Pandemi Ajarkan Rasanya Jadi Minoritas Muslim di Negeri Mayoritas Islam - Mojok.co
  • Cara Kirim Artikel
Mojok
  • Home
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Ziarah
    • Seni
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Politik
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Uneg-uneg
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Home
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Ziarah
    • Seni
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Politik
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Uneg-uneg
  • Terminal
Logo Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Home
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Uneg-uneg
  • Terminal
Beranda Esai

Pandemi Ajarkan Rasanya Jadi Minoritas Muslim di Negeri Mayoritas Islam

Abdul Gaffar Karim oleh Abdul Gaffar Karim
26 Mei 2020
0
A A
Pandemi Ajari Rasanya Jadi Minoritas Muslim di Negeri Mayoritas Islam

Pandemi Ajari Rasanya Jadi Minoritas Muslim di Negeri Mayoritas Islam

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

MOJOK.CO – Melalui pandemi pada Ramadan dan Lebaran kali ini, kita sebagai muslim seolah ditegur Tuhan rasanya menjadi penganut agama minoritas

Dulu sekali, ada seorang Indonesianis dari Belanda bernama Willem Frederik Wertheim yang mengatakan bahwa kaum Muslimin di Indonesia itu adalah “majority with minority mentality (mayoritas dengan mentalitas minoritas).”

Dalam buku yang terbit tahun 1980 dengan judul seperti frase tersebut, Wertheim mengatakan bahwa banyak aktivis muslim di Indonesia yang merasa tertindas secara politik, terpinggirkan secara ekonomi, dan seterusnya. Perasaan dikecilkan ini membuat mereka lebih bersemangat berjuang untuk menguatkan posisi Islam di panggung politik.

Muslim yang merasa minoritas itu tidak sepenuhnya salah. Pada era saat Wertheim menyusun bukunya, Pemerintah Indonesia memang masih merawat fobia terhadap politik Islam, bersanding dengan fobia terhadap komunisme.

Penguasa militer saat itu menyebutnya sebagai ekstrem kanan dan ekstrem kiri (eka dan eki). Polarisasi saat itu memang lebih keren daripada era belakangan, yang ditentukan oleh politik elektoral, seperti cebong dan kampret yang artifisial itu. Dulu, polarisasi eka dan eki itu serius, tidak main-main. Taruhannya adalah nyawa.

Namun belakangan, ketika Soeharto mulai mendekati kelompok Islam, kira-kira 10 tahun setelah buku Wertheim itu, sebenarnya mental minoritas di kalangan aktivis muslim itu bisa pulih—apalagi pasca-reformasi. Kekuatan politik Islam dengan cepat bisa mengklaim kembali peran politik dan ekonomi. Harusnya tak ada lagi mental minoritas. Muslim yang mayoritas secara jumlah itu harusnya bisa bermental mayoritas: pecaya diri dan melindungi minoritas.

Baca Juga:

awal bulan puasa mojok.co

Muhammadiyah Tetapkan Awal Bulan Puasa 23 Maret, Bagaimana Cara Penentuannya?

1 Februari 2023
Fatimah az-Zahra, Putri Nabi Muhammad, Adalah Sejatinya Wonder Woman MOJOK

Fatimah az-Zahra, Putri Nabi Muhammad, Adalah Sejatinya Wonder Woman

26 Desember 2022

Akan tetapi, kenyataannya tidak seperti itu. Masih banyak orang Islam di Indonesia (yang mayoritas Sunni ini) tetap bermental minoritas hingga hari ini. Merasa insecure melihat kiprah minoritas. Jangankan melindungi minoritas, merasa aman dekat minoritas saja tidak. Sebagian malah tak ragu mempersekusi minoritas jika dipandang perlu.

Mungkin muslim yang seperti itu prosentasenya kecil. Tak mudah bagi kita mengukurnya. Namun yang prosentase yang kecil itu cenderung kompak, serta tak ragu-ragu untuk berteriak dan bertindak. Sementara prosentase yang lebih besar cenderung lebih menyebar, tidak solid, dan lebih pendiam.

Saya menduga, salah satu penyebab utama mentalitas buruk di kalangan mayoritas itu adalah tiadanya pengalaman menjadi minoritas yang sebenarnya. Banyak muslim di Indonesia yang sejak lahir sampai meninggal berada di lingkungan yang serba-muslim.

Mereka bebas melakukan apapun, sehingga tak tahu rasanya terkekang dan sulit melaksanakan ibadah. Mereka jadi tak punya empati pada minoritas, yang seringkali untuk beribadah sempurna saja sulit. Akibatnya, mereka tak ragu untuk melarang minoritas beribadah, serupa dengan kaum kafir Quraish yang melarang pengikut Muhammad (yang saat itu masih minoritas) untuk beribadah.

