MOJOK.CO – Pendeta yang juga penyair itu bernama Fridolin Ukur (1930-2003). Dan dia merupakan sedikit pendeta yang gemar memakai peci.
Syahdan, Fridolin memiliki sepuluh peci hitam yang dibelinya sendiri atau pemberian dari sejawatnya. Mungkin saja, Fridolin seorang Soekarnois. Atau barangkali karena kopiah hitam itu mirip dengan lawung (peci tradisional ala Dayak). Yang jelas, Fridolin adalah seorang nasionalis-religius.
Fridolin suka humor dan dekat dengan anak muda. Saat dia menjabat sebagai Sekretaris Umum Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), gereja tidak sekadar tempat upacara ritus, tetapi juga wadah umat dalam mengemban tugas kemanusiaan.
Sejak 1967, menurut Pendeta Fridolin, gereja-gereja di Indonesia lebih peka terhadap masalah-masalah sosial. Lulus dari sekolah tingkat menengah di Banjarmasin pada 1950, anak ketiga dari lima bersaudara ini masuk Sekolah Tinggi Teologia Jakarta (STTJ).
Dua tahun pertama dia membiayai kuliah dengan uang kiriman orang tuanya. “Perguruan meragukan motivasi saya untuk jadi pendeta,” kenangnya.
Baru setelah pihak STTJ menganggap Fridolin mantap, dia mendapat beasiswa. Rampung pada 1956, dan tahun 1971 Fridolin meraih gelar doktor pada STTJ—pasca sebelumnya sempat belajar pada Fakultas Teologia Universitas Basel, Swiss.
Disertasinya berjudul, “Tantang-djawab suku Dajak: suatu penjelidikan tentang unsur2 jang menjekitari penolakan dan penerimaan Indjil di kalangan suku Dajak dalam rangka sedjarah geredja di Kalimantan, 1835-1945”, hasil penelitian antropologi budaya itu kemudian diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia.
Menurut data yang saya cuplik dari Apa & Siapa: sejumlah orang Indonesia, 1985-1986 (1986: 1147-48) terbitan Majalah Tempo & Grafiti Pers, Fridolin berasal dari Tamiang Layang, Barito Timur, Kalimantan Tengah.
Sejak masa kanak-kanak, dia sudah menerima pendidikan agama dari orang tuanya. Pertemuannya dengan pendeta sesuku (Dayak), Ethel Bert Saloh, memperdalam pengetahuan kerohanian Fridolin.
Anak seorang penilik sekolah ini berpendapat, Kristen Indonesia harus lebih dewasa dalam menjaring pengaruh polarisasi gereja di negara Barat. “Citra Kristen harus merakyat,”, tegasnya dengan mantap.
Pendeta Kristen di Bali, misalnya, tidak harus mengenakan jubah hitam dalam upacara gereja.
“Di Bali, hitam lambang kejahatan. Lalu apa pendeta Kristen harus mempertahankan jubah hitam yang merupakan tradisi Barat itu?” kata pendeta yang pernah jadi anggota Divisi IV ALRI (kini TNI AL), yang kemudian masuk TNI-AD hingga berpangkat pembantu letnan ini.
Pernah memimpin majalah Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Fiducia, Fridolin juga kolomnis di beberapa surat kabar Jakarta. Titimangsa 1980, dia menjadi editor tamu International Review of Mission, milik Dewan Gereja Sedunia, dalam Sidang Raya di Melbourne.
Oleh sebab itu, Fridolin sempat keliling Australia, dan hasil tulisannya mengagumkan banyak orang.
“Di situ nama saya sebagai penulis mulai dikenal secara internasional,” kenang bekas Direktur Yayasan Komunikasi Massa (Yakoma) yang acap ikut tampil mengisi acara kebaktian di RRI dan TVRI periode Orde Baru.
Anak ketiga dari lima bersaudara ini, dianggap banyak orang bersikap “netral”. Akibatnya, dia sering dimintai pendapat oleh kaumnya di Desa Tamiang Layang. Bahkan ayah Fridolin pernah menyuruhnya mengatur pembagian warisan yang terdiri dari dua rumah dan beberapa bidang tanah.
Fridolin termasuk penyair legendaris Indonesia (Angkatan ’66). Syair-syairnya banyak diterbitkan di berbagai media massa. Terakhir, juga diterbitkan dalam satu buku berjudul Wajah Cinta (BPK Gunung Mulia, 2003). Puisi-puisi yang ada dalam buku ini merupakan hasil percikan perenungan dan kisah perjalanan hidup yang dikumpulkan sekian lama.
Kata demi kata dijahit oleh Penyair Fridolin. Kalimat demi kalimat diuntai menjadi satu nada, satu irama; berjiwa dan bermakna. Ungkapan hati, jiwa, dan perasaan dituturkan oleh Pendeta Fridolin secara apik dan menyentuh kalbu.
Rasa syukur, cinta, keagungan Sang Pencipta, kepasrahan diri, kasih Tuhan, dan kasih kepada sesama tertuang melalui kata-kata yang sederhana, namun sarat makna yang memberi kesejukan di hati pembacanya.
Beberapa buku yang ditulis oleh Fridolin Ukur antara lain: Malam Sunyi (Kumpulan Sajak, terbitan BPK 1960); Darah dan Peluh (Kumpulan Sajak, terbitan BPK 1961); Belas Tercurah (Kumpulan Sajak, terbitan BPK 1980); Iklan dari Surga (Kumpulan Renungan, terbitan Pustaka Sinar Kasih 1980); Wajah Cinta (Kumpulan Puisi, terbitan 2001); Tentang Jawab Suku Dayak; dan Tuaiannya Sungguh Banyak.
Fridolin meninggal dunia di Jakarta, 26 Juni 2003 dan dimakamkan tanah kelahirannya, Tamiang Layang, kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah. Sebagai penutup tulisan ini, saya tampilkan salah satu puisi karya Fridolin Ukur berjudul “Doa di malam duka”:
Doa di dalam Duka
(Menjelang Jumat Agung)
Fridolin Ukur
Bila kami menatap cuplikan peristiwa
Kisah duka di taman Gethsemane;
Bila kami ulang kembali tutur cerita
pengadilan beruntun atas diri sang rabi,
lalu kembali ke tayangan buatan manusia,
tentang jalan nista di puncak Golgotha,
buatkan kami tambah mengerti
makna kurban sang Anak Domba,
jadikan kami tambah memahami
derita sengsara Putera sang Bapa!
Agar salib kami pikul tanpa duka
taat setia melangkah ke depan
menyongsong hari nanti
bersama kebangkitan Tuhan
MARANATHA!
Jakarta, 13 April 1995
Sepanjang Ramadan MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus soal hikayat dan sejarah peradaban Islam dari sejarahwan Muhammad Iqbal.