Penyanderaan di Papua: Bagaimana Media Melahirkan Bias

PAPUA_Penyanderaan_mojok

PAPUA_Penyanderaan_mojok

MOJOK.CO – “Peran media dalam membingkai drama penyanderaan di Papua.”

Ada kontak senjata antara tentara, polisi, dan gerilyawan di Papua. Lalu aparat mengklaim ada penyanderaan warga dan karyawan Freeport di Desa Banti, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua. Jumlah yang disandera fantastis: 1.300 orang. Bahkan ada klaim perkosaan.

Kira-kira butuh berapa personel dan pucuk senjata untuk menyandera orang sebanyak itu? Apa motifnya? Apa tuntutannya? Apakah logis, kontekstual, dan ada preseden historis gerilyawan menyandera (sesama) warga lokal di daerah terpencil yang biasanya justru menjadi basis logistik, rekrutmen, dan jalur komunikasi?

Penyanderaan massal bukan hal yang biasa, ini peristiwa luar biasa.

Tapi, media massa di Indonesia, seperti biasa, memilih cara termudah: mengutip keterangan polisi tanpa memeriksa latar belakang kejadian, profil lokasi, atau sumber-sumber lain yang berbeda dari aparat. Sejak kapan dalam jurnalisme, sumber resmi dianggap sama dengan kebenaran? Jika demikian, apa bedanya pers dengan puspen atau divisi humas?

Kisah kelompok bersenjata menyandera warga lokal bukannya tak pernah ada. Tapi, di sepanjang perbatasan Merauke dan Papua Nugini. Orang-orang Malind Deq di Distrik Muting mengisahkan, di masa-masa konflik setelah Reformasi, kelompok bersenjata mencuri bahan makanan dan bahkan (menurut kisah mereka) perempuan.

Apakah riwayat seperti ini ada di Banti atau Tembagapura? Dalam sejarahnya, warga Banti, terutama yang tinggal di Kampung Utikini (Lama), justru merasa diusir sejak penambangan oleh Freeport. Bukan oleh OPM.

Mereka dibuatkan perkampungan baru dengan kondisi yang tak seperti mereka bayangkan. Kampung ini lalu diberi nama Utikini Baru. Barangkali untuk mengingatkan kampung asal mereka.

“Kami diusir dari Banti, turun dari Tembagapura, di kampung Utikini Lama ke sini, tahu-tahu rumahnya begini…,” ujar Nua Magay yang pernah kami rekam di Alkinemokiye.

Jurnalisme harus sadar bahwa perang selalu jorok, terutama dalam hal propaganda. Kalau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM) saja sudah disebut dengan istilah “Kelompok Kriminal Bersenjata” (KKB), jangan harap yang menyebut demikian bisa fair dan akurat untuk hal lain. Itulah propaganda.

Jurnalisme tak harus latah, sebagaimana media tak mungkin mengutip gerilyawan yang, dalam kasus penyanderaan ini, menyebut TNI/Polri sebagai, misalnya, “Pasukan Indonesia Penjajah” (PIP) atau “Tentara Kolonial Jakarta” (TKJ).

Di masa konflik Aceh, TNI menyebut GAM sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Istilah ini dimakan mentah-mentah oleh media dengan semangat “jurnalisme NKRI Harga Mati”. Sementara para gerilyawan kadang menyebut “tentara Jawa” atau “Pa’i”.

Lagi pula, secara diplomatik istilah semacam GPK atau KKB bisa jadi bumerang jika kelak politik mengantarkan kedua belah pihak ke meja perundingan. NKRI yang agung akan duduk sejajar dan menandatangani dokumen bersama “Kelompok Kriminal Bersenjata” atau “Gerakan Pengacau Keamanan”. Atau jika ada yang merdeka seperti Timor Leste, maka presiden NKRI akan berfoto bersama presiden KKB atau GPK di forum APEC atau ASEAN.

