Mungkin tak banyak kantor yang mempunyai office boy (OB) dengan kemampuan komplit seperti OB di kantor saya. Namanya Poetra Siregar. Badannya tinggi. Gempal. Dari namanya, kelihatan kalau ia orang Batak.
Poetra masuk di kantor saya pada pertengahan bulan Maret. Ia adalah mantan sous chef di sebuah restoran terbesar di Sarawak, Malaysia. Jabatan sous chef ini sangat vital di dapur. Ia adalah asisten chef yang bertugas menangani segala pesanan. Mulai memasak. Menata hidangan. Hingga memastikan semua rasa sesuai standar restoran. Karena pengalaman kerja mentereng itu, Poetra diterima dengan senang hati. Keputusan itu tak salah.
Poetra memang lihai di dapur. Cekatan menggoyang wajan. Resep masakan, ia hafal di luar kepala. Kalau membuat mie instan, ia tak mau mengikuti cara standar. Ia akan mengolahnya lagi. Ditambah dengan aneka bawang-bawangan, cabai, ditambah ini dan itu.
“Ini mie goreng terenak yang pernah gue makan,” kata salah satu staf redaksi saat pertama kali mencicipi mie goreng buatan Poetra.
Tapi puncak popularitas Poetra adalah saat pemimpin redaksi kami berulang tahun. Dengan modal minimalis, ia bisa memasak mewah ala restoran untuk perayaan ulang tahun sang pemred. Mulai dari gulai kambing, aneka masakan sea food, sampai gurami asam manis. Luar biasa.
Selain punya kemampuan memasak, Poetra memang pekerja keras nan rajin. Ia, yang tinggal di kantor, selalu bangun subuh saat matahari bahkan belum muncul. Ia menyapu. Mengepel. Setelahnya, baru ia merokok dengan tenang sembari menunggu para karyawan datang.
Siang menjelang, Poetra rajin menanyakan orang-orang kantor: mau minum apa? Kalau ada keperluan kantor, ia bisa dengan cepat pergi dengan mobil. Maklum, selain pernah jadi asisten chef, Poetra juga pernah jadi supir di sebuah perusahaan.
Poetra juga rajin cuci piring. Nyaris tak pernah ada tumpukan piring atau gelas kotor. “Bedanya pas aku jadi asisten chef, selepas masak aku langsung naruh aja cucian. Ada yang nyuci. Kalau di sini, aku masak, ya aku juga yang nyuci,” katanya cengengesan suatu ketika.
Singkat kata, Poetra adalah asisten rumah tangga serba bisa. Dan tak semua kantor bisa seberuntung kantor kami.
Kantor istri saya, sebuah perusahaan IT di bilangan Kuningan, punya OB yang bisa dibilang pemalas. Kalau disuruh biasanya mukanya tertekuk. Tak ada inisiatif menanyakan mau minum apa. Selain itu, orang-orang di sana juga agak was-was menaruh barang di kantor.
Pasalnya, sudah beberapa kali kejadian barang hilang. Waktu bertanya pada OB, mereka dengan enteng menjawab, “Oh iya, itu saya bawa ke rumah. Besok deh saya bawakan.” Gawat benar kan?
Berbicara mengenai OB dan asisten rumah tangga, sebenarnya berbicara tentang hubungan yang saling membutuhkan. Siapa bilang hanya asisten rumah tangga yang membutuhkan majikan? Para keluarga itu juga membutuhkan asisten rumah tangga. Bahkan nyaris mengidap ketergantungan.
Tak percaya? Silakan tengok kala musim mudik lebaran. Keluarga yang punya asisten rumah tangga pasti kelimpungan karena asistennya pada pulang kampung. Aktivitas menguras tenaga macam cuci baju, piring dan gelas kotor; hingga menyapu dan mengepel, jadi harus dikerjakan sendiri.
Keluarga-keluarga dengan kemampuan ekonomi yang berlebih, bahkan lebih memilih untuk tinggal di hotel ketimbang hidup di rumah tanpa asisten rumah tangga.
Soal asisten rumah tangga, keluarga saya punya seorang asisten rumah tangga abadi. Namanya Mak Ri. Sudah bekerja di keluarga kami sejak tahun 1987. Nyaris 27 tahun. Mak Ri bisa apa saja. Memasak. Mengepel. Cuci piring. Hingga memarahi saya dan abang waktu kami nakal berlebih. Waktu itu, di perumahan kami, tak ada asisten rumah tangga yang berani memukul anak majikan. Kecuali Mak Ri.
Perempuan asal Pasuruan ini tak segan memukul saya dan abang dengan penebah alias sapu lidi. Apalagi sewaktu kami pulang ke rumah dengan rambut merah terpanggang matahari selepas berenang di sungai. Dengan Bahasa Madura, Mak Ri akan mengomel sembari mencubit betis saya dan abang. Kami hanya bisa mengaduh-aduh sembari cengengesan.
Ayah dan ibu saya memang memberikan privilese pada Mak Ri untuk ikut mengasuh kami. Termasuk all stage back pass untuk memarahi dan menjewer. Selepas saya dan abang beranjak remaja, Mak Ri, lebih memberi perhatian kepada kedua adik perempuan saya. Sampai sekarang, adik perempuan saya yang ketiga, umurnya 24 tahun dan sudah bekerja, tak mau punya kamar sendiri dan memilih untuk tidur dengan Mak Ri.
Meski seringkali marah, Mak Ri menyayangi kami semua seperti cucunya sendiri. Ia tak segan membela kami kalau ayah dan ibu marah. Atau mengelus kepala adik perempuan saya kala ia sedang sedih.
Sudah nyaris satu dekade Mak Ri tak mau menerima gaji. Pasalnya, ia menganggap kalau ia tak bekerja di rumah kami. Melainkan jadi bagian dari keluarga. Karena itu ia merasa tak perlu gaji. Mak Ri sekarang sudah tua. Sudah sakit-sakitan. Karena itu, ibu saya tak membolehkan Mak Ri bekerja. Tapi dasar keras kepala, tetap saja ia ngotot cuci piring dan menyapu.
Lebih dari seperempat abad ia tinggal di rumah keluarga kami, membuat ia tak mau pulang ke kampung halamannya. Lagipula, ia beralasan, kalau ia tak punya keluarga lagi di sana. Mak Ri memang pernah menikah, kemudian cerai, tanpa anak.
“Kalau aku mati, aku mau mati di sini saja,” katanya suatu ketika.
Mengenal Mak Ri selama puluhan tahun, saya belajar banyak darinya mengenai kesetiaan. Mak Ri memang tipikal asisten rumah tangga idaman semua orang. Tak berbilang orang yang merayunya, mengiminginya dengan gaji berlipat ganda untuk pindah dari rumah kami. Tapi Mak Ri bergeming. Baginya, keluarga kami adalah keluarganya juga. Dan sebuah keluarga tak selayaknya saling membalikkan punggung.
Karena itu pula, saya membayangkan akan tersedu-sedan saat Mak Ri menghembuskan nafas terakhirnya kelak. Sembari membayangkan betapa nakalnya saya semasa kanak-kanak, dan tersenyum kala mengingat Mak Ri mengomel dengan bahasa Madura karena saya dan abang mencuri pisaunya untuk mencuri tebu.
Ah saya jadi rindu Mak Ri. Sehat terus ya…[]