MOJOK.CO – Trans7 “menyerang” Pesantren Lirboyo dengan framing busuk. Narasinya? Perbudakan! Pesantren seperti kamp perbudakan.
Ada siklus abadi di negeri ini yang lebih pasti dari pergantian musim. Instansi besar berulah, netizen marah dan bikin tagar, lalu instansi itu mengeluarkan surat permohonan maaf dengan kop surat kinclong dan tanda tangan basah. Selesai. Kopi diseduh lagi, cicilan dilanjut lagi, semua kembali normal. Sampai nanti ada yang berulah lagi. Begitu terus sampai Kiamat kurang dua hari.
Siklus inilah yang kembali kita saksikan saat Trans7, lewat programnya yang namanya terdengar sangar, Xpose Uncensored, menayangkan episode pada 13 Oktober lalu. Isinya? Oh, bukan main.
Mereka, dengan gagah berani, atau mungkin lebih tepatnya dengan keteledoran level dewa, mem-framing kehidupan di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Narasinya? Perbudakan!
Sampeyan tidak salah baca. Lirboyo, Bos! Salah satu episentrum peradaban Islam Nusantara yang usianya sudah seabad lebih, yang alumninya menyebar dari Sabang sampai Merauke jadi apa saja, tiba-tiba dicitrakan mirip kamp kerja paksa di film-film Hollywood.
Santri yang mengabdi di kediaman kiai, disamakan dengan budak yang tak punya pilihan. Sebuah kesimpulan yang tidak hanya dangkal, tapi juga semprulnya minta ampun.
Lirboyo diserang, publik meradang
Reaksi publik tentu saja meledak. Pihak Pondok Pesantren Lirboyo sendiri sampai perlu melayangkan surat teguran resmi. Belum lagi GP Ansor Jatim yang meradang dan KPID Jatim yang ikut turun tangan.
Tagar #BoikotTrans7 pun menggema di mana-mana. Sepertinya Trans7 salah pilih lawan. Lha wong tukang becak kok berani-beraninya nabrak kereta api.
Begini, saya yakin para kiai dengan kelapangan dadanya sangat mudah untuk memaafkan Trans7. Tapi para santri? Mereka tidak akan diam jika kiainya dilecehkan. Singkat cerita, gelombang protes inilah yang berujung pada apa yang sudah kita duga, yaitu surat permohonan maaf resmi dari PT Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh.
Suratnya, seperti yang bisa kita lihat, ditulis dengan bahasa yang sangat korporat, begitu formal, dan terlalu… template. Isinya mengakui “keteledoran” dan berjanji akan menjadikan ini “pembelajaran berharga”. Klasik.
Formula yang sama persis ketika ada produk yang salah komposisi atau ketika ada layanan pelanggan yang mengecewakan. Masalahnya, yang mereka serang ini bukan produk gagal, tapi Lirboyo, sebuah institusi peradaban yang marwahnya dibangun ratusan tahun.
Maka, pertanyaan besarnya adalah apakah maaf saja cukup? Jelas tidak.
Baca halaman selanjutnya: Dampak merusak dari framing busuk.
Dampak merusak dari framing busuk video pendek
Begini lho, kerusakan yang ditimbulkan oleh tayangan berdurasi sekian menit itu tidak serta-merta sembuh dengan selembar kertas berlogo Trans7. Jutaan pasang mata yang menonton acara itu, yang mungkin awam dengan dunia pesantren, sudah terlanjur menelan framing busuk tersebut.
Di benak mereka, citra Lirboyo dan “pesantren adalah tempat perbudakan terselubung” sudah tertanam. Butuh berapa puluh tahun untuk menetralisir racun pemikiran semacam itu? Surat maaf tidak punya daya magis untuk menghapus suudzon yang sudah kadung tersebar.
Apalagi jika permintaan maaf itu disampaikan dengan cara yang, yah, mari kita jujur, terasa seperti formalitas belaka. Kita sudah terlalu sering melihat permintaan maaf yang dibacakan dari teleprompter, dengan ekspresi datar dan intonasi yang diatur.
Permintaan maaf semacam itu tidak lahir dari penyesalan yang tulus. Ia lahir dari tekanan publik dan ketakutan akan anjloknya rating atau hengkangnya pengiklan. Itu bukan self-correction, itu damage control.
Pola yang berulang
Yang lebih menyebalkan adalah pola berulang ini. Media atau public figure bikin konten ngawur, menyinggung SARA atau merendahkan kelompok tertentu, lalu minta maaf, dan publik diharapkan melupakan segalanya.
Besok atau lusa, mereka akan melakukannya lagi dengan isu yang berbeda. Seolah-olah kata “maaf” adalah kartu bebas yang bisa dipakai kapan saja untuk menghapus dosa jurnalistik atau dosa kemanusiaan.
Framing kepada Lirboyo dan pesantren pada umumnya sebagai sarang perbudakan bukan sekadar keteledoran. Itu adalah buah dari kemalasan riset yang akut, digabung dengan arogansi untuk merasa paling tahu segalanya.
Mereka gagal total memahami konsep khidmah atau pengabdian santri kepada kiai. Padahal ini sebuah tradisi luhur yang didasari oleh cinta, penghormatan, dan keinginan untuk mendapatkan berkah ilmu. Tidak hanya di Lirboyo, tapi juga di semua pesantren.
Mengukurnya dengan kaca mata perburuhan modern adalah sebuah kekonyolan yang sama absurdnya dengan menilai resep rendang pakai standar gizi Eropa. Nggak nyambung sama sekali!
Media nasional sekelas second account IG
Ini semua bikin kita bertanya-tanya. Kode etik jurnalistik itu sebenarnya masih dipakai atau cuma jadi pajangan di dinding kantor redaksi yang merendahkan Lirboyo dan pesantren?
Sebab, kelakuan media nasional kok jadi mirip second account Instagram anak labil yang bebas ngebacot apa saja tanpa dipikir dampaknya. Pokoknya asal viral, asal jadi omongan. Soal akurasi, empati, dan tanggung jawab sosial kepada Lirboyo dan pesantren itu urusan belakangan.
Jadi, maaf kami tidak bisa memaafkan ini begitu saja. Surat dari Trans7 itu silakan diarsipkan. Tapi proses edukasi kepada tim mereka, dan mungkin kepada seluruh insan media di Indonesia, tentang bagaimana cara memandang dan meliput pesantren dengan adab dan ilmu, harus terus berjalan.
Sebab jika tidak, siklus “berulah, minta maaf, berulah lagi” ini akan terus terjadi. Dan kita, sebagai penonton, hanya akan terus-terusan mengelus dada sambil bergumam, “Ya Allah, gini amat ya cari rating.”
Penulis: Yusuf Fadlulloh
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Dari Sungkem hingga Minum Bekas Kiai, Dasar Etika Para Santri di Pondok Pesantren yang Belakangan Dicemooh dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.
