MOJOK.CO – Rumah tangga suami istri Hindu yang baru saja menikah terancam karena ornamen Kristen yang satu per satu ditemukan di rumah baru mereka. Perang diam-diam merayap di rumah yang terberkati.
Sepasang suami istri yang baru bilangan bulan menikah membeli sebuah rumah baru. Keduanya keturunan India beragama Hindu yang tinggal di Amerika. Sanjeev, si suami yang berusia tiga puluh tahunan, adalah wakil manajer di sebuah perusahaan. Twinkle, si istri, sedang dalam proses penyelesaian tesis.
Kesegaran perkawinan yang baru seumur jagung serta kehangatan rumah baru mereka ibarat pidato bersemangat yang tiba-tiba diinterupsi. Ketika membersihkan rumah baru, mereka menemukan serangkaian benda-benda visual Katolik yang kemudian menimbulkan kebahagiaan, kecemasan, dan pertengkaran antara keduanya.
Pertama, Twinkle menemukan sebuah patung kecil Kristus dari porselen berwarna putih. Sanjeev memintanya untuk membuang patung itu, tetapi Twinkle ingin menyimpannya. “Kita bukan Katolik,” kata Sanjeev.
Di akhir minggu, mereka menemukan rak pajangan dengan benda-benda visual Katolik lainnya. Sebuah kartu pos Santo Fransiskus tiga dimensi dengan empat warna; gantungan kunci salib kayu; lukisan Tiga Raja dari Timur di kertas beludru yang dibingkai; sebuah tatakan ubin bergambar Jesus berambut pirang tanpa janggut sedang memberikan khotbah di atas bukit; dan miniatur kelahiran Kristus. Benda-benda ini ditemukan di berbagai tempat terpisah.
Jelas sekali penghuni sebelumnya adalah seorang Katolik. Benda-benda itu pasti penting bagi mereka. Namun, jika berharga, mengapa tersembunyi di berbagai sudut rumah? Jika penting, mengapa ditinggalkan? Mereka menjadi heran.
“Jangan-jangan ini merupakan usaha untuk mengajak orang beralih keimanan?” Twinkle menyeletuk.
“Sudah jelas rencana itu sukses dalam kasus kamu,” kata Sanjeev.
Sebagaimana sebelumnya, Twinkle masih ingin menyimpan benda-benda itu dan Sanjeev tetap bersikukuh untuk membuangnya. “Kalau kau membuangnya berarti kamu tidak menghargai pandangan pemiliknya,” bantah Twinkle keras. Mereka bertengkar.
Selanjutnya beberapa benda lagi ditemukan: sebuah poster Kristus dengan mahkota duri tengah meneteskan air mata; sebuah serbet bergambar Sepuluh Perintah Tuhan; stiker-stiker bergambar Perawan Maria, pelat-pelat saklar dengan gambaran-gambaran dari Injil; dan patung gipsum Perawan Maria yang tersembunyi di rimbun tanaman halaman rumah.
Setiap kali benda-benda itu ditemukan, setiap kali pula mereka bertengkar. Twinkle ingin menyimpan, menggunakan, dan memajangnya dengan alasan penghormatan. Sanjeev selalu ingin membuangnya dengan alasan utama mereka bukan Katolik dan alasan sampingan bahwa benda-benda itu tidak memiliki kualitas estetis yang bagus.
Ketika Sanjeev menerima rengekan Twinkle untuk menyimpannya, mereka berdebat lagi. Kali ini soal di mana benda-benda akan dipajang. Sanjeev tidak ingin orang yang datang ke rumah mereka mengira mereka Katolik. Negosiasi dan kompromi pun berlangsung.
***
Cerpen panjang “Rumah yang Diberkati” (This Blessed House) karya Jhumpa Lahiri (1967), pengarang Amerika keturunan India penyabet banyak penghargaan sastra, ini menunjukkan bahwa tema bisa saja usang, tapi selalu ada cara pengungkapan baru. Masalah relasi dan pandangan terhadap agama lain diutarakan dengan cara unik. Cerpen ini menarik karena subjeknya bukanlah orang, melainkan benda-benda visual keagamaan. Walaupun begitu, kita melihat bagaimana ajaibnya benda-benda yang mati sekaligus bisa “berbicara”, “bergerak”, dan mendorong ketegangan. Ia menjadi serupa benda hidup yang menimbulkan persepsi, membangkitkan emosi, dan mendorong empati.
(Saya jadi teringat dengan visual-visual keagamaan baik satu dimensi maupun tiga dimensi, baik permanen maupun sementara, baik tetap maupun bergerak entah di motor, mobil, kaos oblong, dan ruang publik dan lainnya yang juga bisa menimbulkan ketegangan dan pertengkaran.)
Konflik meningkat karena benda yang ditemukan banyak sekali. Ini menimbulkan prasangka bahwa pemiliknya sengaja meninggalkannya untuk memengaruhi penghuni sesudahnya. Mengapa benda-benda itu ditinggalkan begitu saja dan ditempatkan tidak pada tempatnya? Rasanya prasangka ini ada benarnya karena terbukti Twinkle tertarik dan suka.
Secara umum benda-benda visual keagamaan seperti ini hanya dimiliki, disimpan, dan digunakan oleh pemeluknya saja. Inilah alasan Sanjev ingin membuangnya. Ia toh tidak keliru karena ketika acara selamatan rumah yang mengundang tiga puluhan teman kantor dan teman-teman Indianya, ia harus menjawab kurang lebih empat puluh kali pertanyaan lantaran keberadaan benda-benda itu. Pertanyaan “Apakah dia orang Katolik?” bukan saja datang dari teman Indianya, melainkan juga dari teman Amerikanya.
