Setiap 21 Juni diperingati sebagai haul Sukarno. Jasa-jasa besar Pak Karno dikenang. Proyek-proyek gagasan besar dan nasional yang dihelatnya dibaca ulang. Terutama dari 1945 hingga 1965. Di periode itu, ada proyek yang selesai, ada juga yang mangkrak.
Pancasila dan UUD 1945 dianggap selesai dengan melewati kerikil tajam. Ada pun Nasakom jelas proyek gagasan persatuan yang mangkrak bersamaan dengan hilangnya kekuasaan di tangan. Antara tahun 1966 hingga 1970 boleh dibilang proyek besar Sukarno sudah tak berjalan satu pun. Conefo macet. Ganefo mati suri. Pemberantasan buta huruf kembali ke titik nadir.
Bukannya Sukarno tak mampu menyelesaikannya, tetapi pendulum politik tak lagi ada di genggamannya. Dari seluruh tunakuasa itu, ada proyek besar yang betul-betul ingin diselesaikan Sukarno sebelum ajal menjemputnya. Itulah perdamaian dalam keluarga; persatuan dalam keluarga.
Nasakom sebagai pengejawantahan dari tafsir persatuan (politik) nasional boleh nyungsep, tapi tidak dengan persatuan keluarga. Terutama dalam rangka merukunkan istri-istrinya.
Untuk perkara poligami, Ustadz Arifin Ilham mungkin tersenyum-semringah saja seperti fotonya yang diapit dua istri cantik yang viral. Namun, tidak dengan AA Gym Pak Karno.
Sebagaimana rumitnya menjaga persatuan nasional, begitu pula Pak Karno mengalami kesulitan luar biasa dalam menjaga kerukunan antar istrinya. Serupa rangkaian peristiwa berdarah dan ledakan pembangkangan yang mengancam persatuan, pembangkangan para istri juga tampak mengikuti keluarga Pak Karno.
Tatkala Ibu Fatmawati hadir dalam romansa hidup Pak Karno, Ibu Inggit menyatakan makar dan melepaskan diri. Tatkala Ibu Hartini atau Ibu Tien berdiam dalam jiwa Pak Karno, Ibu Fat mengambil sikap keras bak karang dan memilih menjauh dari kehidupan istana. Lalu, tatkala Ibu Dewi atau Naoko Nemoto dari negeri Sakura merampas seluruh daya curahan hati Pak Karno, Ibu Tien dari Salatiga yang pintar menyembunyikan perasaan itu memulai front perang dingin yang tak berkesudahan.
Dalam soal keluarga ini, olok-olok Bung Hatta di tahun 30-an memang masih berlaku. Yang dilakukan Pak Karno menggabungkan Nasakom beberapa istri dalam satu naungan poligami itu bukan persatuan, tapi persatean.
Pak Karno barangkali memiliki daya pikat atas perempuan, tapi selalu gagal menyatukannya dalam satu bahtera kolektif.
Hubungan kasus Ibu Inggit dan Ibu Fat, Pak Karno jelas-jelas tak punya kuasa apa pun merujukannya. Pilihan Ibu Inggit serupa pilihan Timor Timur yang memilih merdeka dari Indonesia ketimbang makan hati. Sementara itu, hubungan Ibu Fat dan Ibu Tien juga sulit didamaikan. Apalagi, Ibu Fat membuat pernyataan terbuka meninggalkan segala kemewahan istana dan menanggalkan status first lady menuju pertapaannya dengan memboyong apa yang bisa dibawa. Hubungan itu menggantung, walaupun Ibu Fat masih dalam kerangka NKRI. Saya tak berani menyebut Ibu Fat seperti GAM yang butuh bencana akbar untuk sampai rekonsiliasi. Hebatnya, penolakan Ibu Fat dengan hati beku itu atas kehadiran Ibu Tien di istana pada 1954 itu sampai-sampai kekuasaan Sukarno yang tingginya nyaris absolut tak mampu menghangatkannya.
Saat kekuasaannya nyungsep dan tanda-tanda malaikat pembawa arwah mulai terasa di rumah penahanannya, Pak Karno belum menyerah untuk menyelesaikan proyek persatuan nasionalnya, paling tidak dalam lingkup keluarganya sendiri. Wabilkhusus lagi menengahi perang dingin antara Ibu Tien dan Ibu Dewi yang sudah terjadi sejak 1962.
Bagaimanapun, Pak Karno yang seorang The Great Lover merasakan betul aura janda lima anak sang clairvoyant femme fatale yang bersemayam dalam diri Ibu Tien. Walau janda, Ibu Tien memiliki pesona setara dengan gadis belia yang bisa mengimbangi Pak Karno.