Andai mereka pernah merasakan bagaimana repotnya jadi minoritas, mungkin bakal lain keadaannya. Muslim Indonesia yang pernah belajar atau bekerja di negara-negara non-muslim pernah merasakan hal itu.

Beberapa tahun belajar di tempat seperti itu (di South Australia lalu di Western Australia) dan mengalami Ramadan di negara seperti Amerika, saya pernah merasakan betapa sulit dan langkanya peluang untuk melaksanakan hal-hal yang terasa normal kalau sedang berada di negeri sendiri.

Untuk salat Jumat, kami harus memanfaatkan ruang ibadah bersama yang tersedia di kampus. Fasilitasnya boleh dibilang sangat bagus, tapi suasana beribadahnya tidak bakal sama seperti di masjid-masjid kita yang megah dengan suara azan lantang.

Selama Ramadan, kami berkeliling dari rumah ke rumah untuk salat tarawih bersama. Seadanya, tentu saja. Itu pun tidak bisa tiap malam. Yang paling repot adalah salat Iedul Fitri dan Iedul Adha. Panitia harus mencari tempat yang cukup luas untuk menampung jamaah. Ini bukan perkara mudah, dan bukan perkara murah. Sewa hall itu bisa ratusan hingga ribuan dolar setengah hari.

Kadang kita memang bisa dapat tempat yang murah di lapangan. Tapi kalau musimnya sedang tidak memungkinkan, urusan salat ied di lapangan itu sangat repot. Orang bisa kepanasan (kalau lebaran di puncak summer) atau kedinginan (kalau lebaran di saat winter). Winter di belahan bumi selatan bersamaan dengan summer di belahan bumi utara; dan sebaliknya.

Yang juga sering jadi masalah ialah penentuan tanggal 1 Syawal. Muhammadiyah menggunakan metode hisab. Muslim Muhammadiyah di luar negeri juga cenderung mengikuti hal ini. Namun NU dan gerakan Tarbiyah, misalnya, menggunakan metode rukyatul hilal. Pemerintah Indonesia juga cenderung ke arah sana. Di Indonesia, kita santai saja meributkan hal itu: hisab atau rukyat.

Di negara seperti Australia, pilihan metode itu menentukan kita mau bayar sewa hall berapa lama. Kalau pakai metode hisab, maka tanggal Iedul Fitri jadi lebih pasti. Kita cukup menyewa hall sehari. Kalau pakai metode rukyat, tanggalnya menjadi kurang pasti. Lalu kita mau menyewa hall dua hari, agar bisa menyesuaikan jadwal salat ied dengan penampakan hilal? Mubazir? Sudah risiko. Biayanya tidak sedikit lagi.

Poinnya, begitu romantika rasanya menjadi minoritas yang sebenarnya. Bukan cuma mentalitas seperti yang dicatat Wertheim dengan akurat itu. Peluang menjadi minoritas tak akan kita dapat kalau selamanya berada di lingkungan asal, di mana kita adalah mayoritas.

Kalau kita tak pernah belajar rasanya jadi minoritas, maka mudah sekali kita tergelincir pada perbuatan yang menindas minoritas. Yang sering terjadi di banyak tempat adalah minoritas dihambat untuk beribadah.

Tidak jarang rumah ibadah tak tersedia, baik karena tak ada dana untuk membangunnya, atau karena memang dilarang oleh mayoritas. Yang ada pun kerap dirusak oleh segelintir mayoritas.

Di Indonesia, sering sekali kita mendengar kelompok minoritas dipersekusi oleh segelintir kelompok mayoritas. Gereja dilarang, gereja dirusak, itu pernah kita dengar. Masjid Ahmadiyah diserang, itu juga terjadi. Kelompok Syiah dilarang beribadah, itu juga ada. Semua terjadi karena banyak orang tak tahu bagaimana rasanya dilarang beribadah.

Namun kini, pandemi COVID-19 telah memaksa semua orang untuk belajar bagaimana rasanya tak bisa menjalankan ibadah seperti yang diinginkan. Salat Jumat sangat dibatasi, tarawih apalagi, yang cuma sunah. Dan sekarang, salat ied juga harus diminimalkan (saya pribadi lebih suka jika dilarang sama sekali).

Sekarang semua muslim di Indonesia bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh kelompok minoritas yang tak leluasa menjalankan ibadah. Kita patut bersyukur, Tuhan mendidik kita cuma lewat pandemi COVID-19.

Coba bayangkan kalau Tuhan mendidik kita dengan cara menimpakan pada kita apa yang pernah dirasakan oleh minoritas di negeri ini: rumah ibadahnya dirusak, badan babak belur, sampai kadang nyawa harus melayang.

Jadi bersyukurlah, pembatasan sosial dari situasi kali ini telah memberi kita peluang untuk memahami: bahwa begini ternyata rasanya jadi minoritas yang dipepet pandemi penindasan mayoritas.

