Nggak Cuma NU, Wahabi Juga Punya Garis Lucu

Dari mulai pelarangan salat jenazah, pesta seks di surga, operasi caesar karena gangguan jin, sampai vaksin adalah agenda zionis global, semua topik itu bikin saya yang calon Lc ini berdebar-debar tak keruan. Makin kemari temlen jemaah pesbuk kok semakin banyak diisi ceramah seram. Dan yang disalahin selalu Wahabi.

Padahal, kalau mau dirunut, ulama sekarang tak hanya mewarisi ilmu dari generasi sebelumnya, tapi juga kebiasaan melucu dan woles dari kitab-kitab karya mereka, termasuk dari ulama Wahabi. Tentu lucunya masih dalam bingkai yang diperbolehkan syariat, bukan guyonan nyinyir model Abu Janda dan pengikutnya.

Bicara sanad kelucuan, kita tak bisa lepas dari Baginda Nabi Muhammad. Beliaulah role model tradisi ini. Kita bisa tahu dari, misalnya, cerita populer tentang Baginda Nabi dan seorang nenek tua berikut.

Alkisah, seorang nenek berharap doa dari lisan Nabi yang mulia agar bisa masuk surga. Nabi lalu menjawab bahwa di surga nggak ada nenek-nenek, yang segera membuat si nenek menangis. Nabi lalu memerintahkan para sahabat supaya memberi penjelasan kepada si nenek bahwa maksudnya, dia nggak akan masuk surga dalam keadaan tua karena tiap-tiap yang masuk surga akan diremajakan kembali.

Cerita tadi hanya satu fragmen kecil kehidupan Nabi yang nyantai. Ada banyak hadis yang menceritakan kewolesan Nabi dan para sahabatnya. Misalnya kisah sahabat Nabi bernama Nu’aiman bin Amr yang karena saking lucunya, sampai didoakan Nabi bahwa “Nu’aiman akan masuk surga sambil tertawa, karena ia sering membuatku tertawa”.

Tradisi kelucuan generasi setelahnya juga diwarisi seorang tabiin bernama Amir bin Syarohil yang masyhur dikenal dengan nama Asy-Sya’bi, seorang imam dan guru besar para ahli hadis di masanya. Beliau dikenal suka nge-kick balik para penanya yang kadang bikin beliau gmz dan kzl.

Suatu ketika beliau ditanya. “Tad, apa boleh seorang muhrim (orang yang berihram) untuk garuk-garuk?”

“Ya bolehlah,” jawab beliau.

Belum puas, orang tadi nanya lagi, “Mmm … kira-kira bolehnya seberapa ya?”

“Sampai tulangnya keliatan.” Sang imam terkekeh.

Di lain kesempatan beliau juga ditanyai tentang satu hadis yang berbunyi, sahurlah kalian walaupun cuma dengan tanah yang menempel di jari kalian. Si penanya bilang kepada Imam Asy-Sya’bi , “Pertanyaan saya, Pak Ustadz, ini pakai jari apa ya?”

Sang Imam mengangkat jempol kakinya sendiri kemudian berkata, “Pakai ini.”

Beliau juga pernah didatangi seorang laki-laki yang mengeluhkan rumah tangganya. “Ustadz,” kata tamu itu, “saya nikah sama seorang perempuan, eh tahu-tahunya saya lihat kakinya pincang. Apa boleh saya ceraikan dia?”

Jawab sang imam, “Kalau ente mau balapan lari sama dia, tafadhol (boleh) ente cerai.”

Pernah juga Asy-Sya’bi ditanyai tentang siapa nama istri Iblis. Dengan woles beliau jawab, “Waduh, saya kebetulan nggak datang pas kawinannya.”

Nama ulama besar lain yang menambah koleksi orang woles dalam khazanah Islam adalah Sulaiman bin Mihran alias Al-A’masy. Beliau juga imam besar pada masanya; pendekar hadis yang namanya seliweran di kitab-kitab hadis babon.

Sebagaimana yang tertulis dalam Siyar Alam an-Nubala karangan Adz-Dzahabi, Imam Al-A’masy dikisahkan kadang suka me-roasting lawan bicaranya. Tak peduli anak sendiri, murid, ataupun orang asing.

Pernah beliau nyuruh anaknya untuk beli sebuah tali di warung. Oleh si anak ia ditanya, “Panjangnya berapa, Bi?”

“Sepuluh hasta.”

