Meraba Ulang Peristiwa G 30 S: Miskalkulasi Fatal DN Aidit

Jika kembali kepada konteks global, suasana Perang Dingin, kita dengan sederhana bisa memaknai peristiwa G 30 S adalah peristiwa menangnya kubu Barat melalui tangan Soeharto dan Nasution atas Blok Komunis Soviet dan Cina.

Meraba Ulang Peristiwa G 30 S: Miskalkulasi Fatal DN Aidit MOJOK.CO

Ilustrasi Meraba Ulang Peristiwa G 30 S: Miskalkulasi Fatal DN Aidit. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COAlur pembahasan dan analisis terkait peristiwa G 30 S dipenuhi intrik dan nuansa misteri. Termasuk di dalamnya miskalkulasi yang dilakukan DN Aidit.

Sebagai generasi yang lahir di tahun 1980an dan mengalami masa perkuliahan jauh hari setelah reformasi bergulir, pada mulanya saya merasa kurang “ngeh” dan “sreg” berurusan dengan topik Gerakan 30 September 1965 atau G 30 S atau DN Aidit. Entah kenapa. 

Oleh sebab itu, ketika mendapat bahan-bahan, terutama buku dan hasil penelitian tentang materi tersebut, saya “skip” dengan apriori. Bahan-bahan tersebut tetap saya simpan sebagai bagian dari koleksi buku saya, terutama berupa ebook di ponsel dan notebooks. 

Setelah itu, saya memilih fokus memberikan prioritas pada bacaan-bacaan yang terkait dengan bidang saya. Misalnya bidang ekonomi, terutama ekonomi makro, ekonomi internasional, dan ekonomi politik internasional. Lainnya, saya juga suka sejarah ekonomi (Amerika, Rusia, Uni Eropa, Jepang, dan Cina), menyangkut sejarah kapitalisme global, moneter, krisis ekonomi, sejarah pemikiran ekonomi, dan sejenisnya. 

Saya berusaha sedemikian rupa, dengan segala resources dan koneksi untuk mendapatkan bahan-bahan mutakhir terkait semua topik tersebut. Tidak ada tempat untuk tema G 30 S atau DN Aidit.

Sejarah Perang Dingin yang menentukan

Seiring berjalannya waktu, masih tanpa tema G 30 S atau DN Aidit, minat saya berkembang. Masih tentang sejarah, saya mendalami sejarah Perang Dunia, baik pertama maupun kedua, kajian perang dingin, perkembangan geopolitik global, dan isu-isu terkait gejala Perang Dingin Baru (New Cold War) antara Amerika dan Cina.

Minat ini yang membuat saya kemudian cukup akrab, bahkan menyenangi pakar-pakar sejarah Perang Dingin. Tokoh yang saya kagumi, antara lain Odd Arne Westad, John Paul Gaddis, David Miller, Margaret MacMillan, Ralph B Levering, Melvyn P Leffler, Timothy J Lynch, James Callanan (khusus covert action di masa Perang Dingin), Philip Jenkin, Martin Sixsmith, Andrew Bacevich, dan puluhan nama lainya. 

Perjalanan intelektual tersebut membawa saya pada topik tentang pecah kongsi antara Uni Soviet dan Cina sejak 1956. Perpecahan itu terjadi tepat di tengah-tengah Perang Dingin antara Uni Soviet dan Amerika, pun antara Amerika dan Cina (segitiga Perang Dingin). 

Kajian Perang Dingin dan buku-buku tentang pecah kongsi antara Moskow dan Beijing tersebut, meski tak banyak, mau tak mau, membawa saya kembali ke Indonesia. Kamu pasti tahu kalau negara kita ini adalah salah satu spot geopolitik terjadinya perebutan pengaruh, baik antara Moskow dan Beijing, maupun dengan Kubu Barat, dan masih tidak ada tempat untuk tema G 30 S atau DN Aidit.

Bahan bacaan Perang Dingin

Kalau saya ingat lagi, memang tidak banyak buku yang mendalami pecah kongsi Beijing dan Moskow. Jelas tak sebanyak buku-buku soal Perang Dingin itu sendiri. Beberapa buku terkait Perang Dingin di Asia, pecah kongsi Beijing dan Moskow, pun terkait peran Cina, di antaranya adalah, Mao’s China and The Cold War (2001) karya Chen Jian, The Sino-Soviet Split. Cold war in the communist world (2008) karya Lorenz M. Lüthi. Dia juga menerbitkan buku baru tahun 2020 dengan judul Cold War. Asia, Middle East, Europe.

Beberapa buku babon yang bisa kamu baca jika tertarik dengan tema ini, antara lain: Shadow Cold War: The Sino-Soviet Competition for the Third World (2018) karya Jeremy Friedman. Southeast Asia’s Cold War: An Interpretive History (2019) karya Cheng Guan Ang. Mao’s Third Front. The Militarization of Cold War China (2020) karya Covell F. Meyskens. Dan berapa judul lain. 

Banyak tulisan tentang Perang Dingin yang membahas isu split antara Cina dan Soviet. Meskipun, sayangnya tidak terlalu panjang, bahkan kurang dari 1 bab. Misalnya di dalam buku karya David Mozingo yang berjudul China Policy Toward Indonesia (1970) dan beberapa kajian Rizal Kusuma tentang pecahnya kongsi ini. Sampai sini pun, tema G 30 S atau DN Aidit belum menarik minat saya. Namun, rangkaian buku dan tulisan ini penting untuk saya sampaikan di awal.

Lanjut, ya. Salah 1 bacaan menarik yang pernah saya dapatkan terjadi pada 2016. Bacaan yang saya maksud adalah pidato sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Asvi Warman Adam. Beliau memberi judul: “Fifty Years Study Of The 30th September Movement (5 Episode + 5 Aspects + 5 Solutions)”.

Pidato ini beliau sampaikan ketika menjadi keynote speaker di acara International Symposium Indonesian Relations with the World: Japanese Studies 50 years after 1965, yang dihelat di LIPI Jakarta, 18-19 September 2015.