Di luar itu ada kecemasan dan kekhawatiran. Sanjeev tidak ingin orang-orang sekantornya mengira dia Katolik. Mengapa ia khawatir dianggap Katolik? Secara eksplisit tidak ada penjelasan dalam cerita. Namun, dari sergahan Twinkle bahwa “Mereka tidak akan memecatmu karena memiliki kepercayaan tertentu. Itu namanya diskriminasi!” kita bisa menafsirkan bahwa ada tendensi diskriminasi di kantornya terhadap mereka yang bukan Hindu.
Konflik keduanya sangat serius karena sampai memunculkan kesadaran di hati Sanjeev bahwa antara ia dan Twinkle ada banyak perbedaan pandangan. Pada tingkat tertentu bahkan memunculkan keraguan di dalam hati Sanjeev: Apakah ia benar-benar mencintai Twinkle? Sementara Twinkle sampai menangis dan mengancam akan pergi dari rumah jika benda-benda tersebut dibuang. Mengapa mereka yang jelas-jelas orang India-Hindu bisa berbeda pandangan setajam itu?
Cerpen ini memunculkan isu identitas. Benar, mereka berdua keluarga Hindu-India dan oleh alasan ini pula keduanya dipertemukan. Sanjeev dan Twinkle berkenalan dalam makan malam yang dirancang oleh ibu mereka masing-masing yang merupakan sahabat. Skenario mempertemukan keduanya berjalan mulus karena empat bulan setelah pertemuan itu mereka menikah di India. Pernikahan mereka adalah usaha keluarga untuk menjaga keindiaan sekaligus kehinduan melalui ikatan perkawinan.
Nyatanya, dua tugas itu tidak mudah diwujudkan. Ketika identitas tersebut hendak ditarik secara tegas dan hitam putih, siapa pun yang memajang benda-benda visual Katolik otomatis berarti dia Katolik. Benda-benda itu memiliki makna tunggal dan paradigmatik. Namun, di sisi lain kita melihat “Hindu” dan “India” bukanlah identitas tunggal. Sanjeev laki-laki dan Twinkle perempuan. Sanjeev manajer, ia merasa penting menjaga relasi. Twinkle seniman, dia hidup lebih longgar. Sanjeev senang rapi dan bersih, Twinkle lebih sembrono. Sanjeev masih kuat jejak Indianya, Twinkle jauh lebih cair. Hubungan Sanjeev dan India masih sangat kental (ia suka makanan India dan ibunya masih tinggal Kalkuta), sedang hubungan Twinkle dan India telah tipis (ibunya tinggal di Kalifornia, Twinkle suka minum wiski, merokok, dan bergoyang tango). Bahkan namanya, Twinkle, mengingatkan teman-temannya pada lagu anak-anak berbahasa Inggris. “Apakah nama belakangnya Little Star?” ejek teman-teman Sanjeev.
Identitas itu tidak pernah tunggal dan beku. Selain titik temu berupa kehinduan dan keindiaan mereka, yang tersisa di diri Sanjeev dan Twinkle adalah perbedaan demi perbedaan.
Cerpen ini menyisakan banyak ruang tafsir. Mengapa benda-benda visual Katolik bisa mendominasi ruang privasi suami istri Hindu? Jangan-jangan ini berarti pada masyarakat modern, di dalam ruang paling pribadi sekalipun kekristenan masih meninggalkan pengaruh, tak terkecuali terhadap masyarakat nonkristiani?
Pada bagian akhir cerita, ketika selamatan rumah berlangsung tamu-tamu bertanya mengapa di rumah itu banyak benda-benda visual Katolik. Twinkle bercerita bagaimana asal-usul benda-benda itu. Teman-temannya merasa heran. Twinkle memberi tahu bahwa masih ada loteng rumah yang belum mereka jamah. Entah hasrat dari mana, tiba-tiba mereka ingin naik ke atas loteng dan mencari apakah ada lagi benda-benda sejenis. Seperti perburuan harta karun, teman-teman Amerika dan India mereka bersama-sama dan penuh semangat naik ke loteng.
Sanjeev tercenung. Di kepalanya timbul kekhawatiran loteng rumah akan runtuh sembari ia membayangkan dirinya akan menghancurkan benda-benda yang ada atau membuangnya sementara semua orang sedang berada di loteng. Tak lama kemudian Twinkle dan teman-temannya muncul dengan temuan baru: sebuah patung dada seberat 30 kilogram yang indah dan menawan. Teman-temannya ikut puas seperti telah berhasil melakukan perburuan.
Berbeda dengan benda-benda sebelumnya yang tampak pasaran, patung ini dibuat dengan teknik seni tinggi. Ekspresi wajah patung itu percaya diri. Sanjeev tak bisa menutup mata pada keindahan patung ini, tapi hal ini pula yang membuatnya makin tidak suka. Apalagi ia tahu Twinkle pasti akan menyukai patung ini.
Ketika Twinkle meminta izin memajang patung itu di ruang kerjanya, Sanjeev hanya diam lalu memutuskan masuk kamar dengan kepala pening. Cerpen berakhir.
“Rumah yang Diberkati” adalah ilustrasi mengenai paradoks agama. Benda-benda visual keagamaan yang (pasti diharapkan) memendarkan berkat kepada penghuninya malah membuat suami istri muda ini terpecah belah. Apakah Sanjeev dan Twinkle akan bercerai karena persoalan itu? Pertanyaan tersebut mungkin mengambang di kepala pembaca. Kalaupun tidak, setidaknya pertengkaran jelas terus mengisi perjalanan hubungan mereka.
Baca edisi sebelumnya: Mengajari Cara Berdoa yang Benar dan tulisan di kolom Iqra lainnya.