MOJOK.CO – Apa yang bisa kamu lakukan kalau cara PDKT gebetan dibatasi 160 karakter SMS dengan tarif 350 rupiah per pengiriman? Sulit, Bambang. Sulit.
Generasi milenial identik dengan perubahan.
Di birokrasi, banyak pemimpin menaruh perhatian pada generasi milenial. Ada anggapan bahwa generasi ini punya kemampuan lebih, meskipun pada saat yang sama punya kelakuan yang lebih. Iya, lebih. Lebih menyebalkan karena selalu ingin gaji lebih tinggi, tepatnya.
Salah satu yang menarik dari nasib generasi milenial adalah nasib ketika menjadi saksi pada derasnya perubahan teknologi dalam 20 tahun belakangan. Para milenial menjadi saksi betapa jenis telepon genggam berubah begitu cepat dari ukuran “mbalang kirik” maupun “ganjal pintu” hingga yang sekarang layar sentuh dan tidak lama lagi akan bisa dilipat layarnya.
Perubahan bentuk seiring dengan perubahan teknologi dan kok ya kebetulan sekali bahwa yang berubah itu sangat berkorelasi dengan pembangunan hubungan berkasih-kasihan alias PDKT.
Semakin tua Indonesia, semakin canggih teknologi, metode PDKT sejatinya menjadi semakin mudah. Masalahnya, pelaku PDKT zaman sekarang malah jadi makin cupu.
Ini jelas tak sama dengan era telepon genggam awal eksis di Indonesia. Dengan teknologi terbatas, PDKT merupakan pekerjaan yang tingkat kesulitannya sama kayak game Flappy Bird.
Pertama-tama, tarif telepon pada periode awal itu mahalnya ngaudubillah setan. Belum semua bebas roaming pula. Mau angkat telepon saja takut malah mbayar. Jadi, kalau pun sudah memperoleh nomor ponsel target, paling mentok hanya disimpan.
Mau pakai pesan teks? Oh, tidak semudah itu, Bambang~
Begini, sebagai gambaran pada saat itu kiriman saya sebulan hanya 300 ribu rupiah dengan tarif SMS sekali kirim adalah 350 rupiah.
Jadi, tanpa makan, tanpa jajan, tanpa ngisi angin sepeda, saya hanya bisa SMS-an 857 kali. Itu setara 28 SMS sehari. Belum lagi, jumlah karakter dalam 1 kali pengiriman pesan hanya 160 karakter.
Jumlah 160 karakter itu jika mau dijelaskan dengan agak ringkas hanyalah sepanjang tulisan pada kalimat ini, sudah termasuk tanda koma, spasi, dan juga titiknya.
Di era WhatsApp, 28 kali chat itu dapat dilakukan dalam waktu semenit saja. Itungannya hampir gratis pula. Asli, enak pakai banget.
Sekali kirim SMS saja sudah terbatas muatannya, harganya pun tidak murah karena sepuluh SMS setara sepiring nasi berlauk tempe dengan kuah banyak.
Sudah begitu, kemungkinan untuk dibalas juga 50:50. Soalnya, yang mau balas kan juga harus sudi pulsanya terpotong 350 perak. Ketika itu, SMS basa-basi-busuk berbau test the water seperti “Hai” merupakan hal terbodoh sekaligus terboros dalam dunia PDKT.
Saat sekolah atau kuliah pun, informasi mengalir via jaringan komunikasi alias ketua kelas akan mengirimkan update informasi via SMS ke satu orang dan akan diteruskan ke satu orang lainnya sampai kemudian ketua kelas harus memperoleh lagi pesan yang sama untuk memastikan bahwa informasi telah diterima seluruh anggota kelas.
PDKT pada periode itu akan lebih pada obrolan teknis jelang tatap muka, seperti lokasi janjian atau jam untuk bertemu. Betul-betul minim omong kosong karena tingginya biaya.
Artinya: Action! Action! Action!
Hanya 1-2 tahun berlalu sebelum kemudian terjadi perubahan besar harga pesan teks. Generasi menjelang tua pasti ingat benar bahwa sekitar tahun 2004, provider XL meluncurkan produk “Jempol” yang harga SMS ke sesama “Jempol”-nya lebih murah. Dari Telkomsel lantas meluncurkan Kartu As untuk ceruk yang mirip. Alias sama-sama kere.
Pada momen ini, ganti-ganti nomor HP menjadi hal wajar. Saya dengan nomor Simpati, ketika yang mau didekati nomornya XL, maka saya akan punya nomor Jempol. Nomor lama tidak dipensiunkan karena sayang dengan harga belinya yang ratusan ribu.
Hal ini setidak-tidaknya selain mengurangi biaya untuk sesuatu yang belum pasti diperoleh (baca: pacar), juga untuk menambah kemungkinan SMS akan dibalas. Karena kalau XL mau balas ke Simpati butuh uang 350 perak itu tadi.
