Mudik Lebaran untuk Nostalgia yang Tidak Ada Padanannya

mudik

MOJOK.CO – Pesan untuk yang mudik lebaran dari Calon Pemimpin Redaksi Mojok. Para mudikers sedunia, hati-hati ya. Titip salam untuk kucing di kampung halaman. 

Ramadan sudah di ujung, hampir selesai. Barisan saf salat tarawih sudah mulai berada pada angka yang memuaskan, karena sudah mulai terlihat deret kemajuannya. Semakin lama semakin mendekati imam. Subhanallah.

Orang-orang di luar kampung halaman sudah mulai sibuk mempersiapkan atau sudah mudik lebaran. Pulang dari hijrah yang biasanya jadi tantangan terbuka bagi Pemerintah, terutama juga buat Menteri Perhubungan dalam menjalankan tugas. Bisa enggak bikin mudik lebaran lancar? Atau cuma begitu-begitu aja? Untung deh, sampai tulisan ini dibuat, belum ada kejadian semacam Brexit seperti musim kemarin—moga-moga sih enggak bakalan ada.

Mudik lebaran, bagi banyak orang adalah perjalanan panjang menuju hari yang baru. Ia jauh lebih punya makna ketimbang sekadar perjalanan menuju alun-alun pada malam tahun baru untuk menonton indahnya kembang api atau penantian jebolan nonton konser Slank atau Habib Syekh.

Sebagai sebuah perjalanan, mudik juga adalah salah satu perjalanan yang paling pantas untuk diperjuangkan. Harga tiket boleh mahal, kondisi transportasi boleh amburadul, bekal boleh tak seberapa, namun begitu, mudik ya harus tetap jalan. Makan enggak makan asal kumpul, punya enggak punya yang penting mudik.

Mudik lebaran menjadi ritual yang sangat berarti, sebab ia memang menjadi ajang pelarian yang paling menyenangkan. Semacam pengikis endapan segala rupa yang serba menyedihkan di tanah rantau: angkuhnya kota, galaknya atasan, menyebalkannya rekan kerja, egoisnya gaya hidup urban, ketusnya gebetan, seksinya pendapatan, dan segala pergulatan-pergulatan buruk lainnya.

Ya maklum, di kota, manusia tumbuh menjadi manusia yang tidak manusia. Tumbuh pada kultur yang sangat bukan dirinya. Lingkungan yang jauh dari guyubnya desa, tuntutan pekerjaan yang kejam dan sering tidak beperikemanusiaan, pergaulan yang terlalu showbiz, mau tak mau membuat banyak manusia lupa akan identitasnya. Di kota, manusia hidup dengan sangat mekanis. Macam mesin ATM saja. Duit banyak, tapi monokrom, eh, monoton.

Oleh karenanya, mudik lebaran jadi punya posisi yang penting, sebab ia menawarkan terapi yang paling tokcer untuk mengembalikan manusia pada kediriannya. Bertemu dengan keluarga, kerabat, sanak-saudara, di tempat yang begitu hangat, dengan makanan yang terasa akrab di lidah, meski selalu saja ada pertanyaan-pertanyaan serangan ala-ala sidang skripsi pada hari raya.

Paling tidak mudik lebaran menjadi pembuktian paling hakiki, bahwa semaju dan sesukses apa pun seseorang di rantau, ya ia tetaplah anak ingusan dari kampung halaman. Tetap bocah dusun. Cuma ukuran baju dan celana dalamnya aja yang berubah, seleranya? Ya tetap begitu-begitu saja, tetep bocah. Sudah pernah makan di restoran mahal bintang lima se-Indonesia, cicip-cicip jajanan kuliner se-dunia yang muahal punya, eh, yang dikangeni ya tetep sayur asem, tempe goreng, dan sambel terasi bikinan orang tua.

Pada akhirnya, sudah wajar kalau momen mudik lebaran bakalan menjadi laku yang begitu emosional. Perjalanan kembali ke kampung halaman itu tak hanya menarik kita kepada kenangan-kenangan nostalgik yang semakin hari semakin terkikis. Lebih dari itu, ia mengedarkan ingatan pada halaman rumah di mana kita biasa bermain gundu, pohon di mana kita dulu terbiasa mencuri rambutan, atau sungai di mana kita dulu sering mandi telanjang bersama kawan-kawan sambil cari cetul, wader, atau piranha.

Perjalanan kembali itu menjadi begitu suci, ia tak ubahnya seperti ritual haji. Dengan rumah sebagai kakbahnya, telapak tangan ibu sebagai hajar aswadnya, antri macet perjalanan sebagai tawafnya, biskuit Khong Guan sebagai kurmanya, serta Sirup Marjan sebagai air zam-zamnya.

Kita semua boleh saja menunaikan salat subuh di Masjidil Haram, salat duhur di mushola kecil di salah satu sudut pusat perbelanjaan, salat asar di rest area tepi jalan Pantura, salat magrib di Masjidil Aqsa, salat isya di kamar kos yang bau dan butut, atau salat tarawih di Pelataran Monas. Tapi khusus untuk Salat Ied, kita semua sepertinya sepakat, bahwa tempat terbaik untuk menunaikannya adalah di halaman masjid di kampung kelahiran kita berada.

Dan tulisan ini merupakan pesan buat kalian yang sudah mudik lebaran atau sedang dalam sukacita menjalaninya. Selamat bernostalgia. Nikmati mudikmu. Tuntaskan rindumu, dan syukuri lebaranmu.

Di luar sana, ada banyak orang yang terpaksa menangis sedih sebab tak bisa pulang ke kampung halaman. Meski ada juga yang biasa saja enggak ada sedih-sedihnya karena memang sudah jadi tugas negara.

Yang jaga perlintasan kereta, jaga persimpangan simpang lima, jaga jalanan perbatasan antar-kota antar-desa, sampai jagain berita di depan layar kaca. Kepada mereka semua, muakasih lho ya. Kelen semuwa luwaaar biyaaasaaaa~…

Terakhir, izinkan saya untuk mengutip sebuah fragmen tak terbayangkan, yang oleh Didi Kempot dilantunkan dengan begitu sentimentil dalam tembangnya “Tulisan Tangan”:

Udan-udan dalane lunyu… (Hujan-hujan jalannya licin)”

Lintange ndelik mbulane turu… (Bintangnya sembunyi, bulannya tidur)”

Langite mendung ing wanci ndalu… (Langitnya mendung waktu malam)”

Nambahi kangene atiku… (Menambah rindu hatiku)”

Sworo takbir ngelingke aku… (Suara takbir mengingatkan aku)”

Pengin nangis jroning batinku… (Ingin menangis jauh di lubuk batin)”

Karep mulih ora nduwe sangu… (Ingin pulang tapi tidak punya uang saku)”

Ra biso sungkem romo lan ibu… (Tidak bisa sungkem ayah dan ibu)”

Salam cinta untuk mudikers sedunia. Hati-hati di jalan ya, Lur. Enggak usah kenceng-kenceng, santai aja, pelan-pelan aja, kalau perlu dituntun. Yang penting sampai kampung halaman dengan selamat dan jangan lupa untuk bahagia luar-dalam.

Exit mobile version