MOJOK.CO – Mahasiswa Universitas Sun Yat-Sen dari Indonesia ini menceritakan pengalaman jadi penerjemah Bu Risma, Wali Kota Surabaya, saat kunjungan ke Cina.
Kian menawannya Kota Surabaya dengan bunga Tabebuya yang pada awal musim penghujan ini bermekaran dan fotonya berseliweran di mana-mana itu, tak bisa dilepaskan dari tangan dingin kepemimpinan Wali Kotanya, Tri Rismaharini, atau biasa dikenal dengan Bu Risma. Sosok yang lebih banyak bekerja ketimbang beretorika.
Andai Bu Risma lebih sibuk merangkai kata ketimbang menata kota, mungkin yang ditanam bukan bunga-bunga, melainkan bunga-bungaan dari plastik atau eceng gondok—misalnya.
Betapa tidak? Konghucu dalam kitab klasik Lun Yu (Petuah Hikmah) menegaskan, orang yang “gesit kerjanya tapi hati-hati dan irit bicaranya” (min yu shi er shen yu yan), memang merupakan salah satu ciri khas pemimpin yang bakal membawa kemaslahatan bagi masyarakat dan daerah yang dipimpinnya.
Sebaliknya yang asal njeplak, hanya akan menimbulkan kemudaratan karena—kata filsuf besar Cina itu—sikap tersebut cenderung tidak mempunyai sikap “welas asih” (ren) terhadap rakyatnya.
Bu Risma, saya kira, masuk dalam kategori yang disebut pertama. Bukan apa, saya punya pengalaman sendiri saat menjadi interpreternya ketika beliau melakukan kunjungan kerja ke Xiamen, Cina, puluhan purnama silam.
Ceritanya begini.
Waktu itu Bu Risma dengan rombongannya tiba di Xiamen sekitar jam 7 malam. Saya beserta perwakilan Pemkot Xiamen menjemputnya di bandara untuk selanjutnya kami bawa ke penginapan.
Keesokan harinya, rombongan dibawa ke Pulau Gulangyu. Untuk ke sana, perjalanan harus menyeberang dengan kapal feri. Ketika tour guide membelikan tiket, Bu Risma menyempatkan diri untuk melihat-lihat kondisi sekitar. Foto-foto.
Namun, berbeda dengan pejabat pada umumnya, kamera digital yang dibawa Bu Risma bukan digunakan untuk selfie. Atau pamer sedang di Cina, Wali Kota Surabaya ini malah membidik selokan, drainase, dan pelbagai tanaman di pinggir jalan. Melihat hal itu, jelas saya jadi sungkan untuk mengajaknya foto-foto.
Saya tidak ikut ke pulau yang dulu merupakan pusat kantor-kantor konsulat jenderal negara luar untuk Xiamen itu. Hanya mengantar sampai rombongan masuk ke ruang tunggu untuk naik kapal –karena harus menyiapkan pertemuan dengan wali kota Xiamen.
Entah apa saja yang dilakukan Bu Risma selama di pulau tersebut. Tetapi, sangat mungkin tidak akan jauh berbeda dengan yang dilakukannya ketika di Museum Perencanaan Kota Xiamen dan taman Yuanboyuan. Dua tempat itu adalah destinasi Bu Risma setelah Pulau Gulangyu. Saya pun turut menemani. Menjadi penerjemah.
Di museum perencanaan, pemandu menjelaskan masterplan pembangunan kota: mulai dari sejarah Xiamen yang awalnya hanya desa pesisir kecil nan missqueen, kemudian didapuk sebagai distrik ekonomi khusus setelah Cina mengejawantahkan kebijakan Reformasi dan Keterbukaan sehabis wafatnya Mbah Mao.
Kota ini lalu mendapat penghargaan dari PBB sebagai Kota Layak Hidup, berhasil membangun terowongan bawah laut pertama di Cina pada 2010, dan berencana pada 2020 akan menyelesaikan pembangunan kereta bawah tanah, bandara baru, kota baru, pusat kapal pesiar, dan sebangsanya.
Terhadap apa yang disampaikan pemandu itu, Bu Risma tidak banyak berkomentar. Menyimak. Hanya sesekali saja bertanya. Pun demikian ketika di Taman Yuanboyuan, Bu Risma sangat jarang menimpali uraian dari kepala Dinas Lingkungan Xiamen yang memandunya langsung.
