“Negara ini adalah negara hukum. Apa artinja ini? Bahwa tiap2 pelanggaran hukum jang merugikan, harus diadili setjara setimpal. Dan dalam hal percobaan kudeta 17 Oktober ini, jang terdjadi bukanlah pelanggaran biasa, yang terdjadi jalah suatu kedjahatan politik! Adilkah djika pengadilan Republik mengampuni kedjahatan ini?” – Editorial Harian Rakjat, 17 Februari 1955, hlm 1
Saya sedang membaca runtutan editorial Harian Rakjat/PKI sepanjang Februari 1955 tentang upaya pemutihan peristiwa “17 Oktober”, ketika di media sosial gaduh oleh kriminalisasi dua sastrawan Indonesia oleh staf khusus Denny Januar Ali.
Peristiwa “17 Oktober” yang terjadi tahun 1952 adalah tonggak kekalahan bintang serdadu paling bersinar di tubuh Angkatan Perang, A.H. Nasution. Tepat ketika Prabowo Subianto berulang tahun yang pertama. Tujuh bulan sebelum pemilu 55, perwira-perwira Angkatan Perang berunding di Yogyakarta untuk memutihkan “dosa-dosa politik” Nasution terhadap Sukarno dalam peristiwa yang disebut PKI “Kudeta 17 Oktober.”
Kelak “17 Oktober” menjadi hari paling terkutuk bagi laki-laki gagah, parlente, di mana semua keburukan nasib seperti enggan menghampiri mereka. Prabowo Subianto yang masih mengeja satu dua patah kata dari ibundanya ketika bintang Nasution terjungkat, juga mengikuti garis kutukan saat ia sebagai lelaki tegap perkasa dengan airmuka gandrung terjerembab dengan memilukan saat bermain-main politik di senjakala kekuasaan mertuanya. Bukan hanya bintangnya yang terlindas arus massa, tapi juga ia (di)cerai(kan) oleh istri terkasihnya.
Dan di tanggal yang sama, Raffi Ahmad menggelar ritus kawin dengan mengambil semau-maunya frekuensi siar milik publik.
Seakan hendak melawan kutukan “17 Oktober” itulah, Raffi Ahmad berdiri, mengumumkan dengan lantang kepada seluruh manusia Republik—yang disiarkan secara LIVE nyaris tanpa jeda, bahwa 17 Oktober bukan kalender kutukan karir seorang megabintang, dan bukan pula jalan sungsang yang mengandaskan urusan perkelaminan.
Di 17 Oktober, seperti seorang panglima, Raffi ingin memberitahu kepada (arwah) Nasution dan Prabowo Subianto—sehabis meratapi kekalahan di Pilpres, agar tetap tangguh seperti dirinya; walaupun dijebloskan BNN ke penjara karena ketahuan pesta narkoba toh tetap berdiri tegap, gagah, dan bisa menyelenggarakan ritus pembuka dari kultur perkembangbiakan, yang insya Allah diharapkannya (bisa) berumur panjang.
Di luar cerita ini itu, Oktober dikenang-kenang sebagai bulan bahasa yang heroik, tapi sekaligus menyimpan luka dan ironinya.
Bagi Nasution, Oktober di hari ke-17 adalah hari naas dan sial. Bagi Prabowo, Oktober di hari ke-17 adalah hari yang gamang antara kebahagiaan merayakan hari lahir dan bayang-bayang kesialan seniornya yang sungguh juga menimpanya 46 tahun kemudian. Tapi bagi sastrawan, Oktober diingat sebagai pertaruhan yang heroik antara apakah kita memiliki bahasa nasional atau seperti Malaysia mesti ikut bahasa majikannya.
Oktober adalah pernyataan sikap yang gagah dan patriotis dalam berbahasa, yang menjadi kendaraan susastera. Tapi sekaligus menjadi luka ketika komplotan Denny JA—yang juga mendaku-daku hidup dari keajaiban bahasa dan sastra, justru mengajukan dua sastrawan Indonesia ke meja kayu interogator di ibukota republik.
Saya mesti mengoreksi pandangan saya sewaktu keluar dari gedung Mahkamah Konstitusi 13 Oktober 2010, bahwa sebuah buku tak boleh lagi dibekuk secara sepihak oleh negara dan masyarakat, melainkan lewat pengadilan jika tak ada titik temu dalam sebuah kolakium dan debat terbuka di ruang publik.
Justru di sini pokok sialnya. Komplotan Denny Januar Ali hanya mengambil frase “pengadilan”-nya tapi mengabaikan kronologi bagaimana substansi duduk soalnya; yakni beda pendapat ihwal buku yang disengketakan isinya.
Belum pernah ada pergelaran debat publik yang terbuka antara cendekia yang bersengketa—yang sama-sama mengendarai bahasa untuk dayacipta. Eh, tahu-tahunya reserse sudah dipanggil datang untuk ikut “menyelesaikan” perdebatan.
Aduan ke kepolisian pun bukan soal buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh itu, tapi sesuatu yang sifatnya defensif-narsistik, semata soal pertahanan “nama baik”. Saut Situmorang dan Iwan Soekri diseret ke kantor polisi, kita diseret ke masalah yang menjauhi pokok gagasan lebih besar dan bermutu; memperdebatkan buku sastra, kelak, di pengadilan! Menyeret sastrawan di bulan bahasa ke hadapan meja interogator karena soal “nama baik” betul-betul melengkapi ironi Oktober.
Ya, Oktober, pada akhirnya bukan saja menjadi kisah kekalahan nasib serdadu yang (pernah) membusung dada di puncak piramida kelas masyarakat, di bulan patriotik dalam sejarah bahasa nasional ini, kita juga dijauhkan dari polemik yang keras dengan daya tahan tak main-main di lini masa sejarah sastra dan bahasa Indonesia.
Kita makin bodoh saja di Oktober di hari ke-17, sebagaimana kebodohan yang teramat-amat mempertontonkan secara ekstrim ritus perkembangbiakan dengan merampok frekuensi penyiaran publik di layar kaca.