MOJOK.CO – Katanya dunia akan mengalami resesi ekonomi pada 2020 akibat perang dagang AS-Tiongkok. Kalau betul itu terjadi, apakah Indonesia akan terdampak? Jika ya, apa yang harus dipersiapkan?
Beberapa ahli ekonomi mengatakan bahwa kita akan mengalami resesi ekonomi sebentar lagi, tepatnya di tahun 2020. Beberapa data mengungkapkan hal tersebut. Dikutip dari Detik, menurut survei global Union Bank of Switzerland (UBS) terhadap 360 perusahaan milik keluarga dengan kekayaan keluarga rata-rata US$ 1,2 miliar (Rp16,9 triliun). Hasilnya menunjukkan, 55% perusahaan milik keluarga percaya akan ada resesi pada 2020.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati pernah mengungkapkan melalui CNBC Indonesia bahwa, “Melemahnya pertumbuhan ekonomi dan perdagangan internasional dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir menjadi indikasi di tahun 2020 tren ini akan tetap berlanjut. Dan dikhawatirkan tahun depan resesi akan berdampak khususnya di negara-negara maju.”
Ngomongin soal resesi, lantas apa sebetulnya resesi ekonomi itu? Menurut National Bureau of Economic Research (NBER) yang dilansir dari CNBC Indonesia, resesi adalah periode menurunnya aktivitas ekonomi (jual-beli) yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan. Secara umum, resesi adalah kondisi pertumbuhan ekonomi yang menurun secara signifikan, setidaknya selama enam bulan.
Penurunan ini biasanya akan menyerang lima indikator ekonomi yaitu, PDB (Produk Domestik Bruto) riil, pendapatan, pekerjaan, manufaktur, dan penjualan ritel. Sinyal peringatan yang menandai resesi, yakni ketika ada beberapa pertumbuhan yang melambat, sekalipun angkanya masih positif.
Selain itu, yang menjadi tanda lainnya adalah malasnya para horang-horang kaya mengeluarkan uang guna berbelanja. Saking banyaknya uang yang selama ini mereka belanjakan, sekalinya mereka melakukan penghematan, efeknya mengenai seluruh faktor perekonomian dan menciptakan hambatan terhadap pertumbuhan, sekalipun konsumsi di kelas menengah ke bawah terus tumbuh.
Lantas, mengapa resesi disebut-sebut akan terjadi dalam waktu dekat? Dilansir dari podcast di Kumparan yang ngobrol dengan M. Chatib Basri, ekonom dan mantan menteri keuangan Indonesia, ia mengungkapkan bahwa resesi yang mulai dialami oleh negara-negara di dunia ini tidak terlepas dari perang dagang antara Amerika dan Tiongkok. Keduanya semakin kompetitif dalam persaingan ekspor.
Hal ini memanas ketika Amerika merasa Tiongkok mencuri kekayaan intelektual dan teknologi Amerika Serikat dan mempraktikkan perdagangan yang tidak fair (salah satunya dengan menurunkan nilai tukar [devaluasi] mata uangnya sendiri). Praktik-praktik tersebut membuat ekspor Tiongkok menguat dan menyaingi Amerika Serikat. Itulah yang membuat Presiden Trump memulai perang dagang per Maret 2018 dan semakin masif pada Agustus 2019, dengan menaikkan bea masuk dan menciptakan hambatan dagang bagi produk Tiongkok yang akan masuk Amerika.
Tindakan ini dibalas Tiongkok dengan menerapkan hambatan dagang serupa untuk barang Amerika Serikat yang akan masuk ke Tiongkok. Akibatnya, nilai ekspor kedua negara itu turun (bisa dicek di sini dan sini). Akibatnya, nilai perdagangan kedua negara itu turun. Komoditas yang terpengaruh adalah garmen, peralatan, dan barang elektronik (Tiongkok) serta kedelai, minyak mentah, dan produk farmasi (Amerika Serikat).
Hal ini berdampak pada ekonomi secara global karena nilai perdagangan kedua negara ini sangat besar. Sepanjang 2018 misalnya, pertukaran uang antara keduanya mencapai 660 miliar dolar AS (sekitar Rp8.400 triliun rupiah).
Sebetulnya dampak perang dagang kedua negara tersebut tidak sama untuk setiap negara lain. Hal ini bergantung pada seberapa erat hubungan negara tersebut dengan Amerika dan/atau Tiongkok. Selayaknya sebuah hubungan, kalau hubungan itu lekat dan akrab, tentu akan berdampak besar. Namun, jika tidak, pengaruhnya nggak akan besar-besar amat. Aktivitas manufaktur Jepang dan Korea Selatan yang menyuplai kebutuhan bahan baku untuk Tiongkok, misalnya, sangat terpengaruh.
Ilustrasinya begini. Katakanlah Tiongkok banyak mengekspor gorengan ke AS, yang mana tepung dan minyaknya disuplai dari Indonesia, maka ketika ekspor gorengan Tiongkok ke AS turun, angka pembelian tepung dan minyak Indonesia juga turun. Begitu juga sebaliknya.
Sedikit kabar baik buat Indonesia, kita tidak terlalu terpengaruh perang dagang AS-Tiongkok karena sektor yang terpukul adalah manufaktur, yang mana Indonesia lemah dalam hal ini. Komoditas Indonesia yang terpengaruh adalah kelapa sawit dan batubara yang biasanya diekspor ke Tiongkok.
Walau begitu, sebagai respons atas fenomena global ini, target pertumbuhan ekonomi Indonesia di semester II 2019 diturunkan dari 5,3% ke 5,2%. Dalam bahasa ekonom Raden Pardede, kita jangan panik dan jangan langsung belingsatan mendengar kata resesi ekonomi global.
Menurut Chatib Basri, pengaruh resesi kali ini ke Indonesia akan melalui tiga hal, yakni ekspor, investasi, dan daya beli. Sementara itu, nantinya hal yang akan paling dirasakan oleh individu adalah kehilangan pekerjaan, meski ya diprediksi nggak bakal terlalu signifikan juga, sih. Supaya kondisi ekonomi Indonesia tetap stabil, salah satu yang bisa diusahakan oleh pemerintah adalah dengan mengeluarkan kebijakan fiskal yang meningkatkan daya beli masyarakat menengah ke bawah.
Sebagai tambahan, pesan dari Sri Mulyani melalui CNBC Indonesia soal mempersiapkan situasi resesi tersebut, “Masyarakat juga harus aware dengan instrumen investasi, apakah dengan membeli bond (obligasi), saham, atau melalui tabungan.”
Ngomong-ngomong, Mojok merasa isu ini penting dibahas meski topiknya nggak Mojok banget. Jadi mohon maklum ya kalau tulisan ini malah kayak konten CNBC :’)
BACA JUGA Gimana Jelasin Ekonomi Keluarga ke Anak Waktu Kamu Jatuh Miskin atau artikel Audian Laili lainnya.