MOJOK.CO – Menjadi menantu seorang tukang pijat andal memberi saya banyak pengalaman pahit, sekaligus manis. Seru sekali pokoknya.
Jika kalian tengah merasa berada dalam situasi “neraka tanpa api” saat serumah dengan mertua, saya pun pernah mengalaminya. Apalagi dengan tabiat saya yang menuhankan kerapihan, kebersihan, dan ketertiban. Dulu, serumah dengan ibu mertua yang profesinya tukang pijat, rasanya menyiksa banget.
Sebentar-sebentar harus beberes, sebentar-sebentar harus ngepel, dan sebentar-sebentar harus terjaga. Bayangkan, saat Anda tidur nyenyak di akhir minggu di mana hanya hari itu Anda mendapat prei, tiba-tiba datang balita yang tidak enak badan butuh sentuhan tukang pijat andal dan ibu mertua saya adalah favoritnya.
Sepanjang pijatan berlangsung, sepanjang itu pula suara tangis dan jeritan yang akan Anda dengar. Belum lagi kalau yang datang itu cedera seperti keseleo, jeritannya akan lebih kencang lagi. Mungkin sampai ke Timbuktu atau terdengar sama kru X-Space milik Elon Musk yang berada di Planet Mars.
Itu baru jeritan.
Belum lagi sisa-sisa polusi, baik darat maupun udara dari praktik yang tersisa. Minyak bekas urut yang bikin lantai licin. Aroma menyengat minyak urut yang dibawa sendiri oleh pasien. Belum bau asap rokok dari keluarga pengantar. Padahal sudah ada tanda dilarang merokok di ruang tamu.
Begitulah saya. Mantu durhaka yang selalu menggerutu di bulan-bulan awal saat istri minta mertua, seorang tukang pijat andal, tinggal serumah.
Yah, saya sempat ada di fase itu. Selalu mengeluh dan seperti tidak menghargai profesi tukang pijat ibu mertua. Tapi mari kita simpan dulu bagian melankolis ini. Mari lanjutkan “siksa neraka” yang pernah saya rasakan.
Salah satu yang bikin saya pusing adalah suara telepon istri. Karena ibu mertua nggak punya asisten pribadi, maka istri saya yang jadi semacam operator. Maka jadi sudah. Nama besar ibu mertua sebagai tukang pijat andal membuat hape istri saya ramai banget sama telepon. Udah kayak korban pinjol laknat yang lagi diteror.
Nah, suatu kali, perasaan kesal yang saya rasakan sedikit berkurang ketika ibu mertua pulang dari memijat lalu tiba-tiba menangis. Saya merasa sedih sekaligus emosi juga sama pelanggan brengsek.
Jadi, ibu mertua saya dipanggil pelanggan untuk memijat ke rumahnya. Sepanjang memijat, pelanggan itu bercerita kalau beberapa hari sebelumnya, dia memesan jasa pijat lewat sebuah aplikasi. Ingat, ini kejadian ketika pandemi belum terjadi.
Nah, pelanggan itu ngedumel, ngomong jelek soal tukang pijat online yang datang beberapa hari sebelumnya. “Sudah mahal, bayar Rp150 ribu, pijatannya nggak enak pula. Mending kasih buat ibu saja.”
Ibu mertua saya merasa kurang nyaman ketika ada orang lain yang satu profesi dengan dirinya dibilang seperti itu. Seorang tukang pijat bisa saja tidak perform karena banyak hal. Yah, di sisi lain, pelanggan memang nggak bakal mikir sampai ke sana, sih. Taunya cuma enak saja.
Kembali ke pelanggan brengsek itu. Setelah selesai dipijat, ART yang kerja di rumah itu dengan entengnya minta bonus kerokan karena masuk angin. Ibu mertua saya nggak enak kalau menolak.
Selesai semua pekerjaan, ibu mertua saya pamit pulang. Sebelum pulang, yang punya rumah mengulungkan sebuah amplop kecil.
Setelah berpamitan dan ibu hendak mengenakan sepatu selop kesayangannya, si punya rumah menutup pintu dengan cepat. Namun, ibu sempat menangkap kalimat yang diucapkan pelanggan itu kepada ART-nya. Dia bilang, “Sama aja, nggak enak. Udah tua kali. Lima puluh ribu udah pantes!”
