Di hari peringatan kemerdekaan RI tahun ini, Kabanjahe, ibu kota Kabupaten Karo, Provinsi Sumatra Utara, terpantau ramai dan macet total. Ribuan orang terlihat antusias merayakan ulang tahun republik. Namun, bukan pawai kemerdekaan dan lomba panjat pinang yang paling ditunggu. Ada alasan lain mengapa masyarakat sekitar Karo dan bahkan warga Medan rela berbondong-bondong memenuhi pusat kota Kabanjahe: berburu sandang bekas.
Mungkin Kabanjahe adalah satu-satunya kota di Indonesia atau bahkan di dunia yang memeringati hari kemerdekaan negaranya dengan cara menyulap pusat kota menjadi pasar barang secondhand alias monza. Berbagai produk bekas mulai dari baju, sepatu, tas, seprai, hingga coverbed diperdagangkan di pasar yang hanya ada sekali setahun ini.
Teriakan “Harga merdeka!” kerap terdengar dari berbagai sudut. Dan harga merdeka tersebut memang bukan main-main. Saya betul-betul merasa merdeka semerdeka-merdekanya ketika mendengar harga barang yang ditawarkan pedagang. Satu tas ransel berbahan kulit asli ditawarkan hanya dengan harga 20 ribu! Jaket bermerek Crocodile asli dijual 30 ribu! Dan, yang paling mencengangkan, satu buah beach tank top kece merk Uniqlo—asli dan masih layak pakai—dibanderol dengan harga hanya seribu rupiah!
Seribu, Coy! Awak pening. Anak TK saja ketawa jika diberi uang jajan seribu. Namun, di Kabanjahe, hal itu menjadi mungkin. Seribu rupiah untuk sebuah produk bekas impor keluaran merek terkenal yang jika dibeli baru di outlet resmi harganya bisa mencapai 200 ribu.
Monza memang tidak bisa dipisahkan dari sejarah sosial dan budaya Sumatra Utara. Berbagai pusat monza dapat ditemui khususnya di wilayah Sumatera Utara bagian timur, seperti Medan, Berastagi, Kabanjahe, Tanjungbalai, dan Kisaran. Pada awalnya, istilah monza sendiri berasal dari fenomena sekelompok pedagang yang menjual barang bekas di sepanjang Jalan Monginsidi kota Medan di era 1970-an. Lama-kelamaan pasar tersebut kian ramai digandrungi kalangan kelas menengah layaknya pusat perbelanjaan mewah.
Sebutan Monginsidi Plaza pun muncul sebagai sindiran atas fenomena ini. Istilah plaza di Medan identik dengan mal dan pusat perbelanjaan mewah, yang mana sebenarnya kontradiktif dengan si Monginsidi Plaza itu sendiri. Entah siapa yang memulai, Monginsidi Plaza lalu disingkat menjadi monza. Sebutan monza kemudian menjadi kata baru untuk menyebut pasar dan produk barang bekas bagi masyarakat Sumatra Utara
Di Medan sendiri, pusat monza tersebar di beberapa titik strategis. Ada beberapa pusat monza yang luasnya berpotensi mengalahkan Stadion Gelora Bung Karno, antara lain pajak Melati, pajak Sukaramai, pajak Simalingkar, pajak Sambu, dan sebagian pajak Petisah. Berdasarkan hasil cakap-cakap dan ngopi saya dengan beberapa bibik dan namboru pedagang monza, barang yang dijual berasal dari Hong Kong, Malaysia, dan bahkan Turki! Barang-barang ini didatangkan dari seluruh dunia melalui pelabuhan Belawan dan Tanjung Balai. Sejak berpuluh tahun lalu, hingga membentuk kultur monza di Medan dan Sumatra Utara.
Namun, eksistensi monza mulai terancam. Pakaian impor dari Korea dan Bangkok sedang digandrungi di Medan soalnya. Meskipun harganya memang tidak bisa menandingi kegilaan harga produk monza.
Walau begitu, yang paling menggelisahkan adalah desas-desus yang meragukan higienitas produk monza. Isu yang berembus, produk monza disinyalir berpotensi menjadi media kuman dan penyakit yang berasal dari luar negeri. Ini membuat banyak orang ketakutan. Semakin memperparah keadaan, Wakil Presiden Jusuf Kalla malah sempat mengeluarkan pernyataan agar bisnis pakaian bekas yang dikirim dari negara-negara lain dihentikan karena mengancam perkembangan industri tekstil dalam negeri.
Sebagai fans sejati monza, kontan saya meradang melihat fenomena ini. Oleh karena itu, saya menyiapkan sebuah pleidoi yang berisi argumen-argumen ecek-ecek—cenderung fanatik—kenapa kita harus tetap merayakan budaya monza.
1. Monza sebagai solusi banyak gaya, sedikit daya
Penjelasan atas argumen ini sudah dijabarkan panjang lebar sebelumnya. Di mana lagi Anda bisa membeli tank top Uniqlo harga seribu, bosqu? Sudah pernahkah Anda melihat berbagai macam model jeans Levi’s digantung sembarangan dengan kisaran harga 50 ribu? Jika belum, berbelanjalah di monza.
