Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Nggak Jadi Illfeel sama Fiki Naki yang Manggil Dirinya Sendiri Pakai Nama

Lya Fahmi oleh Lya Fahmi
27 Februari 2021
0
A A
kata panggilan nggak jadi illfeel sama fiki naki yang memanggil dirinya sendiri pakai nama kebiasaan di riau pekanbaru minang sopan santun budaya mojok.co

brur kata panggilan nggak jadi illfeel sama fiki naki yang memanggil dirinya sendiri pakai nama kebiasaan di riau pekanbaru minang sopan santun budaya mojok.co

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Sebagai anak Pekanbaru yang udah kelamaan tinggal di Jogja, aku sempat “Ih, apa sih” ketika denger Fiki Naki nyebut dirinya sendiri “Fiki”. Terus aku inget, “Yeee, di Riau kan emang gitu adatnya.”

Tempo hari aku iseng menonton Fiki Naki di #closethedoor-nya Deddy Corbuzier. Beberapa menit di awal, aku langsung menyadari Fiki menyebut dirinya sebagai “Fiki”, bukan aku, saya, apalagi gue. Sisi Jawa-ku langsung menggelinjang mendengar dedek cakep itu menyebut nama untuk dirinya sendiri. Kegantengannya langsung luntur sekian puluh persen dalam persepsiku. Mendengar dia menyebut namanya sendiri, rasanya geli.

Iya, segeli teman-temanku saat aku masih senang menyebut namaku sendiri dulu. Dulu, empat belas tahun yang lalu.

Sebagai anak kampung yang meninggalkan kampung halaman dengan sukacita karena akan menjadi Gadjah Mada Muda, aku tak pernah menduga bahwa urusan kecil seperti penyebutan kata ganti orang pertama akan menjadi hal yang membuatku kesal dengan Jogja.

Iklan

Caraku menyebut nama sendiri untuk menggantikan “aku” atau “saya” menjadi bahan olok-olok. Aku tak pernah tahu bahwa di Jogja menyebut nama sendiri untuk merujuk “aku” kurang bisa diterima.

“Kamu lucu banget sih, Ly? Kamu ngomong pake nyebut nama tu kesannya sok imut dan manja,” tegur seorang temanku saat kami sedang mengikuti Psikologi Rumah Kita. Mendengar itu, sebagian egoku yang merasa aku ini sosok garang dan berkarisma tak terima disebut sok imut dan manja.

Aku tak tahu mengapa menyebut nama sendiri itu diasosiasikan dengan sok imut dan manja. Aku ingin memberikan sedikit ilustrasi mengapa menyebut nama sendiri itu sulit diterima oleh aku yang baru keluar dari kampung halaman sebagai sok imut.

Ayahku namanya Fahmi. Panggilan masa kecilnya adalah Ami. Pada usianya yang sudah 70 tahun, ia akan refleks menyebut dirinya “Ami” ketika berbicara dengan kakaknya sendiri.

“Ami ndak setuju kalau….”

Andai kalian mengenal ayahku, sosok yang tegas, berwibawa, dan tokoh Muhammadiyah, menyebut nama untuk sok imut tu jadi nggak cucuk gitu lho.

Keputusanku untuk menyebut nama ketika awal-awal di Jogja semata-mata karena belum merasa dekat dengan teman-teman baru di Jogja. Rasanya, sangat tidak sopan jika aku langsung menyebut “aku” pada orang yang belum terlalu akrab.

Kenapa tidak sopan?

Padanan kata “aku” dalam bahasa daerah kami di Riau adalah “aden” atau disingkat menjadi “den”. Penggunaan “den” untuk menunjuk diri sendiri dalam percakapan hanya dilakukan ketika kita bercakap-cakap dengan teman sepantaran atau teman-teman akrab.

Penggunaan kata “den” menjadi terdengar kasar apabila itu kita gunakan pada orang yang lebih tua, orang yang derajat sosialnya lebih tinggi, atau pada orang yang baru kita kenali. Intinya, menggunakan “den” pada sembarang tempat akan dilihat sebagai sikap yang tidak menghormati

Maka dari itu, anak-anak Pekanbaru dan sekitarnya akan refleks menyebut namanya sendiri ketika mereka berbicara dengan orang tua, guru, pasangan, pak tuwo, mak tuwo, etek, pak etek, atau siapa pun yang baru mereka kenali. Menyebut nama dirasa lebih sopan daripada harus menyebut “aku”.

Lalu, kenapa tidak menyebut “saya”?

Mana ada orang Pekanbaru menyebut “saya” untuk dirinya sendiri? Menyebut “saya” terasa terlalu “bahasa Indonesia” untuk percakapan sehari-hari.

Selain itu, untuk alasan yang tidak kuketahui secara pasti, orang-orang di kampung kami memang punya citarasa yang negatif terhadap orang yang beraku-aku. Membahasakan diri dengan “den” atau “aku” sangat jarang dipilih untuk obrolan yang tidak benar-benar akrab.

Jika kita bercakap-cakap dengan orang yang tak cukup dekat untuk “berden-den”, tapi juga tak terlalu jauh jarak psikologisnya sampai harus menyebut nama, kata ganti orang pertama akan berubah menjadi “awak” (kita), “kami”, atau “ambo” (hamba).

