahkan gak percaya itung-itungan. Sama sodara sendiri kok itung-itungan. Semuanya harus dijajal. Dialami dulu. Pendekatan dengan pengalaman-pengalaman empiris dan tak terbantahkan lebih mudah diimani. Makanya melihat hilal secara langsung punya porsi istimewa bagi yang “fakultas olahraga” ini.
Meskipun begitu, alasan keputusan rukyat dan hisab tak cuma sesederhana itu juga. Ada perbedaan mendasar mengenai “ada hilal” (wujudulhilal) dengan “melihat hilal” (rukyatulhilal) juga.
Bagi yang pake hisab, melihat hilal itu tidak perlu secara langsung. Toh ilmu pengetahuan sudah membantu untuk membaca fenomena alam. Begitu bulan melewati ijtimak (konjungsi), atau garis start revolusinya terhadap bumi (sebagai awal bulan baru), itu artinya sudah masuk bulan baru. Entah mau kelihatan atau enggak itu perkara beda. Jadi 1 Ramadan dan 1 Syawal itu sudah hampir pasti bisa diketahui. Yap, diketahui dengan ilmu, enggak usah pake dilihat langsung.
Sedangkan bagi yang kudu melihat langsung (rukyat). Di bulan-bulan lain, boleh deh situ pake rukyat, tapi khusus di bulan ini saja kita harus pake penglihatan langsung. Kenapa?
Ya karena perintahnya, “Berpuasalah ketika melihat bulan…” bukan “berpuasalah pada (tanggal) satu Ramadan” atau “berpuasalah sambil liat kalender di henpon.”