Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai

Terkutuklah Perempuan Minta Cerai karena Merasa Lebih Pintar dan Mandiri daripada Suami

Yona Primadesi oleh Yona Primadesi
26 November 2018
0
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Kemandirian jadi semacam dementor bagi para perempuan, apalagi kalau sampai perempuan minta cerai.

“Hanya perempuan terkutuklah yang memilih bercerai karena merasa lebih pintar dan lebih mandiri daripada suami.”

Kalimat semacam itu mampir ke telinga saya ketika mengikuti sebuah pengajian. Mungkin, itu jugalah sebab belakangan saya jarang lagi ikut acara sejenis: saya tidak mau dikutuk. Cukuplah Malin Kundang saja yang dikutuk ibunya karena perkara yang menurut saya tidak begitu krusial. Lagi pula, saya sedang berusaha menjauhkan stigma institusi pernikahan sebagai legitimasi kekuasaan dan objektivikasi laki-laki terhadap perempuan dari kepala saya.

“Hanya perempuan terkutuklah yang memilih bercerai karena merasa lebih pintar dan lebih mandiri daripada suami.”

Saya tidak yakin, ketika melontarkan kalimat itu, sang pengkhotbah tahu bahwa salah satu atau salah dua jemaahnya adalah perempuan yang bercerai. Saya juga tidak yakin bahwa sang pengkhotbah tahu bahwa salah satu alasan perempuan minta cerai adalah pemikiran semacam: “Jika saya akhirnya memutuskan dan melakukan segala hal sendiri, untuk apa saya harus diikat oleh pernikahan?”

Tapi perempuan itu mungkin juga lupa, dalam tataran sosial budaya masyarakat yang begitu mengagung-agungkan moral, perceraian menjadi semacam aib. Aib besar, bahkan, apalagi kalau kasusnya adalah perempuan minta cerai. Ditambah lagi, jika alasannya memberi kesan egois. Tapi sayangnya, kutukan-kutukan itu tidak akan berlaku sama dan dilontarkan oleh pengkhotbah jika yang memilih dan menggugat cerai adalah pihak suami (laki-laki).

“Terkutuklah laki-laki yang menceraikan istrinya hanya karena istrinya bisa cari uang sendiri, bisa urus anak, ditambah bisa ngurus mertua!” Percaya saja, kalimat itu tidak akan pernah muncul. Ujungnya, bisa jadi suami semacam mendapat visa sosial dan diberi keleluasaan untuk memilih perempuan lain sebagai istri muda. Lalu, banyak orang akan ambil suara, “Wow keren!!” untuk sang suami. Sementara itu, sang istri hadir sebagai sosok antagonis yang kemudian digunjing secara berjemaah, “Ya wajar saja suaminya minta cerai, istrinya nggak bisa ngurusin suami!”

Saat perempuan A memilih untuk melanjutkan pendidikan ke tingkatan yang lebih tinggi (dari suaminya), masyarakat akan mencibir dengan semana-mena, “Kok dia nggak menghargai suaminya banget, ya?”

Hadeeeeh, logika macam apa itu, sih, hingga penghargaan terhadap suami ditentukan oleh derajat pendidikan istri??? Apakah perempuan yang tingkat pendidikannya lebih rendah ketimbang suami sudah pasti lebih tahu cara menghargai suami??? Kalau iya, bisa dong jika ada yang menarik simpulan sederhana bahwa kebodohan adalah bentuk penghargaan terhadap laki-laki (suami)???

Tapi, Mbak, perempuan kan kalau sudah pintar suka nyeleneh. Suka ngangkangi suami!

Yaaa, tentu tidak menutup kemungkinan juga hal itu terjadi. Tapi, ketika sampai pada titik ini, mengapa masih perempuan saja yang selalu disalahkan? Lalu, laki-lakinya ke mana? Ngumpet di kamar mandi???

Saat perempuan B ngotot ingin melanjutkan pendidikan dengan konsekuensi membawa semua anak-anak mereka (entah dua, tiga, atau empat) ke kota yang berbeda dengan suami, desas-desus akan muncul. “Kok dia tega ninggalin suami sendirian? Kok anak-anaknya dibawa semua? Kasihan, kan, kalau suaminya kangen sama anak-anaknya?”

Duh. Helllaaaw, apakah ada yang ingat bahwa dia pergi untuk bersekolah (yang ujung-ujungnya bermanfaat secara ekonomi dan sosial bagi rumah tangga mereka) sekaligus mengasuh anak-anaknya? Perempuan itu mungkin saja tidak mempersoalkan betapa sibuk dan kacau-balau dunianya. Justru, yang ada dalam pikirannya, betapa repotnya sang suami jika anak-anak musti ditinggal. Tapi, nggak ngaruh tho semua pertimbangan itu? Tetap, yang dilakukan perempuan itu dianggap tidak sesuai dengan norma!

Lantas, ketika suami ketahuan berselingkuh dengan perempuan lain, tuduhan akan panjang seperti kereta api, semacam: “Iya, kasihan suaminya kesepian ditinggal anak dan istri. Pantas saja dia jadi selingkuh.”

Duh Gusti! Kok bisa-bisanya seseorang punya argumen yang korslet begitu? Kira-kira, jika istrinya yang selingkuh, bakal keluar komentar, “Mungkin dia lelah mengurusi anak dan tugas kuliah. Suaminya juga jarang berkunjung. Barangkali itu sekadar teman untuk berdiskusi dan bercerita,” gitu nggak?