Lompatan ide seorang doktor

Di luar konteks itu, tahun 2016, saya mendapat materi pidato sejarawan LIPI, Dr. Asvi Warman Adam, “Fifty Years Study Of The 30th September Movement (5 Episode + 5 Aspects + 5 Solutions)’ yang menjadi naskah sambutan beliau sebagai Keynote Speaker pada International Symposium Indonesian Relations with the World: Japanese Studies 50 years after 1965, di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta, 18-19 September 2015.

Saya menemukan “lompatan” yang menarik dari naskah pidato Dr. Asvi. Beliau melompat begitu saja dari cara pandang Cornell Paper (A Preliminary Analysis of October 1, 1965 Coup in Indonesia) yang ditulis oleh Benedict Anderson dan Ruth T. McVey sebagai gelombang kajian pertama, ke cara pandang versi pemerintah sebagai gelombang kajian ke dua. 

Setelah itu, beliau melompat ke kajian terhadap pengakuan-pengakuan korban pembersihan komunisme setelah Soeharto lengser sebagai gelombang ketiga. Gelombang keempat masuk ke buku John Roosa versi Bahasa Inggris yang berjudul Pretext to Mass Murder (2006). Namun, Dr. Asvi menyebutnya terbitan tahun 2008. Saya yakin beliau mengacu ke tahun terbit buku John Roosa versi Bahasa Indonesia.

Padahal, spirit Cornell Paper itu hanya beda tipis dengan tulisan John Roosa. Bahkan yang membiayai penelitian mereka juga terbilang sama, yakni yayasan Rockefeller. Walhasil, saya merasa terpaksa untuk membuka kembali bahan-bahan yang saya simpan secara apriori tadi.

Lompatan yang penting untuk dipelajari

Lantas, mengapa saya mengatakan ada lompatan dalam naskah pidato Dr. Asvi? Dalam pembacaan saya, memang ada cara pandang yang benar-benar persis milik pemerintah sebelum Nugroho Notosusanto menerbitkan secara resmi versi pemerintah, setelah Cornell Paper

Mereka adalah Arnold Brackman dalam bukunya yang berjudul In the Collapse of Indonesian Communism (1970) dan setahun sebelumnya, Guy J Parker, dalam laporannya untuk angkatan udara Amerika yang disponsori Rand Corporation. Judulnya The Rise and Fall of Indonesian Communism. Mereka meyakini pelaku abortive coup adalah PKI. 

Namun, pada tahun 1968, Victor M. Fic sudah menghadirkan makalah di Konferensi Sejarah Asia Tenggara yang isinya menentang Cornell Paper. Menggunakan data-data yang cukup meyakinkan, Fic menyimpulkan bahwa pelakunya bukan PKI saja. Sebuah “kesimpulan yang sama-sama diyakini” oleh Brackman, Parker, dan pemerintah Indonesia. Menurut Fic, Sukarno dan Cina juga jelas-jelas terlibat. 

Pandangan Fic didukung oleh Antonie Dake lewat bukunya yang berjudul In the Spirit of Red Banteng (1972). Perbedaannya dengan versi pemerintah cukup jelas. Seperti kata Antonie Dake, pemerintah Order Baru mengesampingkan peran bung Karno alias hanya fokus pada plot yang disiapkan oleh PKI. Lalu, masih menurut Fic, bahkan tidak hanya Sukarno, tapi juga Cina yang dengan jelas-jelas ada di dalamnya. 

Pada 2004, lewat salah 1 bukunya, Fic mengungkapkan bahwa sebenarnya Soeharto dan Angkatan Darat bisa menjerat Sukarno di persidangan Mahmilub. Konon, ada cukup banyak bukti yang bisa dipakai, tapi pemerintah melalui penyidik dan jaksa penuntut memilih mengabaikannya.

Sengaja dilewatkan?

Jadi, dengan kata lain, memang ada “genre perspektif” yang tidak disebutkan atau justru sengaja dilewatkan oleh Dr. Asvi. Meskipun sebenarnya tidak terlalu mirip versi pemerintah di satu sisi dan penulisnya berada di luar pengaruh pemerintah di sisi lain, baik yang terbit sebelum Soeharto lengser maupun setelahnya. 

Selain beberapa sumber di atas, Dr. Asvi melewatkan beberapa buku dan dokumen penting. Misalnya:

Yang paling jelas terlewat setelah kejatuhan Soeharto adalah karya Fic yang terbit tahun 2004 di India berjudul Anatomy of The Jakarta Coup. Versi terjemahannya diterbitkan Obor pada 2005.

Deklasifikasi dokumen Kementerian Luar Negeri Amerika pada 2001 tentang Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara.

Buku Antonie Dake berjudul Sukarno Files: 1965-1967 yang terbit tahun 2006 versi Bahasa Inggris (2005 versi Bahasa Indonesia).

Buku Helen Louser Hunter berjudul Sukarno and The Indonesian Coup. The Untold Story yang terbit tahun 2007.  

Buku Bradley Simpson yang terbit pada tahun 2008 berjudul The Economist with Guns

Deklasifikasi dokumen Kementerian Luar Negeri Cina (2008).

Karya ilmiah Taomo Zhou yang terbit tahun 2013. Semuanya terbit setelah Soeharto lengser dan sebelum naskah pidato Dr. Asvi. 

Karya-karya ini sangat penting karena sama sekali berbeda dengan kubu yang berpihak pada Cornel Paper juga berbeda dengan versi pemerintah. Meskipun menghadirkan kesimpulan yang hampir mirip dengan versi pemerintah, namun karya-karya mereka sangat didukung oleh data mutakhir dan metode kajian yang ketat di satu sisi dan di luar jangkauan pengaruh pemerintah di sisi lain. 

Dan menurut saya, karya-karya dan bahan-bahan tersebut pada akhirnya membuat buku-buku terbitan baru tentang G 30 S dan DN Aidit setelah tahun 2008 (setelah deklasifikasi dokumen Kementerian Luar Negeri Cina) tidak lagi fokus pada pelaku kudeta, seolah-seolah sudah menerima fakta bahwa PKI adalah dalangnya, lalu mereka beralih fokus kepada masalah pembunuhan massal selepas kejadian 1 Oktober. Bahkan sudah mulai memakai kata genoside.

Benarkah G 30 S adalah masalah internal TNI?

Seperti yang telah kita pahami, Cornell Paper memaknai peristiwa G 30 S sebagai masalah internal TNI Angkatan Darat. Sebagaimana pernyataan pertama yang bertanda tangan Letnan Kolonel Untung di pagi hari via RRI tanggal 1 Oktober. 

