MOJOK.CO – Tahukah kamu, UU ITE itu sebenarnya UU yang penting dan harus ada. Sayang sekali, di dalam isi dan penerapannya, ternyata menimbulkan banyak masalah.
UU yang sebenarnya penting
UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pertama kali disahkan pada 2008. Sebenarnya, UU yang dirancang untuk mengatur segala aspek digital dalam kehidupan bangsa Indonesia ini punya makna penting. Saat itu, hingga saat ini, Indonesia belum memiliki UU yang secara padu dan satu mengatur ranah digital.
Makanya, UU ITE memuat aturan yang penting, seperti definisi dokumen dan informasi elektronik, tanda tangan elektronik, aturan bukti elektronik, dan lain sebagainya yang sangat digital dan penting diatur. UU ini jelas diperlukan sebagai respons naiknya jumlah pengguna internet di Indonesia, seperti yang disampaikan dalam naskah akademik UU ITE.
Masalahnya banyak banget
Meskipun dimaksudkan sebagai peraturan yang progresif dan menjadi terobosoan, UU ITE terbukti bermasalah dalam perumusan dan implementasinya. Harusnya berfokus mengatur hal yang bersifat digital, justru dalam pembahasan UU ITE pada 2006 di DPR, muncul proposal untuk mengatur banyak jenis tindak pidana yang sebenarnya tindak pidana konvensional, tapi bisa dilakukan dengan sarana elektronik, yang disebut cyber enable crime.
Yang direkomendasi untuk dilarang oleh Convention on Cybercrime atau Budapest Convention on Cybercrime adalah empat kelompok tindak pidana, yaitu tindak pidana tentang terhadap kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data dan sistem komputer, kejahatan komputer, tindak pidana berkaitan dengan konten, dan tindak pidana pelanggaran hak cipta.
Nah, berkaitan dengan konten, satu-satunya perbuatan yang dilarang adalah memproduksi, menawarkan, mendistribusikan, menyediakan, dan memiliki muatan pornografi anak. Udah itu aja.
Dalam UU ITE, tindak pidana ini jadi banyak banget. Misalnya, melarang distribusi, transmisi dan membuat dapat diakses konten melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pemerasan/pengancaman, berita bohong, kebencian atau permusuhan berbasis SARA dan ancaman kekerasan. Sebenarnya, larangan-larangan tersebut sudah diatur dalam KUHP dan penerapaannya bisa diperluas untuk ranah digital.
Para korban kriminalisasi UU ITE
Ada banyak korban yang terjerat UU ITE. Kita masih ingat betul tentang kasus yang menimpa Prita Mulyasari pada 2009 lalu. Prita dijerat dengan UU ini setelah mengkritik pelayanan sebuah rumah sakit. Ada juga Baiq Nuril, tenaga honorer yang sampai harus diberikan amnesti oleh Presiden Joko Widodo karena perbuatannya merekam pelecehan seksual yang dilakukan atasannya.
Ada juga kasus Jerinx yang dijerat dengan pasal hate speech ketika yang dia kata-katai adalah organisasi profesi, jauh dari kelompok yang rentan didiskriminsasi. Ada juga kasus Saiful Mahdi, dosen Unisyah, yang dijerat pasal pencemaran nama baik karena komentarnya. Lalu ada Stella Monica yang menjalani proses hukum hanya karena menggunggah screeshot percakapan tentang kondisi kulitnya setelah menjalani treatment di suatu klinik, pun dalam unggahannya tidak disebutkan klink yang dimaksud.
Terakhir, yang sedang ramai, Ibu Wety di Samarinda yang dilaporkan forum RT dengan tuduhan pencemaran nama baik. Sebelumnya, Ibu Wety protes karena jalan rusak di depan rumahnya tidak kunjung diperbaiki.
UU ITE telah terbukti disalahgunakan. Studi ELSAM (2016) dan ICJR (2021) mengonfirmasi beragam motif ketika UU ini digunakan. Mulai dari balas dendam, membungkam kritik, shock therapy, dan menjegal lawan politik.
