Ketika Alumni UGM Saling Pamer Kisah Cinta di Grup Facebook Kagama

[MOJOK.CO] “Apa saja sih yang bisa dipamerkan dari kisah cinta semasa kuliah?”

Grup Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama) horeg. Awalnya grup Kagama kalau tidak salah hanya ada satu, tapi kemudian pecah menjadi beberapa. Pasalnya apa lagi kalau bukan soal dukung-mendukung Ahok dan Anies? Politik dalam hal seperti ini memang sungguh nggatheli.

Horegnya salah satu grup Kagama itu berawal dari sebuah thread yang sepele. Kira-kira bunyinya begini: “Mari pamer mantan. Siapa coba yang berani pamer lama-lamaan pacaran dengan satu orang saat kuliah di UGM?

Awalnya, jawaban para alumni sangat biasa. Ada yang mengaku cuma pacaran seminggu. Ada yang setahun. Ada pula yang 3 tahun dst. Komentar baru ramai setelah salah satu alumnus UGM sebut saja namanya Dimas, anak FT ’98, membuat pengakuan: sembilan tahun pacaran, setahun tunangan, tapi bubar!

Segera komentar itu memicu banyak komentar lain sampai ratusan. Dan mulai banyak pengakuan.

“Mas Dimas selama pacaran selama itu dapat apa?”

Bathi sithik,” jawabnya.

Bathi alias untung itu sontak mengundang rasa penasaran. Bahkan ada yang meminta Dimas agar menceritakan kisah cintanya selama 9 tahun plus 1 tahun yang berakhir seperti cangkir kopi yang kesenggol. Pecah berantakan.

Baru kemudian Dimas menyadari bahwa di grup itu ada banyak temannya yang menjadi saksi kisah cintanya. Akhirnya dia teriak, “Bubaaaar, bubaaar! Ada yang banyak kenal si diaaaa!”

Tentu saja teriakan seperti itu justru membuat grup Kagama yang versi apolitis ini justru makin gempar.

“Saya pacaran 5 tahun,” pengakuan salah satu anggota grup, “tapi putus karena terpaksa.”

Tidak lama kemudian ada komentar balasan. “Ooo jadi putusmu dulu itu karena terpaksa?!”

Kembali grup horeg. Ternyata yang menyusul komentar adalah istri dari sosok yang berkomentar. Celetukan berbagai versi segera berhamburan…

“Jangan bukain pintu, Mbak!”

“Hajar, Mbak!”

“Wah, berarti suamimu masih cinta sama mantannya, Mbaaak! Jangan kasih kendooor!”

Minggat wae, Mbaaaak!”

Lalu ada yang berkomentar, seorang relawan pengajar. “Saya sudah tunangan. Setelah tunangan, saya bertugas mengajar di Asmat selama setahun. Di sana susah sekali bisa teleponan sama mantan saya. Pas saya pulang, ternyata tunangan saya sudah menikah… Saya putus asa, kecewa, dan hampir bunuh diri.”

Komentar ini pun ramai ditanggapi. “Oalaah, Mas… Apes betul nasibmu.”

“Coba merenung, Mas. Jangan-jangan mantan tunanganmu itu saat tunangan sebetulnya nggak suka sama kamu. Dia cuma kasian sama kamu!”

“Kalau misalnya jadi bunuh diri, kira-kira metode apa yang dipilih Mas Fawaz?” Eh maaf, kelepasan tertulis namanya.

“Untung nggak jadi bunuh diri, Mas. Kalau jadi kan grup ini nggak asyik…”

Ada yang cuma komentar, “Sing tabaaah ya, Boooos!”

Terus ada seorang laki-laki dari Sospol yang mengaku, “Saya kuliah 4 tahun, IP bagus, tapi nggak pernah pacaran. Nggak pernah nakal. Sekarang malah mulai nakal…”

Langsung komentar bertubi-tubi menghujaninya. “Kalau pacaran saja nggak pernah, berarti pegangan tangan juga nggak pernah ya? Sakno uripmu, Luuuur!”

“Terus apa enaknya kuliah kalau enggak pernah pacaran, Mas?”

“Sekarang nakalnya seperti apa sih, Mas? Coba ceritakan di sini dong…”

Si mas yang berkomentar langsung merevisi ucapannya: “Enggak nakal sih, cuma sesekali minum bir…”

Lalu ada yang nyeletuk. “Wkwkwk nggak berani ngaku karena di grup ini ada adik iparnya, Sodara-sodara!”

Suasana grup tambah panas. Tambah ramai. Tambah mendebarkan.

Ada juga komentar landai seperti ini: “Saya pacaran hanya setahun menjelang lulus. Setelah lulus, kami menikah sampai sekarang.”

Komentar landai seperti itu langsung disambar, “Lha terus enaknya apa kalau pacaran cuma setahun lalu menikah, Mbak?”

“Kisah cintamu nggak bisa dibikin novel, Mbaaak!”

Ada pula yang polos mengaku: “Saya pacaran hanya sebulan, habis itu dia pacaran sama teman saya.”

“Disyukuri saja, Mas. Setidaknya dia tahan pacaran sama kamu selama sebulan…”

“Itu artinya temanmu lebih menarik dibanding kamu, Mas.”

Tapi dalam kondisi kayak begitu, ada juga yang agak mau terkesan bijak. Dia menulis komentar seperti ini: “Belum tentu orang yang ditinggalkan pacarnya itu tidak berkualitas. Saya contohnya. Saya pemain basket. IP saya bagus. Saya pintar menulis. Saya juga pengamat budaya. Penyair juga. Bisa menggambar juga. Pintar otomotif. Tapi tetap ditinggal pacar. Dia pasti menyesal meninggalkan saya!”

Lalu ada yang menyahut, “Kamu hebat, Om! Serbabisa. Pasti sekarang kerjamu serabutan ya?”

Muncul pula komentar semacam ini: “Saya pacaran 8 tahun. Menikah dengan pacar saya. Sekarang punya dua cucu.”

Segera ada yang mengingatkan, “Bapak ini sudah tua, mungkin seumuran Pak Jokowi. Jangan dibuli ya, Adik-adik?”

“Saya nggak akan membuli kok, Mas. Cuma mau tanya, itu pacarannya pakai balsem ya, kok awet…”

Sampai tulisan ini saya buat, masih ada ratusan komentar terus berdatangan. Termutakhir yang saya lihat adalah komentar yang bunyinya seperti ini: “Saya belum pernah pacaran. Sekarang umur saya 35 tahun. Cukup mapan. Jika ada yang serius, kita bisa ta’arufan…”

“Woooogh ini yang namanya ngepooot!”

“Mas, grup ini bukan biro jodoh!”

Begitulah grup yang konon merupakan salah satu universitas terbaik di negeri ini. Celometan. Sebagian komentar di atas benar-benar begitu adanya. Sebagian saya sunting supaya lebih enak dibaca. Sebagian lagi, adalah karangan saya.

Soalnya saya ikut grup Kagama satunya lagi. Grup yang isinya hanya politik melulu. Ahok. Anies. Ahok. Anies. Politik memang punya sisi bangsatnya.

Tapi yang lebih bangsat lagi adalah admin grup Kagama yang ada kisah soal ini. Grup yang banyak membuat orang tertawa. Tapi pas saya daftar bergabung, sampai sekarang nggak juga disetujui.

Akhirnya saya cuma bisa menyaksikan beberapa orang di sekitar saya tertawa membaca grup ini. Sungguh tembelek!

Exit mobile version