Dalam pernyataan kelompok yang menamakan dirinya Gerakan 30 September atau kita kenal sebagai G 30 S itu juga dijelaskan bahwa tindakan mereka tidak ada kaitan dengan PKI sama sekali. Sebuah pernyataan yang tidak bisa begitu saja dimaknai demikian. Secara terselubung, pernyataan itu seperti menyelamatkan 1 kubu yang sedang berseteru. Boleh jadi, pernyataan itu setara dengan pernyataan Anas Urbaningrum yang berbunyi, “Gantung di Monas kalau terbukti korupsi.” Ujung ceritanya tentu kita sudah mengetahui. 

Bahkan jika membaca Paper Cornell, yang dibuat pada awal 1966 dan sempat beredar terbatas sebelum resmi dipublikasi pada 1971, laporan tersebut terpaku pada friksi Angkatan Darat semata. Oleh sebab itu, sangat wajar jika hasilnya demikian. 

Makanya, mereka menggunakan istilah abortive coup alias digagalkannya rencana coup oleh personel junior di Angkatan Darat. Keterbatasan tersebut diakui secara pribadi oleh Anderson di kata pengantar terbitan resminya (1971). Begitu pula dalam pengantar McTurnan Kahin yang dengan jelas mengatakan bahwa dia tidak sepenuhnya sependapat dengan isi Cornell Paper.

Perpektif lain

Jika mundur ke belakang, selain Cornell Paper yang kemudian dipakai oleh Indonesianis seperti Harold Crouch, Rex Mortimer, WF Wertheim, David Mozingo (tentang kebijakan luar negeri China terhadap Indonesia), bahkan Rizal Sukma (kajiannya senada dengan Mozingo), juga ada perspektif lain yang muncul. 

Sebut saja karya jurnalis John Hughes yang memang bertugas di Indonesia di saat kejadian dan menerbitkan bukunya 2 tahun kemudian berjudul The End of Sukarno/Indonesia Upheaval (1967) dan karya Tarzie Vittachi berjudul The Fall of Sukarno yang terbit di tahun yang sama

Dari karya Hughes, saya mendapat insight awal bahwa PKI nampaknya memang terlibat. Hughes melakukan wawancara berulang-ulang pada tahanan wanita yang hadir di Lubang Buaya. Kubu Cornell Paper menulisnya sebagai “hanya milisi” yang diniatkan untuk kampanye Ganyang Malaysia. 

Namun, Hughes, setelah melakukan wawancara dengan berbagai pendekatan dan skema, menyimpulkan bahwa keberadaan Pemuda Rakyat dan Gerwani bukan untuk kampanye Ganyang Malaysia. Meraka ada di sana untuk latihan paramiliter demi mengganyang “birokrat kapitalis” alias Dewan Jenderal. John Hughes mempercayainya dan menulis: 

Yet from the demeanor of the women involved, from other information, and from the evidence as best it can be gathered about injuries to the generals’ bodies, I believe that their version of what happened at Lubang Buaja as they finally told it to me is substantially correct.”

Hal tersebut kemudian diperkuat dengan diungkapnya perjalanan rahasia Omar Dhani ke Cina atas perintah Sukarno. Dhani terbang ke Cina untuk memuluskan komitmen negara itu untuk menyediakan 100.000 pucuk senjata ringan (light gun). Senjata itu disiapkan untuk mempersenjatai Angkatan Kelima, yakni petani dan buruh.

Misteri biro khusus di dalam tubuh PKI

Angka 100.000 senjata ringan itu lalu direvisi menjadi sekitar 20.000. Hal ini diungkap Bradley Simpson di dalam bukunya berjudul Economist with Gun. Dengan kata lain, bukti keterlibatan PKI, bahkan sejak 1967, sudah disampaikan oleh John Hughes. Pernyataan ini kemudian dielaborasi oleh Fic lewat makalahnya tahun 1968 dan Antonie Dake di tahun 1972.

Fic, lewat tulisannya pada 2004, dengan sangat meyakinkan, menghadirkan data-data dari rapat-rapat politbiro PKI, rapat biro khusus, dan diskusi-diskusi beberapa tokoh dengan Sukarno jelang Hari H peristiwa. Tulisan ini merupakan perluasan dari bahan yang dia buat pada tahun 1968.

Fic sempat mendapatkan “benturan keras” di forum Konferensi Sejarah Asia Tenggara ketika menghadirkan makalah tahun 1968. Para pendukung Cornell Paper menabrak Fic dalam pembahasan biro khusus di dalam tubuh PKI. Salah 1 yang keras menabrak adalah WF Wertheim, yang kemudian menulis buku soal kebijakan luar negeri Indonesia. Menurutnya, Syam dan biro khusus adalah buatan dan rekayasa militer, karena tidak ada dalam statuta PKI sendiri. 

Namun, Fic berhasil menjadikan biro khusus PKI yang dipimpin Syam sebagai fakta valid. Memang, DN Aidit sengaja membuat biro khusus pada tahun 1964, yang bertugas memecah Angkatan Darat, menghimpun kekuatan tengah yang progresif alias prokomunis di internal AD untuk eksekusi. Aksi ini diambil sebagai bagian dari manajemen risiko jika aksi pemenggalan pucuk pimpinan TNI AD yang antikomunis gagal mencapai sasaran besarnya. Hasil penelusuran Antonie Dake, biro khusus didirikan DN Aidit atas saran dari Chou En-lai (Zhou Enlai), PM Cina kala itu.

Dokumen penting yang tak lagi rahasia

Jadi, jika tujuan utama G 30 S gagal, kesalahan akan jatuh kepada AD sendiri, yakni akan dianggap sebagai konflik internal. Begitulah rencana DN Aidit. Oleh karena itu, tidak semua pihak di dalam PKI mengetahui biro khusus tersebut. 

Namun, dokumen-dokumen dari Fic sangat jelas memperlihatkan bahwa beberapa petinggi politbiro mengetahui dan menyetujui misi biro khusus. Dan karena itu pula, Antonia Dake berbeda pendapat dengan Cornell Paper. Menurut Dake, analisis Cornell Paper menjadi aneh karena memakai atau memakan mentah-mentah narasi DN Aidit atas manajemen risiko G 30 S, yang kemudian dipakai juga oleh pemerintahan Cina dalam memaknai peristiwa tersebut.

