MOJOK.CO – Di pengadilan akhirat, para kaum terpelajar bisa saja ditanya soal pembuatan skripsi hingga pemanfaatan ilmunya selama di dunia.
Ribuan, bahkan jutaan, orang berkumpul di sebuah aula sangat besar. Ada yang mengenakan toga, jas almamater, samir cum laude, sampai jubah profesor. Jauh di depan sana, tampak seberkas cahaya putih bersinar dari atas suatu singgasana.
Di tangan mereka tampak nomor antrean untuk masuk ke ruang pengadilan akhirat, tempat mereka akan mempertanggungjawaban kehidupan masa sebelumnya. Sembari menunggu panggilan, beberapa dari mereka sibuk mengoreksi tugas atau jurnal. Beberapa lainnya sibuk membagikan kuesioner penelitian.
“Dulu ngambil doktoral di mana, Pak?” tanya seorang pria kepada sosok di sampingnya.
“Saya dulu ambil di Amerika, Mas. Kebetulan dapat beasiswanya di sana, hehehe,” jawabnya sambil membenahi jubah.
Beberapa orang berkisah soal penyesalan mereka sebab belum sempat meneruskan S3 saat sangkakala ditiup beberapa waktu lalu. Seorang pria berkisah bagaimana ia baru saja hendak mengajukan renovasi ruang kerja senilai miliaran saat terompet itu ditiup. Sementara seorang wanita bercerita ia belum sempat mencairkan dana penelitian saat hari itu tiba.
Di sudut lain, seorang ibu berambut pendek termangu. Ia belum lama dilantik sebagai seorang doctor honoris causa. Belum sempat ia menikmati gelar itu, tiba-tiba ia sudah di sini, tempat yang ia duga sebagai akhirat ini.
Sialnya lagi, ia tidak paham pembicaraan orang-orang di aula itu. Penelitian, disertasi, data, ah itu semua jauh di luar kemampuan si ibu.
***
Pemandangan di atas tentu saja hanya imajinasi liar saya atas pengadilan akhirat. Mana mungkin di kehidupan setelah mati ada orang pakai toga, jubah, dan sempat membagikan kuesioner? Yang saya yakini, kehidupan setelah kematian adalah momen pertaruhan surga-neraka, apapun bentuknya.
Tentang akibat perbaikan baik-buruk dan segala hal pada seseorang selama di dunia. Termasuk, toga, almamater, ilmu pengetahuan, dan jubah profesor yang selama hidup di dunia dimiliki kaum terpelajar.
Saat orang-orang biasa hanya akan ditanya soal amal baik buruk lalu dapat buku rapor, kaum terpelajar ini mungkin akan menghadapi pengadilan khusus di akhirat. Mereka bisa saja ditanya soal pembuatan skripsi hingga disertasi, transparansi penggunaan dana beasiswa, dan penerapan ilmu semasa hidup.
Orang biasa bisa masuk neraka karena kebetulan timbangan dosa yang lebih berat. Sementara kelompok ini mungkin bisa gagal masuk surga hanya karena soal sepele. Misalnya, mereka dulu mengisi waktu selama KKN hanya dengan membuat papan nama, padahal si kepala desa meminta membuat inovasi sanitasi di masyarakat.
Jika saja boleh merumuskan, saya akan membagi tanggung atas ilmu di diri manusia menjadi dua jenis.
Pertama adalah tanggung jawab personal. Ini kaitannya dengan mencari kerja selepas lulus kuliah, membahagiakan orang tua atau pasangan, dan mencari nafkah lewat ilmu yang didapatkan.
Nomor dua adalah tanggung jawab keilmuan. Tentu saja ini berhubungan dengan bagaimana ilmu diterapkan dan digunakan. Apakah hanya untuk sekadar mencari uang, kekuasaan, dan jabatan, atau lebih dari itu.
Masalahnya adalah, pada masa sekarang ini, kebanyakan orang memutuskan meneruskan pendidikan tinggi bukan sekadar untuk demi ilmu lalu mengabdikannya. Saya mencoba berbaik sangka bahwa alasan itu memang ada namun entah berada di nomor berapa.
Sementara yang berada di urutan atas adalah perkara mudahnya mencari pekerjaan hingga kemapanan dalam hidup dengan gelar di belakang atau depan nama. Ini toh bukan sesuatu yang baru, semasa pergerakan nasional pun banyak sarjana lebih memilih bekerja sebagai ambtenaar Hindia Belanda daripada ikut berpikir caranya memerdekakan bangsanya.
Tidak sekali saja saya menemukan seorang anak orang kaya yang memilih mendaftar bidikmisi. Padahal, orang tua mereka amat sangat mampu membiayai sang anak kuliah. Tidak sekali pula saya menemukan para sarjana berburu beasiswa LPDP tingkat Strata 2 sekadar untuk bisa cari pekerjaan lebih mapan. Syukur-syukur bisa tinggal di luar negeri selepas lulus.
Padahal, penerima LPDP diharapkan bisa menggunakan ilmunya untuk membangun masyarakat selepas selesai studi. Atau, kisah para peneliti yang lebih tertarik karena urusan dana penelitian alih-alih menemukan inovasi bermanfaat? Itu juga saya sering menemukan.
Namun harus diakui, pada masa sekarang, membayangkan ada orang tua menyuruh anaknya menempuh pendidikan tinggi demi mengabdi dan menerapkan ilmu juga rasanya susah. Tapi, mengharapkan para sarjana, magister, dan doktor mau menerapkan ilmunya bagi masyarakat juga sesuatu yang tak kalah sulit.
