MOJOK.CO – Meski Presiden Jokowi menggandeng KH. Ma’ruf Amin dan menjadi pencetus lahirnya Hari Santri, tapi santri juga rakyat biasa yang bisa punya pendapatnya sendiri-sendiri.
Kalau mau dipikirkan lebih lanjut, ditetapkannya Hari Santri Nasional sebenarnya tidak memberikan bukti baru betapa dekatnya para santri dengan pemerintahan era sekarang. Sebab, dalam sejarahnya, sudah sejak dulu santri punya andil yang tak sedikit dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Akan tetapi—harus diakui—pada periode tahun politik kali ini ternyata telah tercipta sebuah kondisi yang berat bagi para santri. Pasalnya kali ini santri tidak lagi berperan hanya sebagai komoditas suara paling potensial seperti pada Pemilihan Presiden (pilpres) 2014 silam (salah satunya karena ada Hari Santri) melainkan malah menjadi “aktor” alias dianggap sebagai salah satu sayap pendukung utama salah satu pasangan calon (paslon).
Pandangan ini muncul ketika salah satu guru kami (santri) masuk dalam dunia politik. Kita pasti sudah mengetahui siapa yang dimaksudkan di sini, beliau adalah KH. Ma’ruf Amin atau dulu lebih dikenal sebagai Rais ‘Amm PBNU sekaligus Ketua Umum MUI.
Kondisi ini mendadak membuat banyak pandangan yang menilai bahwa para santri secara otomatis akan menjadi “tim sukses” KH. Ma’ruf Amin karena didasari dari nilai sami’na wa atho’na santri terhadap salah satu guru dari kehidupannya. Bahkan sekalipun si guru tidak berkontribusi langsung pada keilmuan si santri—alias bertatap muka untuk belajar ngaji dan sebagainya.
Hal inilah yang membuat saya jadi bertanya-tanya, apakah hanya karena landasan sami’na wa atho’na-nya santri terhadap gurunya, maka sudah dipastikan bahwa seluruh santri bakal memilih Jokowi karena ada sosok KH. Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya pada pemilu mendatang?
Saya jadi membayangkan, jika ketika nanti hasil akhir Pilpres 2019 keluar, lalu—misalnya—KPU mengumumkan kemenangan kubu Jokowi-Ma’ruf, lalu apakah alasan “karena ada santri di belakang mereka” bisa dibenarkan?
Pandangan ini sih bisa saja benar, tapi saya pikir kok terlalu menggeneralisir jika sampai disebut begitu. Karena meski terlihat satu suara dan satu spektrum, tapi santri itu juga merupakan kumpulan individu yang tidak bisa digerakkan semudah itu.
Lagian, sebenarnya apa sih yang sudah orang lain ketahui tentang santri, Hari Santri, dan dunianya?
Andai kamu tahu bahwa di dalam kajian-kajian pesantren yang diutamakan adalah Adab al Muta’allim (Adab Santri), maka kamu akan tahu apa yang sebenarnya saya maksud.
Pada prinsipnya, seorang santri itu harus mau melakukan apa saja yang diperintahkan oleh gurunya. Karena hal semacam ini merupakan wujud atas penghormatan yang setinggi-tingginya terhadap sosok yang sudah memberi ilmu kepada si santri.
Sami’na wa atho’na dalam diri santri adalah hal yang paling utama karena ada kepercayaan bahwa bukan ilmu banyak yang utama, melainkan ilmu yang berkah. Ilmu yang bermanfaat dan berguna untuk kemashlahatan umat itu lebih dicari ketimbang sekedar tahu banyak tapi malah mengakibatkan banyak kerusakan.
Mungkin pada kategori demikian ini yang membuat status santri dianggap punya kekuatan politis yang sangat potensial ketimbang status murid dari sistem pendidikan lain yang bukan pesantren.
Akan tetapi pemahaman mengenai sami’na wa atho’na tidak hanya bisa dimaknai dalam pandangan sempit bahwa seluruh santri akan menyerahkan seluruh jiwa raganya pada sang kiai yang sudah mendidiknya pada segala aspek kehidupan. Terutama jika sami’na wa atho’na ini menyasar pada pemilihan pemimpin yang dijamin oleh undang-undang sebagai hak asasi sebagai warga negara.
Nah loh artinya mereka (para santri) bisa tidak patuh bukan sama kiainya?
Aduh, begini ya semuanya. Pada dasarnya hal semacam ini bisa kembali pada kebijaksanaan seorang kiai. Di mana seorang kiai yang bijak tidak akan meminta santri memilih pemimpin sesuai apa yang dia inginkan.
Kamu pilih nomor itu saja! Kamu jangan memilih dia!
Hal itu seyogyanya tidak terjadi karena setiap santri juga punya dunianya sendiri-sendiri. Punya pandangan sendiri, dan tentu saja punya keputusan-keputusan sendiri yang bisa jadi tidak sama dalam melihat persoalan di negeri ini.