Begitu?

Sebutan-sebutan seperti ini di lapangan rentan digunakan oleh para petualang dari pihak mana pun demi kepentingan propaganda dan saling mendiskreditkan.

Ini bukan praktik baru sebenarnya, dulu bersamaan dengan siaran langsung pidato Aburizal Bakrie di tvOne (5 Maret 2010), saya terlonjak membaca news ticker yang mengabarkan bahwa 1 anggota polisi telah gugur dalam penyerbuan di Aceh. Sementara untuk pihak yang lain, dalam liputan peristiwa yang sama, media ini menggunakan kata tewas (“14 tersangka teroris ditangkap, 1 tewas”).

Entah merujuk pada korban yang sama atau berbeda, media lain melaporkan bahwa yang tewas adalah warga sipil. Bahkan bila yang tewas itu benar-benar orang yang diduga teroris, pembedaan kosakata seperti ini mengingatkan saya pada kebodohan sejumlah media di masa pemberlakuan Darurat Militer di Aceh (2003—2005) yang menggunakan kata gugur untuk TNI dan tewas untuk gerilyawan GAM.

Gugur adalah kata dengan nilai rasa. Bila sebuah media menggunakan diksi seperti ini, dengan dalih bahwa kata inilah yang digunakan korpsnya (sebagai narasumber), pihak lain juga bisa menuntut perlakuan yang sama, misalnya dengan menggunakan kata syahid.

Dan saya berani bertaruh, tak ada satu pun media yang akan mengakomodasi permintaan narasumber yang korps atau kelompoknya meminta agar kematian anggotanya disebut sebagai syahid.

Jadi, mengapa Densus lebih istimewa?

Kalau ini menyangkut akses, maka inilah “jurnalisme transaksional” yang tak lain adalah contoh efek negatif dari embedded journalism. Lantas kalau sudah begini, masihkah kita dengan gagah menyebut diri sebagai media profesional yang mencap situs macam arrahmah.com sebagai media propaganda karena mereka menggunakan diksi syahid?

Liputan konflik itu liputan mahal. Kalau tak sanggup menurunkan jurnalis-jurnalis berintegritas ke lapangan, sebaiknya menahan diri untuk tidak memperkeruh keadaan, menjadi corong, dan memperburuk pertumpahan darah.

Kalau sudah sedemikian menggelora jiwa “nasionalisme” dan “cinta tanah air”, serta siap berkorban atau membunuh demi keutuhan perusahaan tambang multinasional NKRI, ya sebaiknya berhenti jadi wartawan atau pejabat media dan mendaftar sebagai relawan atau bergabung dengan milisi pro-NKRI.

Dulu saya pernah menulis, berhentilah mengira bahwa pertemuan para pemimpin redaksi media dengan Setya Novanto atau dengan para elite lainnya itu demi “keberimbangan” dalam jurnalistik.

Sebab, mereka tak pernah melakukannya pada narasumber, seperti buruh atau pensiunan Freeport, korban gusuran waduk Jatigede, Kampung Pulo, atau ibu-ibu petani Rembang yang sudah 520 hari tidur di tenda tapak pabrik semen.

Para pemred ini memang senang kongkow. Mencari penghiburan lewat bergaul dengan para elite dan teman sejawatnya agar nilai dirinya lebih tinggi dibanding wartawan biasa. Lupa soal jati diri sebagai jurnalis dan manusia.

Sebab, ketika berdiri sendiri di hadapan pemodal, sebagian mereka hanyalah pekerja yang kadung punya gaya hidup tinggi dan siap menukar prinsip “keberimbangan jurnalisme” dengan jabatan atau sumber nafkahnya.

Bukan apa-apa, puluhan tahun Aliansi Jurnalis Independen memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan koresponden atau kontributor, pada akhirnya mereka harus belajar kepada media yang kontributornya kerap naik Fortuner.

Exit mobile version