Saya jadi terbayang sosok Deng Xiaoping, si pelopor kebijakan Reformasi dan Keterbukaan yang berhasil menyulap Cina menjadi semaju sekarang.
Pada awal kebijakannya itu diberlakukan di tahun 1978, Deng melakukan kunjungan ke Jepang. Ketika naik Shinkansen, dia diberi penjelasan oleh pemerintah setempat perihal kecepatan kereta yang ditumpanginya. Deng hanya diam. Tidak berkata sepatah pun.
Dalam satu dialog di televisi, Bai Yansong—jurnalis kritis Cina—memberikan komentar untuk ini: “Deng Xiaoping barangkali sudah nge-fly memikirkan negaranya.”
Rupanya benar. Setelah penjelasan usai, Deng mendadak angkat bicara. “Kita (Cina) telah terlalu terbelakang. Sudah tidak bisa hanya dengan berjalan untuk mengejar ketertinggalan. Kita harus berlari!” tegasnya.
Dalam bayangan saya, Bu Risma yang sedang menyimak penjelasan soal Kota Xiamen, juga sedang melayang memikirkan masa depan Surabaya. Mungkin juga Indonesia secara luas laiknya Deng memikirkan masa depan Cina.
Dalam imajinasi saya Bu Risma berkata begini, “Surabaya tidak bisa hanya dengan berlari, apalagi berjalan. Kita harus terbang!”
Pertemuan dengan Wali Kota Xiamen dihelat pukul setengah tujuh malam, langsung setelah Bu Risma dari Taman Yuanboyuan. Beliau tidak sempat istirahat.
Sebelum pertemuan, Bu Risma minta air hangat untuk minum obat. Saya kemudian tahu dari dokter pribadinya bahwa kondisi Bu Risma memang sudah tidak fit sejak sebelum kunjungan ke Xiamen ini.
Liu Keqing, Wali Kota Xiamen saat itu, mengaku tahu betul sosok Bu Risma. Bahkan Liu dengan terbuka menyebut Bu Risma merupakan salah satu wali kota terbaik dunia. Liu memuji keberhasilan Bu Risma memimpin Surabaya.
Uniknya, waktu itu Bu Risma memberi jawaban kira-kira begini, “Keberhasilan yang didapat Surabaya tidak lepas dari peran serta masyarakat. Sebagai pemimpin, saya harus bertanggung jawab terhadap amanah yang diberikan rakyat kepada saya dengan bekerja untuk mereka sebaik-baiknya.”
Saat jamuan makan malam, Liu bertanya apakah semua wali kota di Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat. Bu Risma mengiyakan.
Liu lantas menanggapi, “Setahu saya, Bu Risma ke Xiamen pertama kali ketika masih menjabat sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Sekembalinya dari sini, langsung terpilih menjadi Wali Kota. Sekarang statusnya sebagai Wali Kota, sepertinya sepulangnya nanti akan langsung terpilih jadi Gubernur atau bahkan Presiden.”
Bu Risma cuma ketawa. Saya sih tidak berani menafsir apa-apa respons dari ucapan tersebut.
Yang pasti, bagi saya Bu Risma sudah mengamalkan apa yang diwanti-wantikan Konghucu buat para pemimpin dan mereka yang ingin menjadi pemimpin, seperti berikut ini:
“Duo wen que yi, shen yan qi yu, ze gua you. Duo jian que dai, shen xing qi yu, ze gua hui.”
Terjemahan ugal-ugalan kalimat yang juga saya comot dari Lun Yu itu kira-kira begini:
Perbanyaklah mendengar. Apa yang tidak kau ketahui dengan pasti, janganlah grusa-grusu kau sampaikan. Apa yang kau sudah benar-benar ketahui, sampaikanlah dengan hati-hati. Dengan begitu, kau tidak akan membuat banyak kesalahan.
Perbanyaklah melihat. Apa yang kau tidak ketahui dengan pasti, janganlah buru-buru kau kerjakan. Apa yang kau sudah benar-benar ketahui, kerjakanlah dengan hati-hati. Dengan begitu, kau tidak akan melakukan banyak penyesalan.
Duh, saya kok jadi teringat dengan hoax Ratna Sarumpaet dan gontok-gontokan klaim 8 sampai 11 juta umat yang ada di Indonesia ya?