Pada tahun 2008, ketika Cina mendeklasifikasi dokumen 1965, terbukti bahwa biro khusus bukan buatan Angkatan Darat, tapi memang buatan DN Aidit. Di dalam diskusinya dengan Mao tertanggal 5 Agustus 1965, DN Aidit memang melaporkan bahwa dia sudah mempersiapkan biro khusus. Tugasnya adalah merekrut anggota militer progresif, untuk digunakan sebagai alat pemberangus Dewan Jenderal. 

DN Aidit juga melaporkan bahwa berdasarkan analisisnya, Amerika melalui Nasution tak akan melakukan serangan terlebih dahulu alias tidak akan melakukan kudeta. Dialog dalam dokumen resmi tersebut juga memperlihatkan saran Mao kepada DN Aidit untuk menghabisi para jenderal di Angkatan Darat.

Data ini persis seperti yang dikutip oleh Fic, yang kemudian saya temukan juga di dalam buku kajian kebijakan luar negeri Cina yang berjudul, China’s Quest: The History of the Foreign Relations of the People’s Republic of China (2016) karya John W Garver. Sebuah buku dan kutipan yang membawa saya kembali pada kajian G 30 S. Hal yang sama saya temukan di buku David Shambaugh berjudul Where Great Powers Meet. China and America in Southeast Asia (2021) kutipan tersebut dipakai lagi.

Percakapan DN Aidit dengan Mao

Berikut kutipan percakapan DN Aidit dan Mao tertanggal 5 Agustus 1965:

Mao: You should act quickly.

Aidit: I am afraid the army is going to be the obstacle.

Mao: Well, do as I advise you and eliminate all the reactionary generals and officers in one blow. The army will be a headless dragon and follow you.

Aidit: That would mean killing some hundreds of officers.

Mao: In northern Shaanxi I killed 20,000 cadres in one stroke.

Terjemahan:

Mao: Kamu harus bertindak cepat.

Aidit: Saya khawatir AD akan menjadi penghalang.

Mao : Baiklah, lakukanlah apa yang saya nasehatkan kepadamu dan habisi semua jenderal dan para perwira reaksioner itu dalam sekali pukul. Angkatan Darat lalu akan menjadi seekor naga yang tidak berkepala dan akan mengikutimu.

Aidit: Itu berarti membunuh beberapa ratus perwira.

Mao: Di Senshi Utara, saya membunuh 20.000 orang kader dalam sekali pukul saja.

Menanggapi temuan itu, pada tahun 2013 dan 2014, Taomo Zhou menulis dua karya ilmiah yang mencoba menetralisir keterlibatan Cina. Ini menjadi counter atas dugaan Fic.

Cina menampik

Karya yang pertama (2013) berupa working paper berjudul “Ambivalent Alliance: Chinese Policy towards Indonesia, 1960-1965 untuk Woodrow Wilson International Center for Scholar. Karya kedua (2014) berupa tulisan ilmiah untuk Jurnal Indonesia nomor 98 bulan Oktober di Cornell University, berjudul “China and the Thirtieth of September Movement”.

Zhou menampilkan secara jelas percakapan-percapakan di dokumen deklasifikasi Kementerian Luar Negeri Cina. Termasuk di dalamnya percakapan DN Aidit dan Mao, kesanggupan Cina menyediakan 100.000 pucuk light gun untuk Angkatan Kelima, kesanggupan Negara Tirai Bambu itu untuk membantu Indonesia mengembangkan bom atom sebagaimana permintaan Sukarno, dan bantuan Cina untuk membangun gedung sekretariat New Emerging Forces di Jakarta. 

Tak ada bantahan soal isi percakapan tersebut karena sudah menjadi dokumen deklasifikasi. Yang dilakukan Zhao adalah menginterpretasi bahwa percakapan tersebut tidak bisa dimaknai sebagai “instruksi Mao” terhadap DN Aidit agar Aidit cepat-cepat bertindak. 

Mengapa? Karena, seperti kata Zhou, hubungan CCP dan PKI bukan hubungan atasan dan bawah. PKI punya otonomi sendiri dan terbilang cukup independen dalam pilihan politik. Jadi, Zhou menginterpretasi percakapan tersebut hanya sebagai saran biasa dari seorang Mao. Konteksnya hanya berbagi pengalaman. Spirit yang sama digunakan oleh Zhou saat menerbitkan bukunya yang berjudul Migration in Time of Revolution. China, Indonesia, and Cold War (2019).

Skema besar politik Amerika Serikat dan Mafia Berkeley

Tahun 2008, selain deklasifikasi dokumen luar negeri Cina, juga menjadi tahun penting, setidaknya menurut saya. Menjadi tahun penting berkat terbitnya buku Bradley Simpson yang berjudul Economist with Gun

Melalui bukunya, Bradley mengungkap skema besar proyek politik Amerika dalam melahirkan konsep pembangunan ekonomi tandingan bergenre non-sosialis. Tentu saja termasuk untuk Indonesia, di mana Indonesianis seperti George McTurnan Kahin, Audrey Kahin, Anderson, McVey, Guy Parker, Clifford Geert, dan lainya, dikirim ke Indonesia untuk mendapatkan data objektif atas kondisi Nusantara dalam payung proyek besar tersebut. 

Proyek itu akhirnya melahirkan buku Walt Rostow berjudul The Stages of Growth. Non Communist Manifesto, alias konsep pembangunan non-sosialis yang dipimpin oleh militer (military led development), yang dijadikan kitap ekonomi oleh Mafia Berkeley dalam membantu Pak Harto membangun ekonomi Indonesia. Artinya, para Indonesianis tersebut tidak bebas nilai dan nampaknya bekerja atas kepentingan Amerika.

Dari buku Bradley Simpson, saya merasa mendapatkan jawaban pertanyaan yang ditanyakan oleh John O Sutter saat menulis pengantar buku Fic tentang mengapa Cornell Paper pada awalnya hanya dikonsumsi oleh kalangan terbatas. Cornell Paper dikeluarkan di awal tahun 1966 dan baru di-published pada 1971. Sutter mengetahui bahwa laporan tersebut dibuat untuk kementerian luar negeri Amerika, tapi mempertanyakan motif dibalik pembatasan penyebarannya. 