Yah, setidaknya kalau tarifnya 99 rupiah saja (karena kesamaan provider), kemungkinan ada interaksi jadi lebih tinggi meskipun ya belum pasti jadian juga.
Jika kemudian sukses jadian, yang terjadi adalah para oknum yang berpacar-pacaran itu bersama-sama mengganti nomor HP agar providernya sama dan yang sering betul adalah nomornya berurut-urutan di dua digit terakhir.
Entah itu cowoknya 87, ceweknya 88. Yang jelas, kala itu, ketika generasi milenial paling awal masih pada cupu-cupu, perbedaan angka 01 atau 02 belum jadi problematika yang bisa bikin bunuh-bunuhan.
Nah, begitu putus, banyak juga yang kemudian balik kandang lagi ke provider utama, alias nomor lama.
Ada kasus teman saya yang jauh-jauh dari Paingan, Maguwoharjo, Depok, Sleman ke Waduk Sermo di Kulonprogo yang kala itu belum cukup ngehits karena Instagram belum ada, cuma buat melarung SIM-card mantan. Untung saat itu belum ada sweeping-sweeping ormas. Bisa dituduh aliran sesat itu teman saya. Melarung hasil bumi aja bisa jadi masalah,
Ketika memasuki periode pertengahan jabatan SBY-JK, harga SMS semakin turun. Yang tadinya 99 rupiah bisa jadi 45 rupiah, bahkan ada yang hingga 1 rupiah atau kirim sekian, bonus sekian.
Walhasil, saya bisa lebih enteng mengeluarkan uang untuk menyebar SMS sembari mencari jodoh. Salah satu kisahnya adalah ketika saya menjabat Steering Committee pada sebuah kepanitiaan pengenalan kampus.
Berbekal list nomor HP yang peroleh dari berbagai sumber, saya dengan jabatan keorganisasian level tinggi itu mengirim SMS sok-sokan memberi semangat kepada panitia-panitia level pelaksana yang semuanya adalah cewek (HAHAHA~) dengan angkatan 2-3 tahun di bawah saya.
Nah, ketika ada yang membalas pesan itu entah karena harga SMS murah atau segan sama kakak kelas maka itulah tanda-tanda seorang target bisa diseriusi.
Lumayan, bisa dapat calon pacar dengan metode demikian.
Satu lagi yang agak menegangkan sekaligus menenangkan dalam PDKT era SMS adalah tidak adanya fitur R di BBM atau centang biru di WhatsApp maupun seen di DM Instagram.
Biasanya, sesudah pesan dikirim, deg-degannya sekaligus pasrahnya agak lama. Sedikit-sedikit melihat ponsel, padahal tidak ada pesan. Lagipula ponsel zaman segitu aktivitas tambahannya hanyalah main Snake dan bikin nada dering sesuai panduan majalah musik.
Adapun yang mengesalkan adalah minimnya kapasitas penyimpanan SMS baik di kartu maupun di gawai. Hal itu menyebabkan pesan-pesan penting dari gebetan mau tidak mau harus dihapus demi memberi ruang pada pesan baru yang akan masuk.
Kalau tidak, ikon amplop akan berkedip-kedip terus, pun kita juga tidak akan bisa menerima SMS baru.
Seleksi pesan untuk dihapus ini yang menarik. Akan ada momen membuka pesan satu per satu dan melakukan analisis risiko maupun SWOT untuk memberi status pada suatu pesan layak hapus atau belum.
Biasanya yang paling romantis akan ditinggal di memori. Seleksi semacam ini adalah wujud konmari dalam hal data. Data yang betul-betul genting dan penting saja yang bisa disimpan. Lainnya buang.
Sementara sekarang mau SMS penipuan pun tetap disimpan karena dampaknya tidak signifikan pada memori. Soalnya, yang menuh-menuhin memori adalah share gambar copras-capres nan menjemukan itu. Selain bokep, tentu saja.
Tidak ada fasilitasi penyimpanan yang luas apalagi backup layaknya WhatsApp membuat saya bahkan pernah punya buku untuk menyalin konten SMS yang penting seperti ancer-ancer rumah gebetan, saking tidak muatnya memori ponsel ketika itu.
Ya, sesimpel itu. Tidak ada kirim-kiriman foto maupun voice note. Boro-boro mau pap, apalagi kirim video. Kirim video saja tidak bisa, apalagi video porno.
Sungguh, pada masa-masa itu, hidup cukup sederhana. Tidak ada kegalauan tidak penting hanya karena gebetan statusnya online, pesan sudah centang biru, tapi tidak typing. Tidak ada pula yang namanya terlalu asyik dengan ponsel.
Dan tentu saja, tidak ada permusuhan hanya gara-gara 01 atau 02.