Praktik bermonza memang menarik. Bagi orang yang berasal dari kalangan menengah ke atas, ia adalah guilty pleasure. Bagi kalangan wong cilik, ia adalah solusi untuk tetap bisa merayakan hari Natal dan Lebaran dengan memakai baju “baru” tanpa harus membeli dengan harga mencekik ke mal. Semua menang, semua senang.
2. Monza sebagai perwujudan utopia masyarakat tanpa kelas
Siapa itu yang sering ribut-ribut dan bermimpi basah akan adanya suatu kondisi tempat masyarakat bisa berbaur tanpa meributkan pertentangan kelas? Saya sarankan saudara untuk mengunjungi monza. Di tempat inilah situasi masyarakat utopia layaknya cita-cita Karl Marx dapat Anda saksikan. Mulai dari eksekutif muda dengan kendaraan Pajero Sport, pasangan suami-istri yang berprofesi sebagai dosen, hingga tukang becak dan inang parengge-rengge berkumpul dalam keriuhan berburu monza.
Selain bersatu, mereka juga melebur. Tidak terlihat adanya simbol-simbol perbedaan kelas yang berarti. Kelas borjuis dan semua orang lainnya memilih untuk memakai pakaian yang paling sederhana karena takut dicopet jika kelihatan terlalu mencolok soalnya. Belum lagi bibik dan namboru yang bisa-bisanya menaikkan harga hingga 300% harga normal jika mencium gelagat calon pembeli adalah orang kaya.
Segala atribut dan habitus yang menunjukkan strata sosial dibuang jauh-jauh. Aturan harga pasar disepakati oleh kelas proletar, yaitu namboru dan bibik pedagang monza. Lautan manusia yang berasal dari berbagai latar belakang melebur menjadi sebuah kesatuan, seperti dikomando oleh suara tak kelihatan. Sebuah komando, yang kiranya berbunyi “Wahai kaum pemburu monza seluruh dunia, bersatulah!”
3. Monza sebagai metode alternatif daur ulang
Limbah yang terus menggunung akibat tingkah manusia yang konsumtif merupakan masalah yang tak lagi terelakkan. Monza hadir dalam menjawab kegelisahan ini. Bersama koleganya tukang botot (pengumpul limbah rumah layak pakai), para bibik dan namboru pedagang monza berada di garda terdepan dalam menginisiasi aksi nyata daur ulang.
Barang dagangan berupa baju bekas yang sudah dipakai entah oleh siapa dan berasal entah dari mana itu tidak terbuang sia-sia. Ketika seseorang nun jauh di Hong Kong sudah bosan dengan baju so last year yang ia punya, baju tersebut tidak dibuang ke tempat sampah dan menjadi limbah. Beru Ginting di Berastagi sudah siap menampung baju tersebut. Berkat campur tangan para pedagang monza tadi.
4. Siapa bilang monza itu tidak higienis?
Untuk masalah ini, pemburu monza punya solusinya sendiri. Monza yang baru dibeli wajib direndam dalam air panas semalaman untuk menghilangkan bakteri dan kuman yang mungkin bersarang. Apakah metode ini telah terbukti secara ilmiah, entahlah. Yang pasti tips ini—seperti tips yang dimuat di rubrik Aduhai majalah Kartini tempo dulu—diyakini secara militan oleh masyarakat umum Sumatra Utara.
5. Monza sebagai atraksi wisata dan identitas kebanggaan kota Medan
Selama ini para turis hanya singgah sementara di Medan untuk melanjutkan perjalanan ke tempat wisata di Aceh, Danau Toba, maupun Bukit Lawang. Para turis ini kemudian datang hanya untuk terpapar asap knalpot becak dan terjebak galian drainase sana-sini—meski selalu bisa terobati dengan kuliner khas Medan yang memang tak terelakkan enaknya. Mereka juga mesti terkena polusi mata dengan banyaknya baliho ormas para ketua.
Namun, kini orang-orang bisa datang dengan gembira ke Medan. Untuk berburu produk bekas alias monza yang saya yakin paling murah se-Indonesia. Sejatinya memang kemunculan pasar-pasar yang menjual barang bekas di kota-kota di Indonesia terinspirasi dari monza Medan dan Sumatra Utara. Pajak monza yang ada di Medan-lah yang pertama, lalu diikuti oleh pasar barang bekas di kota-kota lain seperti Pasar Senen di Jakarta (yang juga dikuasai mamak-mamak Batak. Mamak-mamak Batak, kalian savage. I love you, girls).
Jika dikelola dan dipromosikan dengan cukup baik, bukan tak mungkin monza akan jadi atraksi utama wisata kota Medan. Dan bahkan bukan tak mungkin monza menjadi ikon utama kota Medan. Medan, The City of Monza.
Biarlah, agar sekali-kali hal baik yang terdengar dari kota para ketua ini. Jangan hanya “walikota gol” saja yang kerap terucap dari orang-orang luar Medan setiap kali ditanya tentang Medan. Sedih rasanya.
Demikian pleidoi ecek-ecek dari saya. Monza hadir meleburkan kelas dan perbedaan, mewujudkan sebuah ruang yang egaliter dan inklusif. Monza pun hadir mewujudkan ide daur ulang alternatif. Sesuatu seperti monza yang dianggap sepele dan bahkan hina bagi banyak orang ternyata mampu menyelesaikan banyak persoalan. Dan mampu menjadi alternatif untuk beragam macam perubahan sosial yang diidam-idamkan.
Karena monza adalah melawan.