Kepentingan Amerika

Saya pribadi berkesimpulan bahwa memang laporan tersebut berada di bawah payung kepentingan Amerika. Baik Cornell Paper maupun Guy Parker, meskipun berbeda pendapat, tapi pendapat keduanya sesuai kepentingan Amerika. Dengan mengatakan peristiwa G 30 S sebagai masalah internal TNI AD (versi Cornell Paper) maupun mengatakan dalangnya adalah PKI (versi Guy Parker). Keduanya secara langsung menepis kemungkinan Amerika terlibat. 

Selain itu, alasan kedua, menurut hemat saya, ada kepentingan geopolitik Amerika yang ter-endorse dari Cornell Paper, yakni mendeeskalasi konflik Perang Dingin di Indonesia. Jika Amerika tidak terlibat, tak ada alasan bagi Moskow untuk terlibat lebih jauh, sehingga Indonesia tidak menjadi Vietnam. 

Ingat, bukan hanya Amerika yang enggan bersitegang. Soviet malah bahkan lebih takut. Setelah krisis Kuba 3 tahun sebelum 1965 yang hampir menenggelamkan dunia ke dalam perang nuklir, Moskow dan Amerika cenderung memilih jalan deeskalatif di berbagai lini. Keduanya sedang mengupayakan treaty penurunan tensi dalam rentang waktu 1963-1964. 

Makanya, Sukarno gagal mendapat dukungan dari Soviet untuk berkonfrontasi dengan Malaysia dan permintaan pembuatan bom atom ditolak oleh Brezhnev. Walhasil, Sukarno pindah ke Beijing, yang memang sedang panas dengan Moskow dan hampir pasti mendukung negara manapun yang tidak didukung oleh Moskow. 

Ketiga, dengan Cornel Paper yang juga dipercaya oleh Cina, eskalasi dengan mereka bisa dihindari. Seperti kita ketahui, sejak tahun pecah kongsi Beijing dan Moskow, Amerika ingin mengeksploitasinya. Baik untuk memuluskan jalur damai di Vietnam maupun untuk memuluskan strategi containment alias pengucilan terhadap Moskow.

Jadi, saya meyakini, jika Amerika malah menambah panas hubungan dengan Beijing, maka tidak akan ada kunjungan Nixon ke Cina di tahun 1972. Mungkin perang di Vietnam akan jauh lebih lama lagi. Jadi jelas, karena adanya Cornell Paper, sangat membantu memuluskan Amerika mendekati Mao dan mengisolir Moskow.

Para peneliti yang picik

Nah, setelah deklasifikasi dokumen Kementerian Luar Negeri Cina untuk 1965 tersebut, saya mulai melihat perubahan fokus para peneliti luar. Pada tahun 2018, terbit buku The Army and the Indonesian Genocide. Mechanics of Mass Murder karya Jeff Melvin. Melvin, dengan jelas mengatakan bahwa tidak ada bukti keterlibatan Soeharto dalam upaya kudeta 1 Oktober. Yang ditemukan oleh Melvin, yang dia akui sebagai smoking gun alias bukti keras adalah keterlibatan langsung Soeharto dan TNI dalam pembunuhan masif kader PKI. 

Masih di tahun yang sama, terbit buku The Killing Season. A History of the Indonesian Massacres 1965-66 karya Geofrey Robinson, murid McTurnan Kahin. Fokusnya sudah berubah ke peristiwa setelah kejadian G 30 S. Buku ini dengan jelas meng-endorse misi di balik Cornell Paper, yakni melepaskan keterlibatan Amerika. Saya menemukan “kalimat picik” khas Amerika dari buku beliau. Bunyinya:

I am not suggesting that the United States or other foreign powers plotted the supposed coup or violence in advance. The evidence does not support such a claim. But I think it can be shown that in the absence of support from powerful states and in a different international context, the army’s program of mass killings and incarceration would not have happened.”

Betapa piciknya….

Dia tidak berani mengatakan adanya keterlibatan Amerika atau negara besar lainnya dalam peristiwa G 30 S atau kekerasan setelahnya. Namun, dia mengakui dengan jelas bahwa tanpa bantuan dari Amerika dan negara besar, aksi mass killing tak akan terjadi. 

Betapa piciknya…. 

Amerika terlibat

Bukankah tanpa support dari Amerika, pembunuhan masal tak akan terjadi. Lantas, setelah terbukti memberikan bantuan, Amerika malah dikatakan tidak terkait dan tidak layak bertanggung jawab. Padahal, Amerika sangat berwenang mencegah itu terjadi, yakni dengan tidak memberi bantuan. Jika ingin adil, atau menginginkan permintaan maaf, semestinya tidak hanya dari pemerintah Indonesia, tapi juga dari Amerika. 

Kemudian, pada tahun 2020, juga terbit buku The Jakarta Method: Washington’s Anticommunist Crusade and the Mass Murder Program that Shaped Our World yang fokus pada keterlibatan Amerika setelah peristiwa G 30 S dan menemukan kesamaan metode dengan yang digunakan di negara-negara Amerika Latin. Fokus senada kembali diulang oleh John Roosa di buku barunya terbitan 2020 berjudul Buried Histories: The Anti Communist Massacres of 1965-1966 in Indonesia

Dan yang paling menarik, di tahun yang sama, 2020, terbit buku kedua Greg Poulgrain, JFK vs Allen Dulles. Battleground Indonesia. Di buku barunya tersebut, Greg juga menerima bahwa perencana plot pembunuhan para jenderal adalah PKI, tapi dikudeta di tengah jalan oleh grup Soeharto, alias “kudeta dalam kudeta”. 

Hanya, saya belum merasakan secara maksimal aura kebenarannya seperti yang dihadirkan oleh Kenneth Conboy dan James Morrison saat menulis secara detail keterlibatan CIA pada pemberontakan PRRI dan Permesta dalam buku Feet To The Fire. CIA Covert Operations in Indonesia,1957–1958 (1999). 

Menurut saya, buku Poulgrain tentang akar konfrontasi Indonesia-Malaysia, The Genesis of Konfrontasi Malaysia – Brunei – Indonesia, 1945-1965, jauh lebih apik dan detail. Sementara itu, buku baru Poulgrain masih bernuansa konspiratif.

