Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai

Rokok Susi Pudjiastuti dan Cerutu Winston Churchill

Arman Dhani oleh Arman Dhani
29 Oktober 2014
0
A A
Rokok Susi Pudjiastuti dan Cerutu Winston Churchill

Rokok Susi Pudjiastuti dan Cerutu Winston Churchill

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Ini bukan masalah rokok atau kretek atau tembakau atau sejenisnya. Murni ini perkara akal sehat. Agak sakit mata dan otak saya ketika membaca komentar perihal sosok Ibu Susi Pudjiastuti yang merokok di Istana.

“Merokok depan umum? Oh pantes, wong lulusan SMP”. Ada gagap logika yang amat parah dalam kalimat ini, tapi tentu saja tidak perlu membahas orang bodoh, karena terlalu banyak orang bodoh di dunia ini dan terlalu sedikit orang seperti ibu Susi, berempati, ulet dan cuek.

Ibu Susi mengingatkan saya pada sosok pembaharu politik Inggris Winston Churchill. Churchill adalah orang paling masa bodoh dengan apapun yang tak berkaitan dengan dirinya atau bangsanya. Secara singkat Churchill adalah pragmatis, keras dan dalam kadar tertentu fasis. Anda bisa membaca bagaimana ia dengan kejam memperlakukan para pembencinya dengan kerja-kerja nyata yang bahkan mustahil dilampaui oleh perdana menteri lain setelahnya.

Di buku Churchill’s Cigar: A Lifelong Affair Through War and Peace, Anda bisa melihat bagaimana cerutu menjadi titik sentral pada sosok Churchill. Buku ini menceritakan bagaimana pada saat-saat paling genting Perang Dunia II, cerutu Churchill menjadi katalis penting dalam pengambilan keputusan. Stephen McGinty, sang penulis, menempatkan cerutu sebagai napas yang menjahit narasi kehidupan Churchill.

Tentu kita bisa berdebat panjang tentang apa guna cerutu bagi peradaban dunia. Tapi apalah Baudelaire tanpa anggurnya? Atau apalah artinya Pramoedya tanpa kreteknya? Tapi sekali lagi, bukan soal kretek atau rokok atau cerutu tulisan ini dibuat.

Churchill adalah seorang negarawan kelas wahid yang membuat Inggris begitu disegani di Perang Dunia kedua. Saya melihat ada kharisma serupa pada sosok Ibu Susi. Bukan, bukan karena ia bersuamikan ekspatriat Jerman. Tapi karena Ibu Susi dan Churchill sama-sama pejuang dan penyintas yang tangguh. Churchill berkali-kali gagal sekolah, nilainya hancur, namun lebih karena si mulut pedas ini menyimpan obsesi di bidang militer. Terbukti setelah tiga kali gagal sekolah militer, pada percobaan keempat ia diterima dan kemudian menjadi perwira militer.

Ibu Susi adalah orang yang memiliki prioritas dalam hidup. Ibu susi jelas memiliki beban ganda. Sebagai perempuan yang hidup dalam peradaban patriarkhis dan misoginis, Ibu Susi jelas sering diremehkan karena jenis kelaminnya. Tapi kita tahu bagaimana ia menjalani hidup. Susi bekerja dengan taktis membangun imperium bisnisnya. Anda bisa sebut dia sebagai seorang kapitalis borjuis, tapi borjuis tak pernah terlahir miskin, sementara kapitalis tak punya empati sosial.

Beberapa hari ini, ruang publik kita diributkan lantaran jenjang pendidikan Ibu Susi. Tentu akan susah membuat orang yang ditempeleng pesona jenjang pendidikan untuk bisa bekerja dengan perempuan lulusan SMP. Tapi pengalamannya bekerja sebagai pengusaha perikanan dan transportasi, dengan daya jelajah lebih panjang dari otak kebanyakan penduduk negeri ini, Ibu Susi akan dengan mudah mempermalukan pengetahuan kita tentang kondisi geografis, sosial budaya, politik dan ekonomi kelautan nusantara.