Motif yang paling sering terlihat adalah digunakan sebagai alat untuk membalas dendam dengan relasi kuasa yang timpang antara pelapor dengan pihak yang dilaporkan. Para pelapor memiliki kekuatan politik (misalnya kepala daerah, birokrat), ekonomi (pengusaha), atau memiliki pengaruh sosial yang kuat. Sementara itu, yang dilaporkan mayoritas berasal dari kalangan lemah (powerless), sehingga kesulitan untuk mendapatkan akses keadilan secara memadai.
Keanehan UU ITE: Aku, kamu, kita semua bisa kena
Tahukah kamu, bahwa pengaturan tindak pidana dalam UU ITE, selain terlalu banyak dan eksesif, dalam perumusannya juga tidak memuat batasan yang dalam prinsip hukum. Akibatnya, penerapannya jadi suka-suka, misalnya pada aspek berikut:
Pencemaran nama baik punya batasan prinsip hukum pidana. Misalnya, perbuatan ini harus merupakan suatu tuduhan seseorang melakukan hal tertentu, ditujukan kepada umum, tidak dalam ruang privat, hanya dapat ditujukan kepada orang bukan lembaga atau badan hukum, harus dengan aduan/laporan langsung orang yang mengalami tuduhan, dan yang paling penting tidak merupakan pencemaran nama baik jika tuduhan di muka umum tersebut demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Nah, dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE hingga saat ini, korespondensi di ruang privat dapat dijerat dengan unsur “transmisi”. Bahkan, di banyak kasus, yang jadi “korban” adalah lembaga atau badan hukum, yang sebenarnya tidak bisa dilindungi pasal ini. Alhasil, Prita Mulyasari, Saiful Mahdi, Stella Monica, dan mungkin setiap dari kita bisa kena.
Untuk penyebaran konten yang melanggar kesusilaan, sesuai batasan dalam KUHP, yang dapat dijerat hanya pelanggaran kesusilaan secara terbuka di depan umum. Bisa di ruang privat hanya apabila orang yang ditujukan tidak berkehendak atau tidak ada consent.
Oleh sebab itu, harusnya korespondensi privat, dokumen privat, hingga upaya membuktikan kasus kekerasan seksual tidak dapat dijerat. Sayangnya, rumusan Pasal 27 ayat (1) UU ITE hingga saat ini tidak memuat batasan tersebut. Orientasinya hanya pada konten. Selama kontennya dianggap melanggar kesusilaan, segala bentuk transmisi dapat dijerat, sekalipun dokumen pribadi.
Celakanya, jaminan bahwa orang bisa menyatakan diri sebagai korban, tidak berkehendak untuk ditunjukkan konten tersebut (seperti dalam kasus Baiq Nuril), tidak dimuat dalam UU ITE. Alhasil, korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) jadi enggan mendokumentasikan atau melaporkan kasusnya karena takut terjerat kriminalisasi.
Untuk hate speech atau ujaran kebencian, perlu dipahami bahwa perbuatan ini bukan sembarang ujaran “Eh gue benci sama, lo”. Arti penting kriminalisasi hate speech adalah melindungi kelompok-kelompok yang rentan didiskriminasi karena identitasnya, misalnya identitas dasar kebangsaan, ras atau agama, dalam perkembangannya juga bisa berdasarkan jenis kelamin dan orientasi seksual.
Intinya, identitas tersebut harus melekat dan sulit diubah. Tentu tidak mudah seseorang mengganti ras, kan?
Nah, dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE justru dimuat unsur “antar-golongan” yang tidak didefinisikan. Dalam implementasinya bisa berupa organisasi profesi, institusi, atau kelompok pendukung presiden. Apakah dengan mengkritik entitas tersebut, mereka jadi rentan didiskriminasi?
Revisi UU ITE itu mutlak!
Kalau kamu sepakat bahwa UU ITE harus direvisi, itu udah tepat! Tepat sekali! Yang tidak tepat adalah yang masih membela dan menyatakan bahwa UU ITE hanya bermasalah karena implementasi aparat penegak hukum.
Implementasi berantakan jelas karena permasalahan norma. Adanya pasal-pasal karet yang tidak jelas sehingga membuka potensi penyalahgunaan. Makanya, yang diserukan secara nyaring adalah revisi.