Wajar kemudian pada 24 Mei 1965, Pak Karno menulis wasiat: “Kalau saja meninggal dunia, maka saja menghendaki, agar kelak isteri saja Hartini dikubur berdampingan dengan saja. Tempat kuburan bersama itu telah saja tentukan, jaitu di Kebun Raja Bogor dekat bekas kolam permandian jang membukit”.
Demikian pula Naoko Nemoto si gadis berkulit beludru dan membuai itu. Saking cintanya kepada si cantik Naoko, Pak Karno membikin testamen 6 Juni 1962: “Kalau aku mati, kuburlah aku dibawah pohon jang rindang. Aku mempunjai isteri yang aku tjintai dengan segenap jiwaku. Namanya Ratna Sari Dewi. Kalau ia meninggal, kuburkanlah ia dalam kuburku. Aku menghendaki ia selalu bersama aku”.
Perang dingin kedua juwita itu membuat Ibu Dewi bukan hanya memilih tinggal jauh dari istana, tapi lebih memilih tinggal di negara lain.
Namun, di luar Ibu Fat, kedua isterinya itu, yakni Ibu Tien dan Ibu Dewi, dalam benak Pak Karno, masih potensial maju ke meja perundingan tingkat tinggi.
Tersebutlah, pada 16 November 1968 atau 586 hari sebelum maut merenggut, Pak Karno dari rumah tahanan militer mengirimkan kawat 10 poin kepada Ibu Ratna di Portugal sebagai awal dimulainya perundingan tingkat tinggi. Begini bunyi memo yang ditulis tangan dalam bahasa Inggris dan disimpan rapi Haji Masagung dan diterbitkan menjadi buku Wasiat Bung Karno (1998):
Isteriku yang tercinta,
Apakah kau telah terima semua suratku?
Aku telah terima surat-suratmu, juga yang bersama foto dari Toledo, Portugal.
Sekarang aku menulis sepucuk surat yang serius; bacalah perlahan-lahan dan teliti.
- a) Aku telah membicarakan soal kita dengan Hartini, dan kami telah sepakat mengenai hal-hal berikut. Kami sepakat, bahwa kau kembali ke Jakarta permulaan tahun depan (tanggal dan bulannya akan ditentukan kelak), jika kau menyetujui syarat-syarat berikut:
1) Aku akan memperlakukan kau dan Hartini sebagai sesama, tidak ada yang didahulukan. Sama, sama, sama.
2) Hartini akan tinggal di Jakarta di sekitar Cikini.
3) Aku akan datang secara teratur padanya dan padamu, sehari di rumahnya, sehari di rumahmu. Atau dua hari di rumahnya, dua hari di rumahmu. Atau: tiga hari di rumahnya, tiga hari di rumahmu.
4) Kau boleh mengadakan resepsi sendiri, dia boleh mengadakan resepsinya.
5) Kalau aku mengadakan resepsi, aku mengundang kau dan dia bergiliran. Bahkan, aku tidak keberatan mengundang kalian berdua untuk resepsi apa pun yang aku adakan, terutama (tergantung pada keadaan) untuk resepsi yang lebih besar.
6) Dia dan kau harus bersahabat, maksudku jangan cekcok, jangan saling memaki-maki.
7) Dalam soal keuangan sama, satu sen pun tidak berbeda.
8) Untuk sementara dia tinggal di rumah sewaan, nanti dia membangun rumah di Cikini, tidak lebih besar dari Wisma Yasa.
9) Anak-anak harus sama, dengan hak-hak yang sama. Jadi tidak ada perbedaan antara Kartika dengan umpamanya Taufan dan Bayu. Semua anakku adalah anakku, tanpa perbedaan antara mereka.
10) Harta bendamu adalah harta bendamu, miliknya adalah miliknya.
Demikian syarat-syaratnya: agama Islam juga menghendaki demikian. Aku harap kau setuju.
- b) Soal-soal lain kita bicarakan di Jakarta. Aku harap kau bilang ya. Lalu aku akan tulis kau kelak kapan kau harus kembali.
Mari kita lupakan masa lalu, dan membangun hidup baru.
Dan, pada 21 Juni, di hari mangkatnya Pak Karno, Ibu Tien dan Ibu Dewi tampak selalu berdekatan, bercipika-cipiki satu dengan lainnya. Mereka pun satu mobil mengantar Pak Karno ke Bandara Halim Perdanakusuma. Ibu Inggit juga datang hampir tengah malam pada 21 Juni.
Hanya Ibu Fat yang tak tampak dan mengirim karangan bunga duka bertuliskan: “Tjintamu selalu menjiwai rakjat. Tjinta Fat”.
Di haul Bung Karno, mari panjatkan doa untuk usahanya yang gigih terwujudnya persatuan nasional; untuk bangsa, untuk keluarga, dengan satu motto: mari kita lupakan masa lalu. Mantap.