Derita Plat Nomor B, AA, AD, H, dan K yang Dibenci Pengendara

Sifat pengendara plat nomor B pasti akan ditolak di plat AD yang katanya pelan-pelan tapi suka menutup jalan. Sementara itu, yang plat K akan jadi bulan-bulanan di daerah plat nomor B yang ngebut banget.

Derita Plat Nomor B, AA, AD, H, dan K yang Dibenci Pengendara MOJOK.CO

Ilustrasi Derita Plat Nomor B, AA, AD, H, dan K yang Dibenci Pengendara. (Mojok.co/ega Fansuri)

MOJOK.COPemilik plat nomor kendaraan B, AA, AD, H, dan K selalu dijauhi. Mereka penguasa jagat raya, bersaing sama emak-emak naik matik.

Mari sama-sama jujur mengakui. Ketika ketemu istilah “plat nomor kendaraan”, ada sedikit ruang di dalam kepalamu yang memunculkan konsep arogan. Saya tidak tahu dari mana stereotype itu berasal. Namun, lama-lama kasihan juga kepada pemilik plat B, AA, AD, H, dan K. 

Tentu saja kasihan karena tidak semua orang dengan plat nomor di atas pasti arogan. Kita sama-sama tahu akan konsep sederhana itu. Sebagai contoh, adalah kakak sepupu saya sendiri yang lahir dan besar di Muntilan. Berarti, sejak anak-anak sampai dewasa, dia menyandang plat nomor AA, yang meliputi Magelang, Wonosobo, Purworejo, Kedu, Temanggung, dan Kebumen.

Selepas kuliah, selama beberapa tahun, bekerja di Bandung (plat D). Setelah itu, hingga saat ini, kakak sepupu saya ini menyandang salah satu plat nomor (yang dianggap) paling problematik di Indonesia, yaitu plat nomor B. Jadi kamu bisa membayangkan combo maut, perpaduan plat AA dan B. Pasti runyam itu jalanan.

Tapi nyatanya kok tidak. Kakak sepupu saya adalah salah satu pengendara mobil paling enak menurut saya. Pengalamannya cukup panjang, salah satunya membawa Suzuki Carry pick up dengan angka tahun 2005, kalau saya tidak salah. Sejak SMP, dia sudah ikut bapaknya, menjadi salah satu kurir yang mumpuni di lintas Sumatera-Jawa-Bali. Jangan ditanya apakah ketika SMP dia sudah di belakang setir atau belum karena itu pertanyaan bodoh.

Bapaknya sendiri adalah peminum yang tangguh. Namun, kalau sudah di belakang setir, entah bagaimana, mabuknya pasti hilang. Kebiasaan itu malah membuatnya sangat aware dengan kondisi jalanan. Sebuah kelebihan yang menurun kepada anaknya. Berkah dari orang tua yang menjadi segel arogansi dari kombinasi plat nomor AA dan B.

Lantas, kenapa plat B seperti menjadi musuh bersama di jalan raya?

Baca halaman selanjutnya….

Konon, semua berawal dari kebiasaan

Jujur, saya tidak menemukan catatan sejarah mengapa pengguna plat nomor B, AA, AD, H, dan K itu awalnya dibenci. Semua berawal dari katanya lalu dikomparasi dengan pengalaman empiris. Celakanya, ada saja bukti yang terang di depan kita sendiri. Ketika saya menyaksikan pengendara dengan plat nomor di atas berlagak sesuka hati dan mengganggu pengguna jalan lainnya.

Nah, dalam usaha pencarian itu, saya menemukan sebuah opini yang menarik di Quora. Akun dengan nama Dwi Budi Handoyo memberikan perspektif menarik tentang munculnya anggapan miring tersebut. Jadi, menurut Budi, ujung pangkal penyebab lahirnya pengemudi arogan dengan plat nomor B adalah kemacetan.