Ewuh pakewuh, dan juga norma kesopanan, yang sudah kepalang brengsek membuat negeri ini tunduk pada perilaku munafik penuh gincu. Ibu Susi adalah cermin raksasa yang menunjukkan betapa kita sebenarnya adalah kaum yang menjijikan. Tampil sopan hanya karena ingin dianggap beretika, bukan karena ketulusan. Tampil relijius hanya karena ingin dianggap beragama, bukan karena keimanan.

Maka ketika Ibu Susi yang datang dari kolong langit paling pelosok, nusantara terkaget-kaget dengan sosok perempuan yang masa bodoh dengan segala kepalsuan itu.

Saya mendambakan sosok Ibu Susi sebagai konservatif yang sempurna. Keras, taktis, pragmatis dan berorientasi pada kemakmuran negeri. Churchill adalah contoh paripurna dari gambaran Kaum Konservatif Britania. Ibu Susi adalah pengusaha, ini poin penting. Dengan pengalamannya sebagai pengusaha, ia bisa mengukur untung-rugi, kebijakan, dan juga keputusan-keputusan penting yang mesti diambil untuk negara. Ini jauh lebih penting daripada sekadar berpenampilan menarik, santun atau bahkan relijius.

Toh, tiap kali KPK menangkap koruptor, tiap-tiap tersangka selalu mendadak relijius, bukan?

Terakhir diperbarui pada 28 Oktober 2019 oleh

Tags: CerutuSusi Pudjiastuti
Iklan
Arman Dhani

Arman Dhani

Arman Dhani masih berusaha jadi penulis. Saat ini bisa ditemui di IG @armndhani dan Twitter @arman_dhani. Sesekali, racauan, juga kegelisahannya, bisa ditemukan di https://medium.com/@arman-dhani

Artikel Terkait

Che guevara pernah beli cerutu di taru martani jogja.MOJOK.CO
Histori

Menolak Lupa, Che Guevara Pernah Jajan Cerutu di Taru Martani Jogja yang Melegenda

19 Desember 2023
Toko Wiwoho: Toko Tembakau dan Cerutu Legendaris di Jogja, Usianya Lebih dari Seabad MOJOK.CO
Kilas

Toko Wiwoho: Toko Tembakau dan Cerutu Legendaris di Jogja, Usianya Lebih dari Seabad

21 Oktober 2023
Cek Ombak Anies Baswedan-Susi Pudjiastuti, Hingga Sejauh Mana Kapal Mereka Berlayar?
Movi

Cek Ombak Anies Baswedan-Susi Pudjiastuti, Hingga Sejauh Mana Kapal Mereka Berlayar?

8 Agustus 2023
5 Tokoh Perempuan yang Bisa Mengubah Peta Politik 2024
Kilas

5 Tokoh Perempuan yang Bisa Mengubah Peta Politik 2024

20 Oktober 2022
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

UGM Kampus Terbaik yang Nggak Punya Dosen Problematik MOJOK.CO

Kuliah di Kampus Besar Seperti UGM Bukan Hanya Soal Gengsi, Salah Satunya Cari Aman dari Dosen Problematik

17 Juni 2025
Perjuangan ibu hingga antar anak jadi mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), jadi pembuktian untuk ayah yang telah meninggalkan keluarga MOJOK.CO

Bisa Kuliah UGM karena Perjuangan Ibu, Bertekad Buktikan Kesuksesan ke Ayah yang Pergi Tinggalkan Keluarga

21 Juni 2025
Lomba Bidar Palembang Budaya Betulan, Bukan Sound Horeg MOJOK.CO

Saya Resah Melihat Palembang ketika Budaya Bodoh Bernama Sound Horeg dan Organ Tunggal Dianggap Pesta Rakyat Seperti Lomba Perahu Bidar

19 Juni 2025
Fadli Zon menyangkal pemerkosaan massal dalam kerusuhan 1998. MOJOK.CO

Muslihat Penulisan Ulang Sejarah Mei 1998: Memberikan Penghargaan kepada Soeharto dan Menyangkal Bukti Pemerkosaan

17 Juni 2025
Pemuda Jogja bisa kerja dengan gaji senilai perusahaan Amerika Serikat. MOJOK.COA

Pertama Kali Dapat Kerja di Jogja sambil Kuliah, Kaget Bisa Dapat Cuan Senilai Perusahaan Besar di Amerika Serikat

20 Juni 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.