Paris Fashion Week Korban Clickbait dari Sebuah Usaha Memasukkan Kebohongan ke Dalam Kebenaran

Kayaknya, polemik Paris Fashion Week akan menjadi preseden baik bagi karakter masyarakat Indonesia ke depannya.

Paris Fashion Week Korban Clickbait MOJOK.CO

Ilustrasi Paris Fashion Week. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COParis Fashion Show at Paris Fashion Week. Begitulah kira-kira slogannya. Sungguh sebuah pembodohan publik yang kasar dan nggak kreatif.

Tiga hari belakangan, narasi “pembodohan publik” menguasai dunia maya Indonesia. Adalah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) melalui Gekrafs melakukan sebuah “ikhtiar” untuk mengenalkan produk anak negeri ke panggung dunia. Paris Fashion Show at Paris Fashion Week. Begitulah kira-kira slogannya.

Gayung bersambut, kata berjawab, begitu juga dengan salah satu program Kementerian ini. Para pejabat, influencer, dan tak ketinggalan netizen yang budiman turut hanyut dalam suasana yang membikin “bangga” tersebut. Siapa yang nggak banggak produk fashion dalam negeri masuk dalam ingar-bingar Paris Fashion Week.

Tentunya para pejabat dan influencer itu turut berkontribusi, walau hanya dengan mengemas ucapan selamat dan doa suapaya acara sukses lewat video berdurasi tak sampai 60 detik. Sementara itu, para netizen yang budiman, utamanya di Instagram, juga turut berkontribusi dengan komentar-komentar bernuansa haru dan gambaran hati yang lagi mongkok.

Gila. Fashion anak negeri disandingkan dengan gelaran Paris Fashion Week di Paris. Saking bangganya, siapa saja yang coba nyinyir bakal diserang oleh netizen yang begitu “cinta produk dalam negeri”. Netizen-netizen galak yang sukanya “main kayu” sendiri. Yah, istilah main kayu ciptaan saya sendiri, menggambarkan betapa netizen sekarang makin mudah main serang. Jadi semacam babi buta. Ngepruk siapa saja “pakai kayu” yang tidak senada sama mereka. Sungguh meriah netizen Indonesia.

Adalah Wanda Hamidah, yang merasakan kelakuan main kayu sendiri para netizen yang budiman ini. Politisi Nasdem ini menjadi bulan-bulanan. Lantaran, di tengah ingar-bingar kebahagiaan warga dunia maya karena partisipasi produk lokal dalam perhelatan Paris Fashion Week, Wanda malah nyinyir. Jangan-jangan dia nggak cinta produk Indonesia?

Lewat Instastori pribadinya, Wanda menyatakan kekesalannya kepada para inisiator dan delegator Indonesia karena sudah mengaku-ngaku bahwa perhelatan Paris Fashion Week sebagai panggung untuk bersolek busana anak negeri. Padahal, program Gekrafs itu nggak ada satu pun yang terdaftar di kalender resmi Paris Fashion Week.

“Singkat kata, Kita ‘mengada-ada’ sendiri dan ‘hore-hore’ sendiri aja. Heboh sendiri. Puji sendiri,” terang Wanda. Apalagi, mereka yang “mengendarai” Paris Fashion Week bukan dari golongan merek fashion saja. Ada dari beauty brand, kampus, dan bahkan merek ayam geprek. Artinya, program ini bukan saja mengaku-ngaku berpartisipasi dalam perhelatan Paris Fashion Week, tetapi sudah melenceng jauh dari konsep yang dinamakan fashion week yang sudah sohor di Paris sejak dulu.

Wanda Hamidah tidak sendirian. Nyinyirannya terasa masuk akal dan disambut dengan meriah oleh netizen yang dulu masih ingat betul akan “ramalan” Wanda ketika Jokowi jadi Presiden Indonesia. Utamanya terasa sangat panas di Twitter, mereka menyuarakan hal yang sama.

Katanya, ini cuma pembodohan publik. Ini kebodohan yang memalukan. Mendompleng gelaran Paris Fashion Week demi sesuatu yang nggak perlu dilakukan. Alangkah indahnya kalau bikin program sendiri. misalnya, Mandalika Fashion Week. Peragaan busana sekalian balapan di Sirkuit Mandalika yang cantik itu. Yah, siapa tahu, bisa jadi solusi mengakali target penonton MotoGP yang sampai sekarang belum terpenuhi sampai-sampai pemerintah membebaskan orang plesiran tanpa perlu tes Antigen atau PCR.

Kalau tidak salah intip, kemarin (Selasa, 10 Maret 2022), sudah lebih dari 100 ribu cuitan di Twitter yang bernada negatif terhadap Paris Fashion Week, eh maaf, Paris Fashion Show. Jangan sampai tertukar, ya.