“Mmm, lebarnya?”

“Selebar musibah diriku karenamu,” jawab sang imam kzl.

Suatu ketika ada muridnya yang bernama Husain bin Waqid datang untuk mengaji sorogan (metode mengaji yang mana murid membaca kitab di depan kiai). Setelah sorogan, si murid meminta komentar kepada sang imam mengenai bacaannya barusan. Dengan enteng sang imam menjawab, “Nggak ada keledai yang lebih fasih bacanya daripada ente.”

Lain lagi ketika ada seseorang dengan jenggot besar datang menghampiri sang imam ketika beliau sedang mengisi taklim bersama murid-muridnya. Laki-laki berjenggot tadi lalu menanyakan sebuah permasalahan kecil mengenai salat.

Sang guru pun menoleh ke arah murid-muridnya kemudian bilang, “Tuh lihat orang itu, jenggotnya bisa muat empat ribu hadis, tapi masalah yang ditanyain cuma masalah anak SD.”

Rekan sejawat Al-A’masy, Imam Abu Hanifah, juga pernah menjawab satu permasalahan dengan jawaban yang bikin nyengir.

“Ustadz, kalau saya mandi di kali, yang bagus saya menghadap kiblat atau ke mana ya?”

Imam Abu Hanifah menjawab, “Baiknya ente menghadap arah di mana ente naruh baju, biar nggak diambil orang.”

Kisah kiai-kiai woles kayak gitu sebenarnya masih ada sampai sekarang. Di Indonesia tentu orang NU boleh bangga dengan diskografi cerita humor mereka. Buktinya banyak, berserakan di dunia maya atau diceritakan lisan saat ngopi. Oleh karena itu, saya nggak akan mengutip riwayat-riwayat tersebut. Saya yakin seyakin-yakinnya, sebagian pembaca Mojok adalah orang-orang NU, selain tentunya para jomblo haus hiburan. Jadi, saya akan mengutip kisah-kisah jenaka dari oposisinya NU.

Muhammadiyah? Nehi.

Cukuplah al-Ustadz al-Mukarrom Iqbal Aji Daryono saja yang jadi teladan Muhammadiyah dalam sanad kelucuan.

Kelompok yang akan saya kutip di sini jamak dikenal dengan istilah Wahabi. Agak melenceng dari kesan sebagian besar orang bahwa gerakan ini kering akan humor dan senantiasa kaku, sebenarnya ada beberapa kisah tentang pembesar kaum ini yang tak segan bikin kita senyum Pepsodent.

Kisah pertama: suatu hari seorang murid bersama Syekh Al-Albani (ulama hadis Salafi) mengendarai mobil. Ketika itu Syekh yang jadi driver, memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sang murid mengingatkan gurunya bahwa menurut Syekh Bin Baz (eks mufti/penasihat Kerajaan Saudi Arabia), ngebut di jalan adalah salah satu bentuk perbuatan mencelakai diri sendiri.

Dibilangin begitu, Syekh Albani malah menjawab, “Fatwa itu keluar dari orang yang nggak bisa nyetir.” Si murid yang kaget kemudian ngomong, dia akan melaporkan jawaban syekh kepada sang mufti. “Silakan,” tantang Syekh Albani.

Akhirnya si murid berhasil menemui sang mufti kerajaan. Ketika selesai mewartakan apa yang terjadi, Syekh Bin Baz tertawa sekaligus berkata, “Kalau itu, fatwa dari orang yang belum ngerasain bayar diyat (denda karena menabrak).”

Ulama salafi lainnya, Syekh Utsaimin, yang terkenal karena karyanya banyak sekali, pernah ditanya oleh seseorang. “Syekh, kalau kita nyetel rekaman murottal (pembacaan Al-Quran) di radio, terus sampai pada ayat sajadah (ayat yang mengharuskan sujud), apakah kita harus sujud juga?”

“Sujud kalau ente lihat radionya juga sujud,” kelakar sang syekh. Memang, dalam fikih, makmum harus sujud ketika melihat imam sujud tatkala membaca ayat sajadah.

Demikianlah ragam kisah kewolesan para generasi pendahulu. Mungkin dengan banyaknya kita membaca Mojok sejarah kehidupan mereka, akan sedikit mengobati mata dari melihat temlen-temlen yang tiap hari isinya seputar debat kusi antara cebongers dan kaum bumi datar.

Exit mobile version