Benarkah Soeharto agen CIA?

Menurut data deklasifikasi Kementerian Luar Negeri Amerika, CIA secara resmi dan institusional tidak mengetahui dan tidak terlibat di G 30 S. Oleh karena itu, Poulgrain mengecilkan skopnya dari institusional menjadi faksional. Bukan CIA secara institusional yang terlibat, katanya, tapi hanya faksi. Tepatnya faksi mantan direktur CIA, Allen Dulles, atas kepentingan beberapa pengusaha Amerika, terutama Rockefeller dan Freeport di Papua Barat. 

Menurut Poulgrain lagi, Soeharto direkrut oleh CIA saat masih di Seskoad dan perekrutnya adalah Mayjen Suwarto. Nama Mayjen Suwarto disebut oleh Dr. Asvi, di dalam teks pidatonya, pergi ke Amerika, bertemu dengan Guy Parker tahun 1967. 

Namun, Bradley Simpson tidak menyebutkan Suwarto sebagai aset CIA. Dan Syam, menurut Poulgrain, adalah double agent, alias anggota senior PKI yang juga dekat dengan Soeharto dan Kostrad. 

Dari mana Poulgrain mengetahui Mayjen Suwarto adalah aset CIA? Menurutnya, Nasution mengatakan Suwarto adalah CIA, saat Poulgrain bertanya soal siapa Mayjen Suwarto kepada Nasution. Lalu, Poulgrain mengonfirmasi ke Marshall Green, Dubes Amerika untuk Indonesia saat terjadinya peristiwa G 30 S. Green mengatakan bahwa dia kenal dekat dengan Suwarto. Tapi, Poulgrain tidak merinci bagaimana Suharto kenal dengan Suwarto, bagaimana deal-dealnya, seperti Victor Fic merinci deal DN Aidit dengan Sukarno sekembalinya dari Cina. 

Kudeta dalam kudeta

Kudeta dalam kudeta, menurut Poulgrain, terjadi persis sebelum pasukan berangkat ke rumah para jenderal. Perubahan perintah terjadi dari “bawa dan hadapkan para dewan jenderal ke presiden” berubah menjadi “bawa para dewan jenderal hidup atau mati”. 

Dari hasil penelusuran Poulgrain, perubahan perintah datang dari Ali Murtopo, yang muncul sebelum pasukan berangkat. Tapi, Poulgrain tidak bisa menjelaskan perbedaan imbas dari kedua perintah tersebut. Hasilnya sama-sama dibawa ke Halim. Lalu, Sukarno juga datang ke Halim, berkumpul bersama Supardjo dan Omar Dhani. Begitu pula dengan DN Aidit yang juga di Halim, meski berbeda lokasi dengan ketiganya. 

Katakanlah Poulgrain benar, ya katakanlah demikian, bahwa ada kudeta dalam kudeta. Bagaimanapun, perspektif ini tetap menempatkan PKI, DN Aidit, dan biro khusus, sebagai perencana dan eksekutor awal, lalu dihentikan ditengah jalan sesuai kepentingan Soeharto. 

Dengan kata lain, Poulgrain secara tidak langsung mengakui bahwa ide dan rencana awal penghabisan para Dewan Jenderal datang dari PKI. Walaupun, dalam hemat saya, perspektif ini masih kental nuansa konspirasinya. Kecuali di kemudian hari Poulgrain mampu menghadirkan secara detail bagaimana kudeta dalam kudeta tersebut mulai dari awal sampai akhir. 

Siapakah Syam itu?

Kemudian soal sosok Syam. Poulgrain mendapat penjelasan dari Heru Atmodjo, Angkatan Udara yang terlibat, bahwa Syam di penjara penuh dengan kemewahan dan dijemput pakai mobil mewah saat pergi ke persidangan. Hal yang sama dikatakan, bahwa Syam bisa bebas masuk keluar Kostrad alias kenal dengan Soeharto. Penjelasan tersebut membawa Poulgrain kepada kesimpulan bahwa Syam adalah double agent yang menyusup ke PKI. 

Tapi, Fic juga melakukan pemeriksaan mendalam atas data-data Syam Kamarulzaman, karena sebelumnya dikatakan oleh Weinstein bahwa Syam adalah sosok buatan TNI AD. Setelah cek ulang secara mendalam, Fic dengan yakin mengatakan bahwa Syam memang sosok nyata dan berstatus sebagai anggota sentral komite di Politbiro (dengan level itu rasanya sulit diinfiltrasi). 

Sementara saya sendiri menemukan Syam di dalam karya John Hughes, yang memiliki nama lain. Menurut Hughes, Syam adalah nama lain dari Tjugito, anggota sentral komite politbiro PKI. Beberapa kali Hughes menyebutkan hal itu di bukunya. Salah satu kalimatnya berbunyi begini:

It included Tjugito, the Communist Party central committee member who almost certainly was “Sjam,” one of the principal plotters, and Sukatno, the Pemuda Rakjat leader charged with assembling his thugs at Lubang Buaja.”

Mengapa Soeharto tak ikut dibunuh?

Lalu, beberapa hal perlu saya tambahkan di sini. Pertama, dari buku Fic, Antonie Dake, dan Poulgrain, saya mendapat insight mengapa Soeharto tak ikut dibunuh. 

Pertama, tentu karena Soeharto tak masuk daftar Dewan Jenderal. Pada awalnya, nama anggota Dewan Jenderal hanya beberapa petinggi TNI AD, yakni Nasution, Ahmad Yani, yang benar-benar dianggap dekat dengan Amerika. Kemudian, nama itu bertambah setelah seminar di Seskoad yang melahirkan konsep “bahaya dari utara (Cina). Konsep yang mencederai kebijakan Sukarno yang sudah mulai mendekat ke Beijing. 

Nah, tambahan nama jenderal lain datang dari peserta seminar di Seskoad karena dianggap menentang Sukarno. Tidak ada nama Soeharto di dua hal tersebut, yang membuatnya tak masuk daftar Dewan Jenderal. Kedua, sebagaimana ditulis Poulgrain, karena DN Aidit ternyata memandang Soeharto sebagai progresif, bukan reaksioner dan antirevolusioner, sehingga Soeharto lagi-lagi tak masuk daftar. 

