MOJOK.CO – Di Arab, orang-orang saling berebut untuk memberikan makanan berbuka. Buka bersama pun terasa begitu semarak di mana-mana.
“Mari berbuka bersama kami.” Pinta seorang anak kecil kepada saya ketika hendak memasuki areal pelataran masjid Nabawi.
Keberkahan bulan Ramadan, bagi kami para pencari takjil garis keras amatlah terasa. Tawaran untuk buka bersama dan sahur senantiasa ada. Cukup mencari di sekitar pelataran haram Nabawi, maka kami bisa hidup selama 30 hari ke depan tanpa mengeluarkan sepeser pun uang.
Sebetulnya di setiap hari yang disunahkan berpuasa seperti senin-kamis, ayyamul bidh (13, 14, 15 hijriah tiap bulan), dan lainnya ada saja yang menawarkan ajakan untuk buka bersama di dalam Masjid Nabawi. Namun, ketika musim Ramadan tiba, ajakan untuk buka bersama di Arab terasa lebih agresif lebih dari biasanya. Selain itu, makanan yang ditawarkan pun lebih banyak dan variatif.
Kembali ke anak kecil tadi. Dia memang sudah terlihat menunggu siapa saja yang keluar dari tempat wudu. Ketika saya keluar dan selesai berwudu, tanpa ba bi bu dia langsung menarik tangan saya sambil menggenggam erat. Karena mood saya lagi enak, saya pasrah saja dibawanya ke tempat sufroh atau alas tempat menaruh makanan milik kelompoknya. Tapi jika mood sedang kurang enak, biasanya saya akan menolaknya secara halus.
Dalam bulan Ramadan, biasanya saya sering menolak ajakan untuk buka bersama dari orang-orang. Bukannya apa, kadang memang saya hanya ingin berdiam di masjid lalu ketika waktu mulai mendekati maghrib saya lebih memilih berbuka di luar masjid—di mana makanan yang ada lebih banyak dan beraneka. Ya, sekali-kali nolak lah, masa seringnya ditolak mulu. Eh.
Pada tiap Ramadan biasanya sajian yang disuguhkan terdapat dua macam. Makanan berat dan ringan. Di dalam bangunan masjid hanya diperbolehkan jenis makanan ringan. Komponennya biasanya terdiri dari, roti gandung yang disebut syuraik, ada kurma pastinya—dengan ragam jenis dari mulai kurma basah alias ruthab, kurma nabi dan kurma sukkari alias kurma madu. Ada juga yang disebut duggah sejenis bubuk rempah, dan terakhir ada zabadi alias yoghurt padat.
Untuk minumannya, ada teh, gahwah (kopi Arab), dan air zam-zam. Teh dan kopi dihidangkan dalam gelas kecil berukuran sekitar satu sloki. Salah seorang guru saya yang juga alumni kampus yang sama dengan saya pernah menjelaskan, alasan kopi dan teh di Arab disajikan dalam ukuran gelas kecil.
Kata beliau, yang pertama supaya teh atau kopi panas yang disajikan akan cepat dingin. Jadi budaya mereka memang meminum teh atau kopi dalam keadaan hangat. Oleh karenanya, saya pribadi belum pernah lihat wujud es kopi terlebih es teh di restoran-restoran pada umumnya di Arab. Yang kedua, karena ukuran hidung orang arab yang mancung. Jadi kalau gelas kecil risiko hidung yang nyangkut ke dalam gelas menjadi tidak ada. Yhaa baiquelaa~
Sedangkan di luar bangunan masjid, diperbolehkan untuk membawa makanan berat. Semisal nasi dengan lauk entah ayam atau daging. Ditambah macam buah-buahan dari mulai pisang, apel, jeruk. Ada juga tambahan jus buah kemasan dan es sirup.
Semua ini yang menyediakan adalah pihak muhsinin alias donator pribadi. Biasanya tradisi ini diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka memang menganggarkan khusus dari pendapatan mereka untuk hajatan satu tahun sekali ini.
Mereka melakukan ini semata karena mengharapkan rida Allah dan tentunya mengamalkan sunah Nabi Muhammad. Pasalnya, kata beliau dalam satu hadisnya, “Barang siapa yang memberi makan berbuka kepada orang yang sedang berpuasa, maka dia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut sedikit pun juga.”
Oleh karena itu, dalam tiap sufroh atau tempat sajian buka bersama di Arab berbeda isinya tergantung dari isi kantong si donator. Buat mahasiswa sobat misqueen dan kereaktif seperti saya, wajib hukumnya untuk mengetahui dimana letak-letak sufroh strategis dan mengenyangkan.
Nah yang premium ini ibarat seorang gadis kembang desa, maka jenis sufroh mewah tentu banyak yang mengincarnya. Jadi diperlukan strategi khusus untuk bisa duduk di tempat itu. Seperti datang pada awal waktu, misalnya.
Bulan Ramadan adalah bulan berbagi. Dalam salah satu hadis dijelaskan bahwa kedermawanan Nabi Muhammad pada saat Ramadan seperti angin yang berhembus. Artinya, cepat sekali beliau mendermakan hartanya seperti angin yang berhembus. Sekaligus ada kesejukan sebagaimana karakteristik angin itu sendiri.
Ulama mengatakan bahwa angin di situ adalah angin yang membawa awan mendung. Dari awan mendung tersebut mengandung air hujan yang dari air itu akan menumbuhkan ragam tumbuhan yang kemudian akan dimakan oleh makhluk hidup lainnya. Seperti itulah kedermawanan Nabi pada bulan Ramadan: sangat luas dan menyeluruh nilai kebaikan yang terkandung di dalamnya.
Jelas ya, bahwa Ramadan adalah bulannya berbagi kebaikan dan bukannya bulan berbagi hoax atau berita palsu dan fitnah~
Teladan dari Rasul ini betul-betul diaplikasikan oleh para muridnya. Jika ia sedang menyantap hidangan berbuka lalu ada seorang yang membutuhkan makanan, dia akan berdiri kemudian menyerahkan makanan itu lalu kembali ke keluarganya. Jadi manakah yang lebih sering kita lakukan? Buka bersama dengan teman-teman sekolah yang sudah pada tajir? Atau buka bersama dengan para hamba Allah yang membutuhkan?
Selain itu, sudahkah kita berbagi sedekah kepada para fakir miskin terlebih sedekah perhatian kepada para tuna asmara?