Pensiunan PNS: Dulu Disayang, Sekarang Malah Dianggap Beban Negara

Bicara soal dana pensiunan yang membengkak, dibanding menganggap pensiunan PNS sebagai beban, sebetulnya, ada opsi sederhana yang masih mungkin dilakukan.

Pensiunan PNS Dulu Disayang, Sekarang Malah Dianggap Beban Negara

Ilustrasi Pensiunan PNS Dulu Disayang, Sekarang Malah Dianggap Beban Negara. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSebetulnya, ada opsi sederhana yang masih mungkin dilakukan jika memang pensiunan PNS masih dianggap sebagai beban. Mari saya jelaskan. 

Belakangan, sebagai pekerja, saya semakin menyadari bahwa dunia kerja, tidak akan pernah luput dari drama. Banyak ragamnya. Mulai dari perselisihan karyawan, antara atasan dengan bawahan, bahkan selisih pendapat antara perusahaan dengan karyawan pun kerap sulit dihindari. Dinamika pekerjaan tersebut bisa ditemui di perusahaan mana saja, baik swasta maupun instansi pemerintahan.

Belum selesai persoalan tentang ageism di dunia kerja, di mana para pekerja yang sudah mencapai usia tertentu terkesan hanya dianggap sebagai objek, kali ini, melalui CNN Indonesia, tersiar kabar tentang pensiunan PNS yang menjadi beban negara hingga Rp2.929 triliun. Ingar-bingar yang tergolong luar biasa di area (pensiunan) PNS, tentu saja. Namun, tetap tidak bisa dianggap biasa saja. Lantaran, wacana akan hal ini seakan jalan di tempat.

FYI, ini bukan kali pertama para pensiunan PNS dianggap sebagai beban negara dengan persoalan yang serupa. Kalian bisa riset sederhana dengan cara mengetik, “Pensiunan PNS jadi beban negara” melalui mesin pencari Google. Bahkan, pada 2013 yang lalu, sudah ada wacana soal gaji dan tunjangan PNS jadi beban APBN.

Malang betul nasib para PNS atau bakal pensiunan PNS. Sudahlah selama bekerja dianggap kurang produktif oleh sebagian kalangan masyarakat. Ealah, sudah selesai mengabdi, malah dianggap sebagai beban. 

Disadari atau tidak, lagi, lagi, dan lagi, pensiunan atau kelompok pekerja di usia tertentu, hanya dianggap sebagai objek. Kali ini, diksi yang digunakan sadisnya nggak nanggung: beban. Hal ini, berkaitan dengan program yang harus dibayarkan kepada para pensiunan.

Berita ini, membikin linimasa Twitter gaduh akan ragam komentar yang sangat menarik. Ada logika yang perlu dicermati dari kata beban yang digembar-gemborkan.

Pertama, pekerja, dalam hal ini pensiunan PNS, sejak awal tentu mengikuti aturan yang dibuat oleh masing-masing instansi. Termasuk soal skema program pensiunan. Berapa persen yang disisihkan, berapa besarannya, sampai bagaimana tahapan pencairan/penerimaan pada saat pensiun. Sederhananya, yang membikin skema awal dan program pensiunan seperti apa siapa, lha kok yang dianggap beban siapa.

Kedua, kok bisa sih para pensiunan dianggap sebagai beban, padahal selama di usia produktif atau mengabdi, mereka sudah bekerja semampu, sebaik, atau semaksimal mungkin untuk negara? Saya pikir, para pekerja, apalagi pensiunan yang sebelumnya sudah mengabdi dengan durasi tertentu, tetap punya nilai sebagai aset. Dihargai sekalipun masa bakti sudah selesai.

Ketiga, pemotongan jaminan pensiun dari gaji tiap bulannya yang dikelola oleh TASPEN, tentu menjadi hak dari para pekerja sebagai bekal di hari tua. Diksi “beban”, tidak bisa tidak, berpotensi mengkhianati rasa cinta dan abdi para pensiunan PNS kepada negara, Bapak/Ibu Dewan yang terhormat.