Ketiga, dari buku Hughes, saya mendapat jawaban soal kecurigaan saya atas Nasution. Saya sempat bertanya mengapa Nasution sendiri yang bisa lolos, lalu tidak ada tindakan untuk memastikan kematiannya. 

Dari buku Hughes saya mendapat penjelasan bahwa memang ada upaya lanjutan untuk membunuh Nasution. Setelah diketahui Nasution lolos, pihak Halim mengirim beberapa pembunuh (assassins) untuk berkeliaran di Jakarta mencari keberadaan Nasution. 

Kemudian, menurut pengakuan Latief, dia juga mencoba mendatangi Rumah Sakit Angkatan Darat dengan berpakaian sipil, tapi membawa senjata. Latief mencari nama Nasution dalam daftar pasien. Niat awalnya, jika Nasution di sana, Latief sendiri yang langsung akan membunuhnya dengan pistolnya. Dari penjelasan Hughes saya akhirnya memahami bahwa yang dialami Nasution adalah keberuntungan, alias bukan bagian dari rencana.

Nyaris tak terbantahkan?

Terlepas dari perbedaan pandangan tersebut, setidaknya ada titik temu bahwa PKI, DN Aidit, dan Biro Khusus, memang pihak yang merencanakan G 30 S. Perkara dikudeta di tengah jalan, itu perkara lain. Lalu, perkara pembunuhan masif, itu juga perkara selanjutnya. 

Jadi soal keterlibatan PKI, saya ingin mengutip Helen Louise Hunter, dalam bukunya Soekarno and the Indonesian Coup. The Untold story, bahwa keterlibatan PKI nyaris tak terbantahkan lagi. 

The central role of the PKI in the military planning of the coup has been well documented. The evidence is overwhelming that the PKI made all the detailed decisions, including who would lead the movement, which military units would be involved in the operation, when the coup would take place, how the political campaign in support of the coup would be managed, and what changes in the government would be made as a result of the coup. DN Aidit himself made the more important decisions, such as when the coup would take place and who would be on the Revolutionary Council, which was intended to replace the Dwikora Cabinet. Sjam, the chief of the PKI Special Bureau, to whom DN Aidit entrusted the detailed planning, seems to have made most of the other decisions, subject, of course, to Aidit’s approval.”

Omar Dhani ada di sana?

Selain PKI, hasil riset Helen juga menyimpulkan dengan yakin bahwa Omar Dhani terlibat keras. Subandrio dikategorikan tidak terlibat langsung, tapi mengetahui dengan persis rencananya. Sementara soal Sukarno, Helen mengambil posisi ambigu. Posisi Sukarno misterius. Tapi dari beberapa langkah Sukarno setelah peristiwa dan sikap politiknya jelas-jelas melindungi PKI dan Omar Dhani di satu sisi dan tak bersimpati pada para jenderal yang menjadi korban di sisi lain. 

Pun, saya ingin mengutip lagi John Hughes soal Sukarno bahwa cukup sulit untuk membantah keterlibatan Sukarno dalam peristiwa tersebut. 

Despite all this, and despite Suharto’s exoneration of Sukarno as the mastermind behind the coup, it is difficult to exempt Sukarno from involvement in it.This is not to suggest that Sukarno wrote out an order for the generals’ removal.It does not mean the plotters came to Sukarno, asked for his assent, and got it. In Indonesia, things are not done that way. And in any event, Sukarno had proved himself too wily and experienced a politician for that.”

Lalu Hughes menambahkan:

With that remarkable Javanese capacity for evasion of direct issues, there would have been no need for Sukarno to signal in actual words his blessing for the arrest of the generals. But from the behavior of the plotters it seems clear they believed they had either received such blessing or would undoubtedly be given it.”

Miskalkulasi DN Aidit

Menurut saya, pertama, DN Aidit salah memberangkatkan rencananya dari dokumen Ghilchrist. Atau, jika terlibat dalam merekayasa dokumen tersebut, dia terlalu gegabah memakai strategi tersebut. Fic bahkan meyakini dokumen tersebut palsu, tak jelas asalnya dari mana. 

Dokumen tersebut dibuat dalam rangka operasi Palmer, kata Fic. Jadi, bukan dokumen yang terkait dengan kedutaan Inggris. Sementara itu, penelitian terbaru juga menyatakan dokumen tersebut adalah hasil rekayasa agen Ceko di bawah kendali KGB. 

Mengapa salah? Karena dengan beredarnya isu tentang dokumen tersebut, isu Dewan Jenderal bergentayangan di ruang publik, terutama dari media-media milik PKI, yang membuat posisi TNI AD terpojok, lalu mengambil posisi siaga satu. Karena faktor kesiapsiagaan TNI AD tersebut, John Roosa dengan agak serampangan menyimpulkan bahwa peluang TNI AD sebagai pelaku G 30 S di buku awalnya lebih besar ketimbang peluang PKI sendiri. 

Padahal, artinya, yang paling pas adalah bahwa TNI AD sudah dalam posisi sangat siap ketika rencana DN Aidit dan biro khusus PKI dilancarkan. Dalam hal ini, Sukarno juga terlalu menyeriusi dokumen tersebut yang dibawa oleh Subandrio.

Berlebihan menyikapi sakitnya Bung Besar

Kedua, DN Aidit berlebihan menilai penyakit Bung Karno. Entah benar atau tidak, dokter dari Cina mengatakan kepadanya bahwa penyakit Sukarno sudah tingkat tinggi. Sekali lagi kena serangan, berkemungkinan tidak akan selamat dan hanya Aidit yang mengetahui. 

Yang jelas, sebagaimana dikutip Zhou, dokumen deklasifikasi Kementerian Luar Negeri Cina berkata lain. Laporan dokter yang memeriksa Sukarno mengatakan kondisi Bung Besar tak seburuk itu, bahkan sudah semakin membaik. Sarannya untuk Sukarno hanya dua, kurangi kesibukan dan kurangi aktifitas seksual. Terbukti, Sukarno masih mampu bertahan sampai tahun 1970, jauh dari dugaan DN Aidit. 