Ibu mertua saya merasa sudah bekerja sebaik mungkin. Si pelanggan dengan lidah beracun itu “pasien pertama” hari itu. Jadi, tenaga ibu mertua saya masih prima. Apalagi udah ngasih servis tambahan ke ART rumah itu.
Sebetulnya, ibu selalu bertanya ke pelanggan ketika memijat. Apakah kurang atau terlalu keras. Kurang enak atau bagaimana. Ibu merasa kalau nggak enak, segera dikatakan. Jangan disimpan di akhir, terdengar sama tukang pijat yang sudah bekerja semaksimal mungkin, dan membayar tidak sesuai kesepakatan pula. Ngomong-ngomong, ibu mertua saya mematok tarif Rp100 ribu untuk dua jam. Ibu selalu menerima kalau pelanggan menawar tarif tersebut.
Apa ini tidak membuat saya sebagai mantu ikut naik darah? Belum lagi ART si pelanhggan minta bonus dikerok? Sungguh zalim! Mulai saat itu, saya jadi berpikir kalau profesi tukang pijat sangat rentan dengan perlakuan buruk. Saya memutuskan untuk mengurangi gerutuan.
Oya, saya sendiri lahir dari keluarga yang tidak terlalu akrab dengan pijat dan kerokan. Keluarga saya merasa kalau terlalu sering dipijat, tubuh pasti ketagihan.
Oleh sebab itu, berhadapan dengan keluarga istri yang menganut mahzab pijatiyah dan urutiyah, masa awal berumah tangga saya jadi ribet. Pilek sedikit, mertua atau istri bergegas mencari koin dan bawang merah untuk mengerok tubuh saya.
Saya nggak bisa menolak jika tangan mertua sudah membuat garis merah di atas punggung. Udah kayak Jackson Pollock ketika membuat karya abstrak yang termasyhur itu. Saya dibuat menjerit kesakitan. Mirip penghuni neraka yang disiksa dalam komik-komik masa kecil tentang Saleh dan Karma.
Demam sedikit, saya langsung diminta tengkuran untuk dipijat. Setiap akan berangkat atau pulang dari tugas kantor yang memakan waktu berhari-hari, saya diperlakukan bak mobil turun mesin. Semua “onderdil” tubuh saya diperiksa sampi tak satu pun yang terlewat. Kalau bagian “itu” ya istri saya yang jadi mekaniknya. Hehe….
Anak-anak saya juga gitu. Sejak bayi sudah dikenalkan dengan ritus pijat ini pijat itu. Sampai akhirnya, masih balita, mereka kecanduan pijat. Pulang sekolah saat kaki pegal, anak saya langsung ekting, pura-pura sakit supaya dipijat ibu mertua atau ibunya.
Alhasil, ketika remaja, candu itu makin kuat. Mereka bahkan sudah punya jadwal sendiri kapan waktunya dioprek oleh ibu mertua atau ibunya. Sebab, kalau tidak, mertua atau istri saya tak akan mendapat kesempatan dimanjakan dengan pijatan anak-anak saya yang secara alamiah telah dianugerahi life skill atau kecakapan sebagai tukang pijat. Ajaib.
Keahlian menjadi tukang pijat ini sudah tentu menurun ke istri saya. Ibu mertua memang yang paling andal dan kondang. Namun, banyak juga yang cocok dipijat sama istri saya. Jadi, duet ibu dan anak ini bisa mendatangkan pemasukan yang terbilang cukup menyenangkan.
Selain itu, mereka berdua “merasa bahagia bisa membahagiakan” orang lain. Apalagi kalau menangani orang keseleo dan telat dibawa ke tukang pijat. Tempat keseleo sudah berwarna biru gelap dan pasti sangat sakit ketika dipijat. Berhasil “membetulkan” kondisi ini jadi kepuasan tersendiri bagi ibu mertua saya.
Istri saya sendiri hanya mau memijat sesama perempuan dan balita. Melihat balita yang sebelumnya demam dan rewel bisa tidur nyenyak itu bikin lega. Kata dia.
Di antara ceceran minyak pijat yang bikin lantai licin, ada kebahagiaan yang tercipta. Di tangan kasar dan keriput tukang pijat senior, ada kelegaan yang tumbuh.
Begitulah proses memahami dan menerima kondisi hidup bersama mertua.
BACA JUGA Pijat Plus-plus Surabaya yang Tetep Menggeliat meski Pandemi Mencegat dan tulisan menarik lainnya di rubrik ESAI.