Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Problematika Mahasiswa Eksistensialis Ketika Menyusun Skripsi

Fachrial Kautsar oleh Fachrial Kautsar
8 Maret 2019
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Bagi seorang mahasiswa eksistensialis, ada pergulatan batin dan pikiran yang rumit ketika menyusun skripsi.

“Sudah kerjakan saja. Tidak semua di dunia ini berjalan sesuai dengan keinginan kita. Sebagai mahasiswa, harus siap dengan segala tantangan”, begitu katanya. Entah, itu kata-kata siapa. Yang saya tahu kata-kata itu sering terucap dari mulut senior saya. Mungkin kata-kata itu dikutip dari dosen pembimbing mereka. Mungkin loh, ya.

Bagi seorang mahasiswa, menyusun skripsi adalah keniscayaan. Suka tidak suka, mau tidak mau, akan datang menghampiri layaknya tagihan uang kuliah yang selalu muncul setiap awal semesternya. Beberapa orang menyambutnya dengan suka cita. Lantaran menganggapnya sebagai penanda bahwa ia akan segera mendapat gelar sarjana. Lantas bisa membanggakan orang tua, lalu mencari kerja agar percaya diri berhadapan dengan calon mertua. Beberapa lainnya mulai mengutuk langit karena tersadar bahwa lulus dari universitas ternyata tidak semudah masuknya.

Saya bukan bagian dari keduanya. Saya, dan mungkin mewakili sebagian lain di luar dua kategori di atas sering ‘menganggap’ diri sendiri dan ‘dianggap’ oleh orang lain sedang mengalami krisis eksistensi. Pasalnya, mulai mempertanyakan hakikat hidup. Lalu menerka-nerka kapan terjadinya kiamat, membicarakan kisah nabi beserta para sahabat. Atau bahkan berkonspirasi tentang perang antar-galaksi yang semakin dekat.

Sungguh absurd. Sama absurd-nya dengan kisah Sisyphus yang diuraikan oleh Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus (1941). Raja Sisifus yang jahat dihukum dan dikutuk oleh para dewa untuk mendorong sebuah batu yang besar dan berat ke atas bukit. Namun setiap kali ia berhasil mencapai puncak, batu itu akan terguling lagi sampai ke dasar. Ia pun harus mendorongnya kembali dari bawah. Terus berulang seperti itu. Entah sampai kapan.

Begitulah Albert Camus menggambarkan absurditas dalam kehidupan manusia. Bangun tidur, sarapan, pergi ke kampus, kuliah, istirahat, makan, menyusun skripsi, pulang, makan lagi, lalu tidur. Terus berulang setiap harinya, secara rutin. Hingga akhirnya muncul pertanyaan dalam benak saya, “Mengapa harus demikian?”

Sebuah pertanyaan yang menggambarkan keresahan terdalam pada diri manusia. Yakni kehendak untuk memperoleh jawaban serta kejelasan. Namun apa yang saya peroleh? Pertentangan dan ketidakselarasan. Pasalnya, kemudian saya sadari bahwa dunia ini irasional dan tidak akan dapat dimengerti. Sama halnya dengan kata-kata yang saya kutip di awal tadi.

Tidak hanya itu. Problematika yang nyata dan bersinggungan langsung dengan proses menyusun skripsi adalah ketika para mahasiswa eksistensialis berpegang teguh pada prinsip. Bahwa manusia terlahir ke dunia dengan kutukan kebebasan. Adapun artinya, manusia yang bebas akan selalu berproses untuk menciptakan dirinya. Dengan kata lain, manusia yang bebas, dapat mengatur, memilih, dan memberi makna pada realitasnya sendiri.

Aspek ini tentu menjadi kendala tatkala seorang mahasiswa eksistensialis memasuki tahap menyusun skripsi. Mahasiswa eksistensialis akan cenderung mencari, memikirkan, dan menggali makna terdalam atau esensi skripsi terlebih dahulu sebelum mulai mengerjakannya. Pergulatan batin dan pikiran atas makna yang akan disematkan pada lembaran-lembaran kertas itu kelak bukanlah sesuatu yang mudah dan dapat dipandang sebelah mata.

Perkiraan saya, hanya akan muncul dua kemungkinan ketika pergulatan itu selesai terjadi. Pertama, mahasiswa tersebut akan menyerah terhadap standar tinggi yang ia ekspektasikan dalam menyusun skripsi. Lalu menetapkan bahwa makna yang ia sematkan pada skripsi tersebut hanyalah setumpuk lembaran kertas. Setumpuk kertas yang akan mengantarkannya menjadi sarjana, bagaimanapun caranya.

Atau yang kedua, ia akan menyematkan makna bahwa skripsi tersebut merupakan hasil karya terbaik yang dapat ia kerjakan. Melalui buah pikir dan kerja keras. Apa pun tantangan yang dihadapinya kelak saat proses pengerjaannya.