Kata “awak” dan “kami” tentu saja tak secara spesifik menunjuk pada diri sendiri. Kata “ambo” langsung merujuk pada diri sendiri tapi dalam versi yang lebih rendah hati. Pokoknya entah kenapa mengaku-aku itu rasa bahasanya terkesan kasar, sombong, dan egois. Persis seperti orang Korea yang tak menyatakan kepemilikan dengan “milikku”, tapi “milik kami”.

Lha, terus orang Jawa yang selalu beraku-aku itu salah menurutmu, Mbak?

Ya enggak lah. Ini kan cuma perkara psikologi lintas budaya. Beda budaya, beda makna. Hal yang ingin aku sampaikan hanyalah jangan terlalu yakin dengan pemaknaan kita sendiri karena bagi orang-orang dari budaya yang berbeda, sangat mungkin sebuah stimulus yang sama dimaknai dengan cara berbeda.

Anggap saja tulisan ini berbagi cerita untuk meningkatkan pemahaman antarbudaya. Kita adalah bangsa dengan beragam budaya dengan cara pemaknaan yang berbeda-beda. Ragam budaya memang bisa menjadi kekayaan, tapi di sisi lain juga bisa menjadi kerentanan.

Untuk mengurangi kerentanan itu, aku pikir sangat penting untuk memahami orang lain sesuai dengan pemaknaan orang tersebut, bukan dengan pemaknaan kita. Sikap fenomenologis, istilah kerennya.

Sikap fenomenologis sangat penting agar kita tidak menjadi seperti A.A. Navis. A.A. Navis pernah menulis dalam autobiografinya bahwa ia menjadi kurang sreg pada Bung Karno hanya karena Bung Karno pernah berpidato di depan khalayak Minang dengan kata sapaan, “Kamu-kamu sekalian….”

Bayangkan, kita bisa jatuh tak menyukai orang lain hanya karena persoalan rasa bahasa itu.

Aku tak ingin menjadi seperti itu. Aku ingin bersikap fenomenologis dengan memaknai kata ganti “aku-kamu” sesuai dengan cara teman-teman Jogja memaknai kata ganti itu.

Dengan sikap fenomenologis, aku nggak jadi illfeel sama Fiki Naki. Ia hanya berusaha untuk sopan. Dan dengan begitu, dalam imajinasiku Fiki Naki kembali menjadi sosok dedek-dedek emesh yang menyenangkan dan tampan 🙂

BACA JUGA Teori Soal Kenapa Orang Sunda Tidak Menikah dengan Orang Jawa dan esai Lya Fahmi lainnya.

Terakhir diperbarui pada 27 Februari 2021 oleh

Tags: budayafiki nakiminangnama diripanggilanpekanbarupsikologiriau
Iklan
Lya Fahmi

Lya Fahmi

Psikolog, tinggal di Yogyakarta.

Artikel Terkait

Pacu Jalur Direcoki Pemerintah Jadi Cringe dan Nggak Seru Lagi MOJOK.CO
Esai

Saat Negara Turut Campur Aura Farming Pacu Jalur, Semua Jadi Terasa Cringe dan Nggak Seru Lagi

14 Juli 2025
Setelah 6 Tahun Merantau ke Luar Jawa, Saya Jadi Takut untuk Kembali Kerja di Jakarta MOJOK.CO
Esai

Setelah 6 Tahun Merantau ke Luar Jawa, Saya Jadi Takut untuk Kembali Kerja di Jakarta

11 Juni 2025
Belajar Bahasa Inggris Cocok untuk Atlet Brain Rot kayak Kamu MOJOK.CO
Esai

Belajar Bahasa Inggris Adalah Tahap Awal untuk Memanusiakan Diri bagi Atlet Brain Rot seperti Saya

10 Juni 2025
Cerita 2 Pemuda yang Hidup di Jakarta: Harusnya Merantau ke Jakarta dari Dulu, Nggak Perlu Mampir Jogja! minang
Liputan

Perjalanan Perantau Minang Menantang Jakarta: Jakarta Itu Keras, Lebih Baik Putar Balik!

23 Juni 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar




Terpopuler Sepekan

Komunitas Sanggar Alam: Sekolah Alternatif yang Menjadi Ruang Hidup

Komunitas Sanggar Alam: Sekolah Alternatif yang Menjadi Ruang Hidup

4 Oktober 2025
Insentif Guru Pengurus MBG Membuktikan Ternyata Negara Bisa Menyelesaikan Masalah Kesejahteraan Guru, Cuma Nggak Mau Aja

Insentif Guru Pengurus MBG Membuktikan Ternyata Negara Bisa Menyelesaikan Masalah Kesejahteraan Guru, Cuma Nggak Mau Aja

2 Oktober 2025
Adoh Ratu Cedhak Watu jadi tema Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025 di Gunungkidul MOJOK.CO

Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025: Menyerap Etosa Budaya Gunungkidul dalam Adoh Ratu Cedhak Watu

4 Oktober 2025
Jurusan Gizi Unesa dijahili. MOJOK.CO

Mahasiswa Jurusan Gizi Sering Dijahili, padahal Mereka Juga Manusia Biasa yang Nggak Melulu Bisa Hidup Sehat 

2 Oktober 2025
Jalan Kaliurang, Jalan Paling Tidak Ramah Pejalan Kaki Mojok.cp

Jalan Kaliurang, Jalan Paling Tidak Ramah Pejalan Kaki 

4 Oktober 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.