O, ya jelas tidak! Buang jauh-jauh pemakluman semacam itu. Perempuan bukan berada dalam posisi yang bisa mengeluh, bisa mencari sandaran lain ketika sandaran kursi di rumah patah. Alih-alih, yang muncul adalah anggapan perempuan tersebut ganjen. Pantas suaminya ditinggal. Alasannya mau sekolah, padahal…

Perempuan masih saja berada dalam posisi yang mengenaskan ketika berurusan dengan institusi pernikahan. Jangankan perkara poligami, yang memiliki kecenderungan menempatkan perempuan sebagai bahan objektivikasi laki-laki saja masih banyak, kok. Lah wong urusan monogami saja sudah tidak adil sejak dalam pikiran. Sistem sosial budaya kita nyatanya sangat tidak berpihak pada perempuan.

Perempuan tidak pernah memiliki peran tunggal, terutama ketika sudah menikah. Ia harus bisa menjadi istri, menjadi ibu, sekaligus menjadi pekerja dalam satu waktu yang hanya berdurasi 24 jam sehari. Karenanya, perempuan harus bekerja cerdas dan berpikir keras. Perempuan dituntut untuk mandiri: ganti tabung gas, angkat galon, nyetir dan antar anak sekolah, menemani anak belajar, termasuk menangis sendiri ketika merasa lelah dengan semua tuntutan.

Tapi di satu sisi, kemandirian jadi semacam dementor bagi para perempuan. Dementor-dementor tersebut akan menelan mereka dari ‘kepatuhan’ mereka terhadap kehadiran sosok laki-laki (suami). Dan lagi-lagi, semata-mata itu dianggap sebagai kesalahan perempuan—bukan salah laki-laki, bukan salah sistem sosial dan budaya, terutama bukan kesalahan Tuhan. Mirisnya, kondisi ini justru dilanggengkan dan diagungkan oleh perempuan itu sendiri, disadari atau tidak. Salah satunya, ketika berghibah dengan sesama.

Pernikahan itu menyangkut kesepahaman, Saudara-saudara. Pun, termasuk  kesepahaman bagaimana sebuah rumah tangga musti berjalan. Ia bukan hanya perkara siapa yang pendidikannya lebih tinggi, siapa yang penghasilannya lebih besar, siapa yang musti jaga anak ketika yang satu bekerja, siapa yang harus masak, nyuci, atau beres-beres rumah ketika yang satu istirahat.  Jadi, kalimat semacam “Kamu tidak becus menjadi suami!” memiliki peluang yang sama besar dengan “Kamu tidak becus menjadi istri!”

Ngenesnya, itu semacam mantra terlarang, semacam kesadaran semua penyihir di dunia Harry Potter  tentang bahaya ketika mengucapkan nama Voldemort dan menggantinya dengan istilah ‘Kau-Tahu-Siapa’. Tabu.

Terakhir diperbarui pada 17 Desember 2019 oleh

Tags: istripendidikan lebih tinggi dari suamipengajianperceraianperempuan minta ceraiselingkuh
Iklan
Yona Primadesi

Yona Primadesi

Artikel Terkait

Tupperware.MOJOK.CO
Ragam

Krisis Tupperware Membuat Emak-emak Khawatir, Stok Botol Baru Masih Banyak di Gudang

10 Januari 2024
pilot selingkuh.MOJOK.CO
Ragam

Memilih Selingkuh dengan Orang yang Lebih “Jelek” dari Pasangan Aslinya, Penyebabnya Impulsif hingga Butuh Variasi

8 Januari 2024
Rindunya Laki-laki yang Ditinggal Pulang Sang Istri Terkasih MOJOK.CO
Kilas

Rindunya Laki-laki yang Ditinggal Pulang Sang Istri Terkasih

7 Januari 2024
Uneg-uneg dari Istri: Suamiku Tergila-gila dengan Game Online MOJOK.CO
Kilas

Uneg-uneg dari Istri: Suamiku Tergila-gila dengan Game Online

3 Januari 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bakmi Jawa di Jogja Tidak Semuanya Memuaskan, Wisatawan Sebaiknya Bisa Bedakan yang Enak dan Biasa Saja Agar Tidak Kecewa Mojok.co

Bakmi Jawa di Jogja Tidak Semuanya Memuaskan, Wisatawan Sebaiknya Bisa Bedakan yang Enak dan Biasa Saja

9 Juli 2025
Rosalia Indah PO Bus Penuh Drama, dari Maling sampai Kecoa (Unsplash)

Rosalia Indah, PO Bus yang Terlalu Penuh Masalah Membuat Penumpang Merasa Tidak Aman Apalagi Masalah Maling Hingga Kemunculan Kecoa

5 Juli 2025
pertama naik gunung Mebabu via thekelan, belajar dari youtube. MOJOK.CO

Nyaris Celaka Saat Pertama Kali Mendaki ke Merbabu, “Terjebak” Berjam-jam di Tengah Gunung karena Ikuti Tutorial Youtube

4 Juli 2025
Festival Literasi Jogja 2025 di Yogyakarta: Contoh kegiatan literasi yang mengajak masyarakat berpikir aras tinggi MOJOK.CO

Festival Literasi Jogja 2025 Ajak Masyarakat Berpikir Aras Tinggi di Tengah Tantangan Literasi Indonesia di Tingkat Dunia

9 Juli 2025
Alasan Orang Jogja Malas Kulineran ke Sate Ratu Mojok.co

Alasan Orang Jogja Malas Kulineran ke Sate Ratu

8 Juli 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.