Pencopotan Dandim Kendari karena Ulah Istri: Peran Istri pada Jatuh Bangun Karier Perwira

dandim kendari istri facebook penusukan wiranto tni ad

dandim kendari istri facebook penusukan wiranto tni ad

MOJOK.COOrang sipil mungkin menganggap, kok lebay amat postingan FB istri bisa bikin Dandim Kendari dicopot dari jabatan yang baru ia pegang selama 52 hari. Nyatanya, di kalangan TNI hal itu bukan hal aneh.

Insiden penusukan Menkopolhukam Wiranto di Pandeglang, Banten pada Kamis lalu (10/10) lalu memunculkan respons beragam dari warganet, salah satunya dari istri seorang perwira bernama Kolonel Kav Hendi Suhendi (lulusan Akmil 1993). Gegara posting istrinya, Kolonel Hendi harus rela melepas jabatannya selaku Komandan Distrik Militer (Dandim) Kendari. Upacara pelepasan jabatan dan serah terima jabatan (sertijab) sudah dilaksanakan pada Sabtu (12/10).

Ulah istri Kolonel Hendi menjadi berita besar karena langsung direspons oleh orang nomor satu di Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa. Andika sendiri yang mengumumkan soal tindakan atau sanksi terhadap Dandim Kendari itu. Tentu saja ini sebuah mimpi buruk. Rasanya prospek karier Kolonel Hendi di masa depan telah menjadi suram.

Di lingkungan TNI, istri masuk dalam struktur kelembagaan, bukan sekadar urusan privat. Seorang istri tentara, semisal dari Angkatan Darat, secara otomatis akan masuk organisasi Persit (Persatuan Istri Tentara) Kartika Chandra Kirana. Proses administratifnya sudah dimulai sejak sebelum menikah. Sebab itu, sejak sebelum menikah, seorang anggota TNI harus memperkenalkan calon istri kepada atasannya. Biasanya atasan yang merupakan perwira yang berdinas di bidang personalia, bisa itu Kepala Seksi Personalia (Kasipers) bila satuannya setingkat brigade atau korem, atau Asisten Personalia (Aspers) bila si anggota TNI berada di tingkat divisi infanteri atau Komando Daerah Militer (Kodam). Dan pelaporan itu bersifat hierarki dan berjenjang.

Umumnya perwira lulusan Akademi Militer (Akmil) akan menikah ketika pangkatnya masih letnan satu. Bila begitu, dia harus melapor pada Kasipers yang umumnya berpangkat mayor atau letnan kolonel. Artinya, pangkat si yang menerima laporan lebih tinggi dari pangkat perwira yang akan menikah. Bila yang akan menikah seorang perwira tinggi (pati)–meski ini jarang terjadi–berarti dia harus melapor dulu pada Aspers KSAD atau Aspers Panglima TNI.

Narasi di atas adalah penggambaran bagaimana privasi seorang istri tentara tidak seleluasa istri warga sipil biasa. Bila sudah menikah dan kemudian tidak aktif dalam kegiatan Persit, pasutri yang bersangkutan akan jadi bahan pergunjingan dan itu sangat berpengaruh pada karier suami.

Begitulah, tindak tanduk istri seorang perwira sangat memengaruhi karier suami, entah bisa memuluskan, atau bisa juga sebaliknya. Kasus yang terjadi pada istri (mantan) Dandim Kendari, termasuk alamat yang kurang baik pada karier suami. Publik belum tahu secara persis bagaimana postingan media sosial yang berdampak pada karier suaminya tersebut bisa lolos terunggah. Apakah si istri izin dulu pada suaminya? Masih belum jelas.

Demikian juga sebaliknya. Komunitas TNI tidak pernah kekurangan contoh bagaimana istri sangat berperan memuluskan karier suaminya, bahkan ketika mereka masih berstatus pengantin baru. Sebenarnya ada banyak contoh, namun saya hanya mengajukan tiga contoh secara acak, yakni Prabowo Subianto, Ryamizard Ryacudu, dan Andika Perkasa.

Ketiga perwira tinggi tersebut, ketika baru berencana menikah saja, sudah langsung direspons oleh media dan publik bahwa karier mereka akan melesat kelak. Tentu saja karena mereka menikah dengan putri orang besar yang kebetulan jenderal juga. Masyarakat kita cenderung permisif terhadap karier anak atau menantu orang besar. Dengan kata lain, nepotisme di negeri kita memperoleh wadah yang nyaman.

Pengalaman menarik juga terjadi pada Letjen (Purn) Sarwo Edhi Wibowo yang memiliki tiga menantu perwira, masing-masing adalah Hadi Utomo (Akmil 1970), Susilo Bambang Yudhoyono (Akmil 1973), dan Erwin Sujono (Akmil 1975). Dari ketiga menantu tersebut, Hadi Utomo termasuk kurang beruntung, apalagi bila diukur dengan latar belakangnya sebagai menantu jenderal legendaris. Hadi pensiun dalam pangkat kolonel, dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Satpol PP Pemprov DKI Jaya pada pertengahan 1990-an.

Di kalangan perwira ada kata-kata penghiburan yang disebut “garis tangan”, bahwa karier seorang perwira, selain prestasi dan performa, juga ditentukan oleh nasib baik. Oleh karena itu, banyak perwira (muda), supaya bisa dekat-dekat dengan nasib baik, berusaha menikahi putri jenderal atau orang besar lainnya di negeri ini. Seperti bunyi nasihat lama, yang penting kita usaha dulu.

Ralat: Artikel ini mula-mula tayang dengan judul “Pemecatan Dandim Kendari karena Ulah Istri: Peran Istri pada Jatuh Bangun Karier Perwira”. Yang benar, Kolonel Hendi Suhendi dicopot dari jabatannya sebagai dandim namun masih berstatus anggota TNI. Dengan demikian judul kami koreksi mejadi “Pencopotan Dandim Kendari karena Ulah Istri: Peran Istri pada Jatuh Bangun Karier Perwira”. Atas kesalahan penyebutan tersebut, Redaksi Mojok.co mohon maaf.

BACA JUGA Beberapa Jenis Hukuman yang Bisa Dilakukan Tentara Tanpa Harus Menggampar Sipil atau artikel Aris Santoso lainnya.

Exit mobile version