Jika hal demikian bisa sampai terjadi, di mana seorang kiai memerintahkan muridnya untuk memilih dengan sosok yang sama dengan pilihan si kiai, maka seorang kiai baiknya akan menjelaskan alasan dan membuka pikiran dengan seluas-luasnya.
Kamu yakin? Ya saya sangat yakin.
Dalam Kitab Adab al-‘Alim Wa al-Muta’alim karya KH. Hasyim Asy’ari, kewajiban hubungan guru-murid dalam dunia pesantren tidak melulu jatuh pada sosok murid, melainkan juga jatuh pada seorang guru—yang dalam hal ini adalah kiai.
Memang apa kewajiban guru dalam bentuk adab misalnya? Salah satunya adalah seorang guru wajib mendekatkan muridnya pada hal-hal yang baik.
Kita tahu bahwa seorang guru yang bijak pasti memahami ilmu tersebut, maka dengan jelas apa yang mereka sampaikan atau perintahkan seharusnya untuk mengarahkan kepada kebaikan. Jadi jika seorang kiai pasti memahami adab guru seperti ini, lalu apakah mungkin mereka mengatakan hal-hal yang hanya menguntungkan dirinya sendiri tanpa memikirkan santrinya?
Kita bisa ambil contoh misalnya, ketika ada seorang kiai menerima “kunjungan silaturahim” dari tokoh politik di pondok pesantrennya, maka santri tidak bisa serta-merta menyimpulkan bahwa mereka yang sowan ini adalah sosok yang akan dipilih oleh sang kiai.
Lagian, kewajiban untuk menghormati tamu juga ada tuntunannya dalam agama. Maka seorang kiai membuka pintu dan menerima tamu “kunjungan” sebagai perwujudan atas ajaran agama Islam untuk memuliakan tamu. Jadi ketika ada kiai menerima banyak “tamu kunjungan” dari berbagai kubu—yang bisa jadi saling bertentangan—maka hal tersebut tidak salah bukan?
Halah, yang namanya santri itu kan hanya belajar agama tanpa tahu politik?
Eits jangan salah, dalam pesantren pun diajarkan bagaimana seorang santri juga bukan sekelompok manusia yang tidak melek pengetahuan di luar sana. Apalagi santri sendiri berasal dari bahasa Sanskerta “shastri” yang berarti melek huruf atau melek baca.
Santri diajarkan juga bagaimana tuntunan memilih ulil ‘amri yang baik, yang tidak hanya sesuai dengan ajaran agama melainkan juga pertimbangan lain seperti aspek sejarah, rekam jejak, bahkan juga apakah strategi yang dilakukan etis atau tidak, sekaligus melihat calon umara berdasarkan caranya membaur dengan masyarakat, bermuamalah, dan sebagainya.
Dengan kata lain, santri juga punya bekal untuk “sekadar” memilih pemimpinnya sendiri.
Sepertinya Anda terlalu melebih-lebihkan.
Saya sama sekali tidak berniat melebih-lebihkan, itu hanya salah satu upaya untuk memberikan pandangan dan mengubah pendapat orang umum terhadap santri.
Kalau sudah tahu cara memilih kok sampai repot-repot mau masuk ke ranah politik?
Seorang Baduizzaman Said Nursi memilih untuk terjun ke dalam dunia politik karena ada hal-hal yang tidak bisa dia jangkau ketika hanya menjadi ulama. Begitu pula dengan ulama lain yang bersebarangan antar satu dengan yang lain dalam pilihan politik. Dan sebagai santri, saya selalu ingin berpikir positif tentang pilihan mereka untuk masuk dalam dunia politik karena niat baik. Sudah cukup itu saja.
Meskipun banyak catatan sejarah yang menyebut ada banyak ulama yang memilih untuk “menjauh” dari dunia politik, namun—sekali lagi—ulama itu juga perlu memikirkan masyarakatnya dalam beragam aspek. Maka ketika diputuskan mereka perlu untuk terjun langsung menjadi bagian dari umara, saya pikir pilihan itu juga harus dihormati.
Tentu saja ini tidak hanya berlaku untuk KH. Ma’ruf Amin saja, melainkan juga para ulama, santri, atau umat Islam yang ada di kubu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Jadi tidak perlu khawatir, jika hanya karena Hari Santri dirayakan oleh Presiden Jokowi, lalu seluruh santri di Indonesia hanya akan mengarah pada salah satu pasangan calon. Sebab, santri itu juga rakyat Indonesia.
Dan sebagaimana rakyat biasanya, kami juga tidak bisa dipandang hanya sebagai kertas suara yang bisa diarahkan begitu saja tanpa punya pendapat pribadi meski sudah diistimewakan punya Hari Santri.