Mahasiswa strata satu mungkin akan mengabdikannya lewat KKN yang paling lama hanya tiga bulan itu. Lalu para magister atau doktor mentok nantinya akan menerapkan lewat program pengabdian masyarakat setahun sekali. Selebihnya, ya sibuk bekerja seperti biasa demi bisa hidup. Mau apa lagi?
“Jika mereka yang telah merasakan pendidikan merasa dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk bergaul dengan mereka yang hanya bekerja di sawah dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka pendidikan itu lebih baik tidak diberikan sama sekali,” demikian kata Tan Malaka.
Dan kata-kata itu masihlah sangat relevan dan mudah dicari contohnya hingga kini. Memangnya berapa banyak mahasiswa pertanian yang bisa mencangkul di sawah dan mau jadi petani selepas lulus nanti? Ada sih. Tapi jumlahnya bisa dihitung jari.
Sayangnya lagi, dalam kondisi zaman serba-menyebalkan seperti sekarang, rakyat-rakyat kecil harus rela melihat kelakukan kaum terpelajar yang bikin lebih mengelus dada. Bukan menggunakan ilmunya untuk kemajuan bersama, rakyat kecil malah lebih sering melihat kaum terpelajar di layar kaca akibat kasus korupsi.
Atau, kisah soal gelar akademis yang diobral demi pelicin dan balas budi politik di suatu negara. Hingga, seperti gelar si ibu yang sudah di akhirat tadi, gelar doktor kehormatan yang mudah saja didapatkan.
Tentu saja, saya tiada pernah bermaksud mengatakan bahwa kaum terpelajar harus 100 persen mengabdi ke masyarakat. Orang tetap saja perlu menafkahi diri atau keluarga. Toh bekerja juga merupakan kewajiban supaya dapur terus mengepul.
Namun, menggunakan ilmu yang dimiliki sekadar demi urusan pribadi juga bukan sesuatu yang bijak, apalagi kalau hanya demi urusan politik. Ki Hadjar Dewantara barangkali bakal marah-marah jika tahu hal ini.
Di luar sana, andaikan mereka mau membagikan ilmunya, mungkin akan ada banyak orang yang sangat terbantu. Saat sarjana pertanian membagikan ilmunya, petani mungkin jadi tahu cara bertani yang lebih maju. Atau, saat magister bisnis mau membagikan ilmunya ke para pelaku UMKM, mungkin mereka akan punya ilmu baru berkaitan dengan pengelolaan usaha.
Namun, urusan pengabdian masyarakat tidaklah “kekinian” jika dilakukan para terpelajar setelah lulus. Wajarnya ya selepas lulus itu mencari kerja, syukur-syukur gajinya banyak, jika sudah mapan ya menikah, punya anak, lantas menjalani hidup dengan bahagia sehat sentosa, sebelum kelak mati dan masuk surga.
Jika memikirkan soal pengabdian masyarakat, ketika reunian pasti akan dianggap orang aneh dan sok idealis hingga tidak diajak bercerita pencapaian soal gaji, pangkat, hingga mobil yang dimiliki. “Dia SJW,” mungkin begitu ujar temannya.
Dan kaum terpelajar dengan aneka gelar di namanya itu agaknya lupa, sebuah aula besar menanti mereka suatu hari nanti.
***
“Kamu pernah kuliah jurusan administrasi bisnis, ilmumu sudah pernah dipakai buat apa selama hidup?” tanya cahaya putih tadi pada seorang pria yang masih celingak-celinguk mencoba mengenali apakah ia sekarang di akhirat atau ini semua sekadar mimpi.
Yang ditanya bingung, semasa hidupnya ia adalah menteri sosial yang menghabiskan banyak waktu di ibukota, itu pun tidak sampai selesai karena terjerat kasus korupsi bantuan sosial. Belum selesai ia bingung, tahu-tahu ia sudah diseret dari pengadilan akhirat ke neraka.
Lain waktu, cahaya putih itu menanyai seorang pria berkacamata, “Kamu ini sarjana keguruan? Kok dulu nggak mau ngajar? Apa maumu?”
“Mohon ampun, Yang Mulia, gaji guru di negara hamba kecil, itu pun masih sering dikorupsi, mau ikut PPPK saja saingannya banyak sekali,” dan cahaya putih itu tertawa mendengar kisah lanjutan si guru yang dipecat hanya karena menolak berbuat curang.
Tanpa banyak pertimbangan, cahaya putih itu lantas mencentang kolom persetujuan masuk surga untuk pria itu.
“Hmm… doctor honoris causa nih, kamu sudah ngapain selama hidup? Ilmu kamu pakai buat apa?” tanya cahaya putih itu pada seorang ibu yang tadi kebingungan.
“Mohon maaf, Yang Mulia, saya hanya dikasih gelar itu. Tapi kata para penasihat saya dulu pemberian gelar itu sudah sesuai dengan ketentuan kok.”
Dan Haji Saleh, seorang kiai penghuni neraka ciptaan A.A. Navis dalam Robohnya Surau Kami, tertawa mendengar jawaban si ibu.
“Sudahlah, Bu, jangan risau, besok kita protes ke Tuhan, tidak sepantasnya kita diadili seperti ini,” cetus sang kiai sambil menepuk-nepuk bahu ibu tua berambut cepak itu.
BACA JUGA Seperti Orang Yahudi, Kita Juga Suka Bikin Perhitungan dengan Tuhan dan tulisan Syaeful Cahyadi lainnya.