Tiga komponen yang sering melahirkan kemacetan di Jakarta (sebagai contoh) adalah; hari Jumat selepas gajian dan turun hujan, Senin pagi di mana terjadi perpaduan antara anak-anak masuk sekolah dan pegawai kantor ada rapat di awal hari, dan sedang ada galian pipa atau perbaikan jalan. Macet yang terlalu sering terjadi, melahirkan kebiasaan tertentu di dalam diri pengendara, khususnya mobil.

Kebiasaan plat nomor B yang muncul karena keresahan

Jadi, hati pengendara (khususnya mobil) dengan plat nomor B ini lama-lama rapuh juga ketika melihat pengendara lain tidak tertib. Budi sendiri, lewat penjelasannya di Quora, menyebutnya dengan istilah getas atau mudah pecah. Maksudnya, kesabaran para pengendara mudah pecah karena kemacetan yang semakin tidak manusiawi.

Kebiasaan plat nomor B yang lahir dari keresahan itu melahirkan beberapa perilaku yang kelak akan menjadikan pengendara arogan. Beberapa perilaku yang dimaksud adalah: 

  1. Pokoknya berhenti sedekat mungkin dengan kendaraan di depan.
  2. Jangan sampai memberi kesempatan kendaraan lain masuk ke depan.
  3. Kalau bisa masuk ke jalur yang lebih lancar, pokoknya cepat langsung lakukan.
  4. Sebiasa mungkin menyalip kendaraan di depan. Tidak peduli lewat jalur mana.
  5. Nyalakan lampu dim kalau kendaraan di depanmu terlihat ragu-ragu.
  6. Lampu hijau baru satu detik? Klakson! Jangan pernah ragu.

Apakah kebiasaan di atas itu terhitung valid untuk pengendara mobil plat B? Sebetulnya saya ingin bilang bahwa poin-poin di atas tidak valid karena belum ada studi secara ilmiah. Masalahnya, pendapat di atas itu bisa sangat valid jika menggunakan uji empiris. Misalnya saya sebagai “saksi dari pengamatan” beberapa kali melihatnya di kehidupan nyata. Dan, my friend, uji empiris itu terkadang lebih sahih ketimbang setumpuk teori di atas kertas.

Nah, pertanyaan selanjutnya adalah, jika plat nomor B menjadi pengendara arogan karena kemacetan, bagaimana dengan pengendara plat AA, AD, dan H? Yah, mau diakui atau tidak, meski memang sudah mirip dengan Jakarta, kemacetan di daerah seperti Magelang, Solo, atau Semarang itu terhitung level newbie, lah. Kecuali di daerah tertentu….

Lagi-lagi karena kebiasaan

Lantaran belum ada studi untuk mendukung klaim arogansi pengendara plat nomor tertentu, lagi-lagi saya menggunakan uji empiris sebagai dasarnya. Objek pengamatan saya adalah, siapa lagi kalau bukan kakak sepupu yang sementara ini mukim di Jakarta bersama istrinya.

Menurutnya, pengendara dengan plat nomor AA, AD, H (bisa jadi) disebabkan oleh sejarah jalanan yang biasanya lengang. Maksudnya, perkembangan kepadatan di daerah-daerah seperti Magelang, Semarang, Kedu, Salatiga, Kendal, Demak, Rembang, hingga Grobogan tentu tidak secepat Jakarta sebagai ibu kota.

Sebagai objek yang terbiasa menggunakan ruas jalan Muntilan, Magelang, Semarang, hingga Jogja, kakak saya terbiasa berkendara dengan cepat. Dia sudah tidak ingat kecepatan rata-rata ketika dulu naik motor PP Muntilan-Jogja untuk kuliah. Ruas jalan yang lebar sebelum masuk DIY menjadi salah satu sebabnya. Dulu, jalur Muntilan-Jogja via Turi itu lengang sekali, bahkan termasuk sepi di senja hari.

Begitu juga dengan ruas jalan Muntilan-Magelang-Semarang, hingga Rembang. Kepadatan jalan plat nomor AA, H, dan K di sana memang sudah termasuk padat. Namun, dulu, jauh lebih lengang. Dan, kebiasaan berkendara di jalan lengang dengan kecepatan tinggi itu terbawa dan diturunkan. Begitu teori kakak saya, yang mana saya sendiri sulit untuk mempercayainya 100%.