Okelah, skema pay as you go yang selama ini diimplementasikan dirasa kurang efektif karena dianggap menguras dana APBN. Kemudian, melalui CNBC di tahun 2021, teknis fully funded juga belum bisa terealisasi karena pandemi keburu melanda. Sehingga, perubahan skema masih menjadi wacana. Namun, apapun itu, saya tetap tidak sepakat jika pensiunan PNS dianggap sebagai beban.

Mohon izin mengingatkan saja, Bapak/Ibu Dewan yang terhormat. Beberapa waktu yang lewat, tentu masih hangat dalam ingatan. Banyak peserta CPNS yang mengundurkan diri karena berbagai alasan. Berdasarkan catatan BKN (Badan Kepegawaian Negara), peserta CPNS tahun 2021 yang mundur per 26 Mei 2022 berjumlah 105 orang.

Maksud saya, di waktu mendatang, diksi pensiunan PNS menjadi beban negara, berpotensi membayangi para peserta CPNS atau PNS itu sendiri. Pada titik tertentu, bisa membikin mereka kehilangan motivasi untuk mendaftar CPNS atau menempati posisi tertentu di instansi pemerintahan di waktu mendatang.

Sebab, suka atau tidak, posisi para boomer, eh, maksud saya, para senior di pemerintahan, cepat atau lambat akan digantikan oleh generasi pekerja aktif di masa kini, kan? Iya, kan? Biar ada perubahan ke arah yang lebih baik dan nggak hanya MENGANDALKAN BLOKIR SECARA UGAL-UGALAN GITU.

Bicara soal dana pensiunan yang membengkak, dibanding menganggap pensiunan sebagai beban, sebetulnya, ada opsi sederhana yang masih mungkin dilakukan, jika memang pensiunan PNS masih dianggap sebagai beban. Lupakan ageism dan pekerjakan mereka yang masih kompeten di bidangnya masing-masing tanpa kepentingan tertentu. Sehingga, masa kerja akan lebih panjang dan efektif.

Itu juga kalau Bapak/Ibu Dewan yang terhormat mau coba menerapkan, sih. Selain itu, jika mau melakukan gambling kayak gitu, sosialisasi harus dilakukan secara bertahap, agar para pekerja atau PNS bisa lebih terbuka dan paham akan hal positif dan konsekuensi yang akan dialami. Biar evaluasi terhadap aturan yang kadung ditetapkan nggak nanggung. Juga, agar bisa ditinjau lebih jauh melalui sudut pandang yang sedikit berbeda.

Pasalnya, beberapa huru-hara di kalangan masyarakat sering terjadi akibat terlalu tergesa-gesa dalam menyampaikan informasi. Entah kurang jelas atau sosialisasi yang belum dilakukan secara efektif.

Opsi lainnya, barangkali bisa ditetapkan KPI (Key Performance Indicator) yang jelas bagi para PNS selama bekerja. Mirip-mirip seperti karyawan di perusahaan swasta gitu, lah. Ada target yang harus dicapai atau harus perform. Boleh jadi, hal ini akan mengganggu kenyamanan sebagian PNS. Namun, tentu akan menghasilkan output yang lebih baik, dibanding melabeli mereka sebagai beban negara saat menyandang status pensiunan PNS kelak.

KPI yang ditetapkan akan menentukan besaran bonus atau tunjangan kinerja tiap bulan atau per periode tertentu. Jelas saja, penilaian berdasarkan KPI akan lebih objektif. Anggaran yang digelontorkan pun akan menyesuaikan performa. Jika memang memungkinkan, pencapaian KPI selama bekerja juga bisa dijadikan salah satu referensi atau acuan besaran dana pensiunan yang kelak akan diterima. Ya, biar nggak membebani APBN banget seperti yang sudah-sudah gitu.

Bismillah, semoga pesan dan sedikit kritik saya melalui tulisan ini masih tergolong aman, karena ada solusi yang saya tawarkan, ya, Bapak/Ibu Dewan yang terhormat. Aamiin.

BACA JUGA Masih Ngebet Jadi PNS? Pikir-pikir Lagi dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Seto Wicaksono

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version