Memang, Juni 2021 lalu, tiga institusi, Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia menerbitkan SKB Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam UU ITE. Namun, dalam tata aturan sesuai UU No. 12 tahun 2011, perbaikan norma UU ya harus dengan revisi UU.
Sedihnya, SKB ini tidak efektif. Buktinya, kasus Stella Monica masih dijalankan. SKB tidak menjadi dasar jaksa menghentikan penuntutan. SKB tidak mampu menjangkau kasus-kasus yang terjadi sebelum SKB diterbitkan tapi diproses setelah SKB ada, ya iya, karena materi ini hanya diatur dalam UU. SKB dilaksanakan murni kalau aparat “mau” melaksanakan. Ruang penyalahgunaan baru. Mutlak, revisi adalah jawaban.
Namun, sampai revisi benar-benar terealisasikan, sayangnya kita sebagai masyarakat biasa tetap dibayang-bayangi ketakutan akan kriminalisasi UU ITE.
Terus, kita harus gimana biar nggak kena UU ITE?
Pertama, jika kita akan menyuarakan kritik, pastikan ditujukan kepada sistem, jabatan, lembaga, dan badan hukum lainnya. Pokoknya jangan personal.
Ingat, uraian yang merupakan penilaian, pendapat, dan hasil evaluasi harusnya tidak masuk dalam ranah pencemaran nama naik. Karena negara ini susah paham konteks, sebisa mungkin hindari penggunaan label atau cacian.
Namun, jika terjerat pasal pencemaran nama baik, ingat-ingat beberapa hal penting ini:
“Apakah ada aduan langsung dari orang menjadi korban?” Aduan ini harus benar-benar dari orang tersebut, bukan kuasanya. Ingat!
Terhadap tuduhan pencemaran nama baik tidak dapat dilakukan penahanan. Jika kamu dapat informasi akan ditahan, pastikan ada bukti dokumen kerugian materiil yang diderita pelapor. Harus jelas hitungan tersebut sebagai kerugian materiil. Sebisa mungkin akses bantuan ataupun konsultasi hukum, Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFENET menyediakan platform pengaduan tersebut. Kamu bisa cek ke: https://id.safenet.or.id/laporkasus/
Kalau telanjur kena kudu gimana?
Untuk teman-teman yang mengalami KBGO, misalnya konten intim yang pernah kamu kirimkan disalahgunakan oleh pasangan atau mantan, sebisa mungkin dokumentasikan kekerasan yang kamu alami. Misalnya terjadi pemerasan atau pengancaman yang dilakukan. Dokumentasikan juga pernyataan kamu yang tidak bersedia konten tersebut disebarluaskan atau disalahgunakan.
Walau ketentuan UU ITE membuka potensi kriminalisasi korban, kamu harus tahu kalau ada terdapat ketentuan yang dapat menjerat pelaku KBGO. Misalnya:
Pasal 281 (2) KUHP: mempertunjukkan pelanggaran kesusilaan di depan orang yang tidak berkehendak.
Pasal 29 jo. Pasal 45B UU ITE: mengancam dengan kekerasan atau menakut-nakuti melalui elektronik.
Pasal 27 (4) jo. Pasal 45 (4) UU ITE: perbuatan pemerasan dan/atau pengancaman melalui elektronik.
Pasal 368: pemerasan.
Pasal 369 KUHP: pengancaman membuka rahasia.
Pasal 336 KUHP: pengancaman untuk melakukan perkosaan/perbuatan melanggar kehormatan kesusialaan.
Pasal 35 jo. Pasal 51 (1) UU ITE: manipulasi dokumen elektronik biar kelihatan asli.
Kalau kamu jadi korban kriminalisasi, sebisa mungkin langsung akses layanan pendampingan. Salah satunya bisa lewat aduan di: https://awaskbgo.id/layanan/
Semoga tulisan ini sedikit bisa membantu. Terakhir, semoga kita, para calon korban, bisa terhindar dari aksi kriminalisasi UU ITE yang banyak berisi pasal karet ini, ya.
BACA JUGA Dari Revisi UU ITE Kok Jadinya Pedoman Interpretasi? Nah Kan Kena Prank Jokowi Lagi dan artikel menarik lainnya di rubrik ESAI.