Tentu kalian semua akan beranggapan bahwa pemaknaan tersebut bersifat subyektif bagi mahasiswa yang bersangkutan. Namun bukankah subyektifitas merupakan asas dari pemikiran eksistensialisme? Persis seperti yang dikatakan oleh Jean-Paul Sartre bahwa, “Man is nothing else but what he makes of himself.” Maka dari itu para eksistensialis akan selalu menempatkan dirinya sebagai pusat dari “dunia”. Lantaran, setiap kesadaran manusia akan senantiasa berusaha mempertahankan subyektifitasnya sendiri.

Hal tersebut jangan dipahami sebagai sikap egoisme. Pasalnya, para eksistensialis juga meyakini bahwa orang lain di luar dirinya memiliki subyektifitas yang sama seperti yang dimilikinya. Konsepsi ini lebih tepat digambarkan melalui pemahaman bahwa manusia hidup dalam konstruksi buatannya sendiri. Misalnya membuat aturan, standar, norma, dan lain-lain.

Melalui hal tersebut sesuatu diberi nama, tujuan, serta makna. Maka dari itu, semestinya manusia dapat menjalankan eksistensinya dan bertanggung jawab atas dirinya dan realitas di sekitarnya. Termasuk dalam hal menyusun skripsi sekalipun.

Iklan

Sayangnya, dua problematika dasar yang dihadapi para eksistensialis ini tidaklah cukup. Pemikiran bahwa hakikat setiap relasi manusia adalah sebuah konflik menjadi permasalahan berikutnya. Para eksistensialis akan cenderung memandang bahwa tidak ada yang namanya ‘cinta obyektif’ dalam setiap relasi. Namun, yang ada hanyalah pamrih, karena ‘aku’ akan selalu meng’engkau’kan (mengobyekkan) orang lain. Tentu hal ini bertentangan dengan prinsip sebelumnya bahwa ia mengedepankan asas subyektifitas.

Tidak heran Albert Camus memberi nama salah satu bukunya dengan judul “Orang Asing” (re: kesepian). Lantaran, orang-orang yang dimaksud oleh Camus akan cenderung terasing dan menghindari sebuah relasi yang meng-‘aku’ dan meng-‘engkau’ kan seseorang. Kecuali mereka berdua dapat menemukan ‘pihak ketiga’ yang dapat dijadikan musuh bersama—misalnya kemiskinan, kebodohan, dan masa depan suram. Supaya kemudian muncul terminologi “kita melawan mereka”. Cie banget nggak tuh?

Tapi di luar itu semua, perlu dipahami bahwa manusia yang sadar akan eksistensinya adalah manusia yang bertanggung jawab dan memikirkan masa depan. Meskipun dalam menentukan pilihan, kita tidak dapat serta merta menghilangkan rasa takut atau cemas atas segala konsekuensinya. Namun manusia semestinya merasa senang dan merdeka. Pasalnya ia berhak untuk bertanggung jawab atas setiap keputusan yang diambilnya.

Terakhir, untuk siapa pun. Terutama yang sedang mengalami pergulatan terkait eksistensi diri khususnya dalam menyusun skripsi. Pahamilah bahwa esensi manusia adalah akan selalu mengejar bayangannya. Apa yang hendak kita kejar pada dasarnya sudah diketahui hasilnya. Namun manusia memang harus senantiasa berbuat dan mengambil pilihan-pilihan itu meski sulit sekalipun, bukan?

Terakhir diperbarui pada 7 Maret 2019 oleh

Tags: Albert CasmuseksistensialisMahasiswamenyusun skripsi
Fachrial Kautsar

Fachrial Kautsar

Artikel Terkait

Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO
Liputan

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Penyesalan ikuti kata kating/senior kampus yang aktif organisasi mahasiswa. Ngopa-ngopi dan diskusi, lulus tak punya skill MOJOK.CO
Kampus

Muak sama Kating Kampus yang Suka Ajak Ngopa-ngopi, Cuma Bisa Omong Besar tapi Skill Kosong!

24 September 2025
beasiswa kuliah. MOJOK.CO
Ragam

Kuliah Modal Beasiswa, tapi Malah “Durhaka” ke Orang Tua: Dulu Dibanggakan, Kini Menyakitkan

17 September 2025
3 Keunggulan Tinggal di Kos Campur yang Jarang Disadari Banyak Orang Mojok.co
Pojokan

3 Keunggulan Tinggal di Kos Campur yang Jarang Disadari Banyak Orang

8 September 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
musik rock, jogjarockarta.MOJOK.CO

JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan

5 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Lagu Sendu yang Mengiringi Banjir Bandang Sumatera Barat MOJOK.CO

Lagu Sendu dari Tanah Minang: Hancurnya Jalan Lembah Anai dan Jembatan Kembar Menjadi Kehilangan Besar bagi Masyarakat Sumatera Barat

6 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.