Revolusi Pati Bisa Menjadi Cetak Biru Melawan Tirani, Mengancam Semua Pemimpin Bajingan yang Bikin Sengsara Rakyat

Revolusi Pati: Cara Terbaik Melawan Pemimpin Bajingan MOJOK.CO

Ilustrasi Revolusi Pati: Cara Terbaik Melawan Pemimpin Bajingan. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSaya kirim doa untuk rakyat Pati. Semoga kalian tetap teguh hati berjuang bersama untuk menggulingkan pemimpin bajingan.

Selama ini, banyak dari kita sibuk keliling dunia demi mencari contoh revolusi. Mulai dari Rusia, Amerika, sampai Prancis. 

Kita bahkan berusaha meminjam istilah asing dan ideologi yang belum tentu membumi. Akibatnya, kita sampai lupa lupa bahwa dapur pembangkangan sipil bisa jadi ada di kota sebelah. Di sebuah kabupaten bernama Pati.

Pati hari ini menawarkan cetak biru melawan tirani. Gerakan rakyat di sana mengingatkan kita untuk tidak perlu sampai Paris demi mempelajari cara mengalahkan pemimpin zalim. Apalagi sampai harus mencari kepala terpenggal Maximilien Robespierre, salah satu tokoh penting Revolusi Prancis. Revolusi, bisa jadi terbit dari Pati.

Pati memang penuh kontroversi. Tahun lalu, kabupaten kecil ini menjadi sorotan bangsa karena kasus kematian bos rental mobil. Di Kecamatan Sukolilo, bos yang malang itu meninggal dikeroyok massa.  

Dan hari ini, Pati berpotensi menjadi “titik api”. Dulu, banyak orang mencibir orang Pati. Namun kini, mereka turun ke jalan untuk melawan bupati tiran. Jutaan pasang mata menanti. Apakah Bupati Sudewo akhirnya lengser atau makin keji menyiksa warga kabupaten dengan luas 1.500 kilometer persegi itu?

Hari esok masih jadi misteri. Tapi hari ini, Pati memberi rakyat Indonesia cetak biru revolusi. Sebuah metode menggulingkan pemimpin yang sibuk jadi bajingan. 

Bisa jadi, cetak biru ini akan melahirkan banyak perlawanan di daerah lain. Mulai dari lingkaran terkecil, lalu merembet menjadi Jawa Tengah Spring, lalu Jawa Spring, atau malah Indonesia Spring?

Kronologi keputusan Sudewo menuju Revolusi Pati

Kebanyakan orang hanya tahu aksi massa di Pati dipicu oleh kenaikan PBB-P2. Kenaikan sampai 250% dianggap jadi percik pembakar amarah rakyat. Tapi sejak terpilih sebagai bupati, Sudewo sudah menabur badai di hati masyarakat.

Dilantiknya Bupati Sudewo pada Februari 2025 sudah penuh isu miring. Dari kasus seleksi perangkat desa, sampai nepotisme di lingkungan Pemkab Pati. Belum selesai isu ini, kebijakan lima hari sekolah digulirkan. Keputusan ini mendorong lahirnya tuntutan dari para pengajar Madrasah Diniyah.

Hanya sebentar, Bupati Sudewo kena hantam kasus PHK massal di RSUD Soewondo. Ratusan karyawan non-ASN diberhentikan dengan alasan efisiensi anggaran tanpa kejelasan pesangon. 

Mungkin belum cukup menyakiti rakyat, Sudewo melaksanakan renovasi alun-alun dan pembangunan videotron beranggaran miliaran. Dia masih membarengi kontroversi itu dengan relokasi PKL yang selama ini hidup di alun-alun.

Saat tuntutan mengepung, Bupati Sudewo malah mengeluarkan pernyataan kurang ajar. Dia menantang masyarakat untuk demo dengan berkata, “Jangan hanya 5.000 orang, 50 ribu orang saja suruh kerahkan. Saya tidak akan gentar. Saya tidak akan mengubah keputusan!”

Puncaknya adalah terbitnya SPPT PBB-P2 yang “fenomenal” itu. Ya, masyarakat kini punya satu tujuan besar untuk menuntut tanggung jawab: Sudewo harus lengser!

Alasan Pati bisa terbakar oleh kebijakan pemerintah

Membaca kronologi di atas, Revolusi Pati tidak terjadi karena satu masalah. Misalnya, kalau hanya soal PBB yang mencekik, mungkin aksinya tidak semasif ini. Atau, terbatas pada kasus relokasi PKL, aksinya pasti sangat sempit. Adalah akumulasi kebijakan brengsek yang menyatukan rakyat Pati untuk turun ke jalan.

Tidak butuh waktu lama, Sudewo sudah melukai hati dan kehidupan berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari rakyat kecil, guru, tokoh agama, petani, pekerja, sampai pengusaha. Ini yang membuat aksi di Pati berbeda dengan aksi demo yang sudah-sudah.

Di sana, kita tidak menemukan spesifikasi isu atau identitas golongan. Yang ada hanya rakyat Pati melawan Pemkab dan Sudewo.

Meleburnya seluruh elemen masyarakat bukan berarti mereduksi gerakan. Setiap orang membawa tuntutan yang paling menyakiti. Mereka tetap menyuarakan masalah kebijakan selain kenaikan PBB. Justru dengan isu yang serentak diangkat, tuntutan pemakzulan Sudewo punya fondasi, sekaligus narasi yang konkret.