Selain narasi pembodohan publik, netizen yang memperkarakan ketidakjujuran penyelenggara, dalam hal ini Gekrafs. Seolah-olah, mereka sudah turut andil dalam pagelaran busana kelas dunia, Paris Fashion Week. Padahal cuma numpang tempat dan waktu yang memang disama-samaain. Yah, narasi pembodohan publik itu jadi susah untuk ditangkis, kan?

Untuk menjadi catatan kamu, melakukan pembodohan publik memang kerap dan kadang perlu dilakukan pemerintah mana saja di seluruh dunia. Stabilitas politik dan keamanan sering dijadikan alasan. Kadang, jika memiliki agenda tertentu atas nama kepentingan bangsa, perilaku-perilaku seperti ini dihalalkan dan kernel of truth sering dijadikan metode andalan.

Kernel of truth adalah suatu metode komunikasi yang menyisipkan suatu kebenaran atau kebohongan dalam skala kecil pada narasi yang sedang dibangun, dalam kasus ini Paris Fashion Show dan Paris Fashion Week. Dengan menyisipkan sedikit kebenaran atau kebohongan, orang-orang akan menjadi bias dan kebingungan dalam mencerna informasi tersebut.

Oleh sebab itu, strategi ini akan sangat mujarab apabila diterapkan di suatu kawasan yang memiliki minat baca rendah seperti Indonesia. Sebab, dengan mendapat informasi yang dibuat dengan strategi ini, orang-orang dengan minat baca rendah akan malas dengan sendirinya untuk mencari sumber-sumber tandingan. Dengan kata lain, kesesuaian informasi dengan persepsi dan prinsip hidup akan dijadikan yang utama, sedangkan usaha untuk mencari sumber tandingan apalagi mengkritisi adalah suatu ketidakniscayaan.

Dalam kasus fesyen-fesyenan ini, melakukan fashion show di Paris adalah suatu fakta. Sementara itu, menggunakan pagelaran Paris Fashion Week sebagai panggung untuk bersolek dengan menggandeng merek fashion dan ayam geprek adalah suatu hal yang amat jauh dari kebenaran.

Pertama, karena memang program Gekrafs ini tidak ada satu pun yang terdaftar di kalender resmi Paris Fashion Week. Kedua, mengangkut merek non-fashion untuk tampil di pagelaran fashion show, meskipun berkilah karena sudah melewati proses kurasi, tetap saja menjadi hal yang jauh panggang dari api.

Pertanyannya kemudian, apakah yang dilakukan penyelenggara (dalam hal ini Gekrafs) adalah contoh nyata dari kernel of truth, yakni dengan menyisipkan kebohongan dalam narasi kebenaran atau sebaliknya? Atau bahkan, penyelenggara sendiri tidak benar-benar mengetahui mengenai seluk-beluk dari narasi yang sedang mereka bangun?

Atau, jangan-jangan, mereka lagi kehabisan ide untuk bikin populer produk anak negeri? Sampai-sampai mereka menunggangi Paris Fashion Week untuk sebuah aksi yang sebetulnya bisa dan mudah dilakukan, misalnya, di pegunungan Bogor yang makin susah menampung air dan mengakibatkan banjir itu.

Di media, kita mengenal istilah clickbait, sebuah usaha untuk “menjebak” orang masuk ke dalam sebuah narasi. Jangan-jangan, Paris Fashion Week adalah korban, yang namanya dipakai sebagai clickbait untuk mendulang atensi. Sungguh kering kreativitas.

Wallahuallam apa yang dilakukan Gekrafs ini. Mereka juga entah tahu atau tidak, sadar atau tidak, atas segala hal yang telah diperbuatnya. Terserah Gekrafs akan menganggapnya seperti apa.

Salah tanggung sendiri, malu tanggung sendiri, dan dosa juga tanggung sendiri. Namun yang jelas, dengan banyaknya netizen yang bersuara mengkritisi program yang mendompleng Paris Fashion Week, hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia dewasa ini bukanlah masyarakat yang gampang dimabuk oleh narasi nasionalisme.

Klaim ini memang belum bisa dipastikan secara saintifik. Namun setidaknya, sudah terlihat usaha masyarakat untuk terlebih dahulu mengkritisi dan mencari sumber tandingan (sehingga nantinya bisa meluruskan apabila ada kekeliruan) sebelum berbangga diri atas apa yang telah dilakukan oleh negaranya di kancah internasional.

Polemik Paris Fashion Week ini tentunya akan menjadi preseden baik bagi karakter masyarakat Indonesia ke depannya. Sebab, selain karena telah mengedepankan kritisisme sehingga bisa menghindarkan dari penyakit yang bernama “mabuk nasionalisme”, yang tak kalah pentingnya juga adalah bahwa masyarakat akan lebih trengginas dalam menghadapi berbagai macam pembodohan publik.

BACA JUGA Gamis Syar’i Kini Tak Lebih dari Sekadar Fashion dan ulasan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Amoreyza Etniko

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version