Stereotype yang melekat

Ada sebuah stereotype yang melekat kepada pengendara dengan plat nomor AA, B, H, AD, dan K. Adalah Rizky Prasetya yang mengungkapkan anggapan yang melekat ini. Begini kata-katanya di Mojok, biar saya kutipkan:

“Plat B itu adalah plat kendaraan daerah Bekasi, Depok, Tangerang, dan Jakarta. Pengendara plat B punya stereotip ugal-ugalan, ngebut, dan tidak sabaran di jalan. Plat AD itu adalah plat kendaraan daerah eks-Karesidenan Surakarta seperti Wonogiri, Klaten, Sukoharjo, Solo, Sragen, Karanganyar, dan Boyolali. Plat AD punya stereotip pelan, tidak punya beban hidup, dan suka nutup jalan.”

Lalu:

“Plat H adalah plat untuk daerah Semarang, Salatiga, Kendal, dan Demak. Stereotipe pengendara plat H mirip dengan plat B. Plat K adalah plat untuk kendaraan daerah Kudus, Pati, Jepara, Rembang, dan Grobogan. Bagi orang Semarang, stereotip plat K adalah mereka punya gaya berkendara yang aneh dan ngawur.”

Cap, atau kita menyebutnya dengan stereotype biar keren itu sangat menempel dan menjadi alat uji yang menarik. Jadi, kalau melihat penjelasan di atas, sifat pengendara plat nomor B pasti akan ditolak di plat AD yang katanya pelan-pelan tapi suka menutup jalan. Sementara itu, yang plat K akan jadi bulan-bulanan di daerah plat nomor B yang ngebut banget.

Intinya, kebiasaan manusia di suatu daerah, tidak boleh serta-merta copa-paste di daerah lain. Hmmm… apakah dari sana lalu lahir peribahasa yang langit dan bumi dipijak lalu dijunjung itu? Bisa jadi. Lho, ini saja belum ngomong soal kesantunan berkendara yang seharusnya mengikat semua plat nomor kendaraan, bukan?

Perdebatan yang tidak akan ada habisnya

Lantas, apa yang bisa kita simpulkan? Saya sendiri malah sudah meragukan sendiri hipotesis dan analisis di atas. Iya, saya malah jadi meragukan diri sendiri. Kenapa? Karena pada akhirnya akan kembali ke sebuah kesimpulan yang itu-itu saja dan sudah sama-sama kita ketahui, yaitu semua tergantung orangnya.

Kalau sudah begitu, ya percuma kamu membaca sampai bagian ini. Tapi makasih ya kamu masih setia membaca racauan ini. Gimana ya, yang daerahnya tidak disebutkan di atas, misalnya plat nomor AB, DK, atau BL ya sama-sama punya cadangan pengendara brengsek, kok.

Jadi, akhir kata, demi menutup analisis suram ini, izinkan saya menyimpulkan. Kombinasi antara ego dan kemampuan memiliki kendaraan menciptakan stereotype yang kini kita kenal. Ya, kan? Masuk akal, dong? 

Kalau egonya besar tapi nggak mampu beli motor atau mobil, ya bisanya cuma naik sepeda atau jalan kaki. Lantas, kalau jalan kaki, kamu mau arogan di jalur Pantura? Salip kanan, salip kiri?

Oh iya, ada yang namanya kendaraan umum. Ah, tapi saya rasa nggak perlu dibahas. Daerah mana, sih, yang kendaraan umumnya itu sempurna banget sampai-sampai warga nggak mau beli mobil karena sudah terlayani? Iya, ada, kok. Di Kuala Lumpur sana tapi. Indonesia? Bangun, oey! Turumu miring, rek!

Penulis: Moddie Alvianto W.

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Honda Supra X 125: Tetap Juara di Pelosok Indonesia dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version