Karakter ini juga mencegah polarisasi pada masyarakat atau gesekan masif rakyat. Bahkan ormas dengan massa aksi juga aman dari gesekan. Semua itu terjadi karena adanya masalah dan keresahan yang menjadi titik temu. 

Alun-Alun dan Kantor Bupati Pati penuh manusia. Dari ibu-ibu dapur umum, pemuda pembawa spanduk, bapak-bapak garang, sampai deretan mobil berisi sumbangan pangan dan air. Jangan lupa tukang cukur yang memberi jasa cukur gratis bagi demonstran. Semua terjadi karena solidaritas horizontal tidak jadi opsi, tapi keharusan bagi semua rakyat!

Mungkin kita menganggap Revolusi Pati sebagai perfect storm. Sebuah kegagalan kebijakan beruntun yang memberi oksigen pada api kekecewaan. Arogansi dari Sudewo sendiri yang menyempurnakan semua keresahan itu.

Tapi, apakah Revolusi Pati bisa dicontoh daerah lain? Sangat bisa dan ini ancaman bagi para tiran. Baik tiran lokal, sampai tiran puncak.

Dari Revolusi Pati menjadi Jawa Spring

Banyak orang berharap Pati jadi awal dari revolusi besar. Misalnya seperti Arab Spring yang dimulai dari Tunisia. Tapi, untuk melahirkan Jawa Spring atau Indonesia Spring, kita harus memahami “Metode Pati” sebagai cetak biru aksi.

Ingatan kolektif terhadap masalah kebijakan adalah kunci awal. Kita tidak bisa memaksa puluhan ribu orang untuk rela panas-panasan menukar nyawa demi satu isu. Apalagi jika tidak relevan. 

Ini sering terjadi dalam aksi terfokus, yang diakhiri sinisme pada masyarakat yang apatis. Katalog isu memberi lebih banyak alasan untuk terlibat aktif.

Katalog isu juga perlu dibarengi edukasi (baca: propaganda) perihal dampak nyata. Sebuah kesia-siaan membahas demokrasi terluka pada masyarakat yang berebut beras. 

Revolusi Pati menunjukkan bahwa semua orang bisa kena. Entah digusur, dipecat, atau direbut uangnya oleh pemerintah. Tidak ada narasi ndakik-ndakik, karena semua bisa memahami dampaknya. Edukasi juga membantu massa untuk berani ambil sikap.

Salah satu kofaktor yang sering dilupakan dalam aksi adalah jejaring. Warga Pati sendiri memanfaatkan grup Facebook dan WhatsApp sebagai alat koordinasi. 

Namun, yang lebih penting adalah sistem mulut ke mulut. Keresahan tidak hanya menjadi konten, tapi diskusi paling dasar di pasar dan warung. Metode ini melemahkan interupsi dan distraksi isu. Apalagi jika kita mengemasnya dengan keresahan yang kaya serta beragam.

Tapi semua itu akan percuma selama masih ada vanguard atau mesias dalam aksi. Kata kunci dalam Revolusi Pati adalah “kolektif”. Tidak ada satu tokoh dan wajah yang menjadi panutan. 

Sebaliknya, simbol ini muncul di Sudewo. Ini adalah kekuatan! Menangkap satu kepala lebih mudah daripada meredam 50 ribu suara serak melawan satu musuh yang sama. 

Tanpa kepala, keberanian justru bisa lebih kuat. Saling jaga dan kawal lebih baik daripada mendengar jargon satu-dua tokoh kebelet berkuasa.

Inilah metode Revolusi Pati. Metodenya sangat biasa, tapi efektif luar biasa. Massa aksi tidak lagi bisa diredam oleh aksi intelijen sederhana. Maka, kemungkinan berhasil jadi lebih besar. 

Peringatan: Pemerintah jangan seenaknya pada rakyat!

Revolusi Pati sedang bergulir saat saya menulis ini. Saya kirim doa agar Tuhan Raja Diraja berkenan menyentuh jiwa para massa aksi. Semoga mereka teguh pendirian hingga titik akhir: lengsernya Sudewo!

Nah, ada satu hal kecil setelah ini. Ini adalah pertanyaan yang sama untuk semua revolusi. Entah di Pati, atau di seluruh negeri. 

Setelah ini, kalian mau apa? Setelah tiran lengser, apa langkah selanjutnya? Mau membangun masyarakat sejahtera atau angsurkan kursi pada tiran baru di antara kalian?

Untuk kepala daerah lain, jangan senyam-senyum! Telan dulu kelegaan kalian yang mungkin berbisik, “Untung tidak terjadi di daerahku.” 

Cetak biru sudah disebar dengan aksi nyata. Revolusi sudah dimulai dari Bumi Mina Tani! 

Setiap tiran lokal perlu tidur dengan satu mata terbuka. Karena kami, rakyat, bisa marah dan menggugat!

Penulis: Prabu Yudianto

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Pati Ora Sepele: Gelombang Kemarahan Rakyat Tidak Lagi Bisa Dibendung, Demo Besar Berjalan untuk Melawan Arogansi Sang Bupati dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version