BACA JUGA Efek Pandemi bagi Ibadah Umat Katolik se-Indonesia atau tulisan Abdul Gaffar Karim lainnya.

Terakhir diperbarui pada 26 Mei 2020 oleh

Tags: IslamKristenLebaranmayoritasMinoritaspandemiRamadan
Abdul Gaffar Karim

Abdul Gaffar Karim

Dosen FISIPOL UGM

Artikel Terkait

awal bulan puasa mojok.co
Kilas

Muhammadiyah Tetapkan Awal Bulan Puasa 23 Maret, Bagaimana Cara Penentuannya?

1 Februari 2023
Fatimah az-Zahra, Putri Nabi Muhammad, Adalah Sejatinya Wonder Woman MOJOK
Esai

Fatimah az-Zahra, Putri Nabi Muhammad, Adalah Sejatinya Wonder Woman

26 Desember 2022
puasa 2023 mojok.co
Kilas

Kapan Sih Puasa 2023? Ini Perkiraan dan Cara Penentuan Harinya

22 Desember 2022
Subvarian XBB Sudah Terdeteksi di Indonesia Mojok.co
Kesehatan

Subvarian Omicron XBB yang Bikin Singapura Kewalahan Sudah Ditemukan di Indonesia

25 Oktober 2022
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
siti fadilah

Ditjen PAS Usut Dugaan Pelanggaran Wawancara Deddy Corbuzier dan Siti Fadilah Supari

Tinggalkan Komentar


Terpopuler Sepekan

Pandemi Ajari Rasanya Jadi Minoritas Muslim di Negeri Mayoritas Islam

Pandemi Ajarkan Rasanya Jadi Minoritas Muslim di Negeri Mayoritas Islam

26 Mei 2020
Suara Kader Muda NU untuk 100 Tahun NU / satu abad yang Gini-gini Aja MOJOK.CO

Suara Kader Muda NU untuk 100 Tahun NU yang Gini-gini Aja

28 Januari 2023
Surat Cinta untuk Warga Solo: Jangan Ulangi Problem Pariwisata Jogja MOJOK.CO

Surat Cinta untuk Warga Solo: Jangan Ulangi Problem Pariwisata Jogja

4 Februari 2023
Mencoba Lawson yang Baru Buka: Oden Enak yang Harganya Nggak Enak Buat UMR Jogja MOJOK.CO

Mencoba Lawson yang Baru Buka: Oden Enak yang Harganya Nggak Enak Buat UMR Jogja

29 Januari 2023
Suara Hati Pak Bukhori, Penjual Nasi Minyak yang Dihujat Warganet - MOJOK.CO

Suara Hati Pak Bukhori, Penjual Nasi Minyak Surabaya yang Dihujat Warganet

24 Januari 2023
bisnis raffi ahmad mojok.co

Nama-nama Penting di Balik Gurita Bisnis Raffi Ahmad

30 Januari 2023
PO Haryanto Bikin Perjalanan Cikarang Jogja Jadi Menyenangkan MOJOK.CO

PO Haryanto Sultan Bantul Bikin Perjalanan Cikarang-Jogja Jadi Sangat Menyenangkan

27 Januari 2023

Terbaru

Blak-blakan Reno Candra Sangaji, Lurah 1.000 Baliho yang Sempat Bikin Geger Jogja. MOJOK.CO

Blak-blakan Reno Candra Sangaji, Lurah 1.000 Baliho yang Sempat Bikin Geger Jogja

4 Februari 2023
ratu tisha pssi

Ratu Tisha Bicara Soal Memajukan Sepak Bola Perempuan, Bagaimana Caranya?

4 Februari 2023
wali kota blitar mojok.co

Dendam sang Senior di Balik Perampokan Rumah Wali Kota Blitar

4 Februari 2023
perbedaan reboot dan restart mojok.co

Ini Perbedaan Reboot dan Restart Biar Kamu Nggak Asal Pencet

4 Februari 2023
Surat Cinta untuk Warga Solo: Jangan Ulangi Problem Pariwisata Jogja MOJOK.CO

Surat Cinta untuk Warga Solo: Jangan Ulangi Problem Pariwisata Jogja

4 Februari 2023
politisi perempuan mojok.co

Alasanku Mengubur Mimpi Jadi Politisi Perempuan

3 Februari 2023
uang pangkal ugm mojok.co

Rencana Uang Pangkal UGM Ramai Ditolak: Menyusahkan Mahasiswa dan Tidak Relevan

3 Februari 2023

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
DMCA.com Protection Status

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Kanal Pemilu 2024
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Podium
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-Uneg
  • Movi
  • Kunjungi Terminal
  • Mau Kirim Artikel?

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In