Dan terbukti setelah peristiwa pagi 1 Oktober, berdasarkan kajian Fic, Sukarno tak menyerahkan kekuasaan kepada Omar Dhani untuk jadi presiden dan Aidit menjadi perdana menteri, sebagaimana perjanjian antara Sukarno dan Aidit di tanggal 7 dan 8 Agustus, sekembalinya Aidit dari Cina. 

Menurut Fic, ada 2 alasan Sukarno berubah pikiran di tanggal 1 Oktober. Pertama, karena Sukarno mulai panik dan berubah pikiran setelah mengetahui Nasution gagal dieksekusi. Kedua, karena Sukarno merasa jauh lebih sehat, berbeda dengan tanggal 4 Agustus yang pingsan berkali-kali, lalu memerintahkan Untung untuk menghabisi Dewan Jenderal. Karena perubahan sikap Sukarno itu, kata Fic, rencana plot mulai berantakan. 

Salah menilai Cina

Ketiga, DN Aidit salah menilai Cina. Dalam rentang waktu itu, Cina bahkan masih jauh dari status great power. Cina mengalami kelaparan parah terbesar sepanjang sejarah setelah kelaparan Ukraina setelah Perang Dunia I. Kebijakan Great Leap Forward (1956-1966) telah menghancurkan ekonomi negara itu dan menciptakan kelaparan yang sangat parah. 

Bagaimana mungkin Indonesia bisa bergantung kepada komitmen Cina? Namun, dalam konteks ini, saya memaklumi hal itu. Karena di saat itu, bukan hanya DN Aidit yang salah menilai Cina. Dalam buku Hong Liu yang berjudul China and the Shaping of Indonesia 1949-1965 (2012), hampir semua tokoh Indonesia memuji ekonomi Cina, termasuk Bung Hatta setelah kunjungannya ke sana tahun 1957.

Terlalu percaya diri 

Keempat, Aidit terlalu percaya diri atas besarnya dukungan untuk PKI kala itu. Memang benar anggotanya sampai 3 juta dan anggota organisasi underbow PKI sekitar 16 juta. Angka yang menjadikan PKI sebagai partai komunis terbesar di luar Soviet dan Cina. 

Namun, seperti kata John Hughes, pertumbuhannya tidak organik dan penyokongnya sangat bersifat temporal. Alasannya, pertama, keadaan ekonomi yang memburuk kala itu membuat banyak pemilih condong ke PKI. Kedua, karena perlindungan yang diberikan oleh Sukarno untuk PKI. Dengan kata lain, meskipun berjumlah jutaan, hanya sebagian kecil yang benar-benar bersifat ideologis dan siap bergerak melakukan perlawanan sipil, untuk meneruskan rencana plot di level yang lebih luas. 

Kelima, DN Aidit lupa mengontrol editorial Harian Rakyat untuk tanggal 2 Oktober. Padahal di tanggal itu, dia menulis surat untuk Sukarno dari Yogyakarta. Aidit meminta agar Sukarno melakukan beberapa hal. Dua di antaranya adalah segera merombak kabinet dan memindahkan wewenang ketertiban dalam negeri ke polisi. 

Lantaran lupa memberi briefing kepada Harian Rakyat, editorial harian di tanggal 2 Oktober yang memberikan dukungan kepada G 30 S dan menghadirkan karikatur yang mengutuk Dewan Jenderal, seperti kata John Hughes, benar-benar menjadi blunder yang luar biasa. Hal ini yang serta merta membuat TNI AD menempatkan PKI sebagai dalangnya. 

Salah mengukur Soeharto

Keenam, yang menurut saya paling fatal, DN Aidit salah menilai Soeharto dan menganggapnya progresif, lalu tidak memasukkannya ke dalam daftar. 

Lalu, jika benar ada kudeta dalam kudeta seperti kata Poulgrain, terdapat kesalahan ketujuh Aidit, yakni jelas-jelas gagal mengidentifikasi siapa Syam. Dan kedelapan, dia gagal mengidentifikasi CIA ada di mana. Saat laporannya ke Mao soal Amerika dan CIA masih bersama Nasution, jika Poulgrain benar, maka fraksi CIA nyatanya sudah bersama Soeharto, bukan lagi Nasution. 

Dan tak lupa, kesalahan paling fatal dari gerakan adalah gagal membunuh Nasution. Sebagaimana kita mengetahui dengan jelas, secara legal formal dan konstitusional, bukan Soeharto yang melengserkan Sukarno, tapi MPRS yang diketuai Nasution yang mencabut mandat Sukarno sebagai presiden. 

Kubu Barat (selalu) menang?

Terakhir, jika kembali kepada konteks global, suasana Perang Dingin, kita dengan sederhana bisa memaknai peristiwa G 30 S adalah peristiwa menangnya kubu Barat melalui tangan Soeharto dan Nasution atas Blok Komunis Soviet dan Cina, yang kemudian memperburuk situasi perang di Vietnam. 

Lho kok bisa? Bukan karena seteru Amerika dan Soviet semakin memanas, tapi menurut Jeremy friedman, karena setelah gagalnya PKI di Indonesia, Soviet dan Cina saling menyalahkan dan seteru di antara mereka meruncing. 

Jadi, Uni Soviet semakin serius membantu Vietnam Utara, kata Friedman, tujuan utamanya bukan untuk melemahkan Amerika, tapi justru untuk menipiskan peran Cina atas Vietnam Utara.

Yang tak kalah penting, perubahan politik di Cina sangat drastis setelah PKI gagal di Indonesia. Sebulan setelah Mao mengetahui Soeharto mendapat mandat via Supersemar di bulan Maret 1966, di bulan Mei 1966 Mao meluncurkan gerakan revolusi kultural atau yang dikenal dengan Great Proletarian Cultural Revolution. Mao menghabisi semua lawan politiknya.

Pada akhirnya, yang menang tetap Amerika

Semua tokoh dan pejabat negara yang dianggap revisionis, reformis, borjuis, dan antimaois digeruduk oleh penjaga merah (red guard). Sebagian dibunuh di tempat, sebagian dibawa ke pengasingan. Li Shaoqi, Presiden Cina kala itu, menjadi salah satu korbannya. Begitu pula dengan Deng Xiaoping. Tak lupa, setahun kemudian, 1967, China mensuspensi hubungan diplomatik dengan Indonesia.

Lalu, 2 tahun kemudian, 1968, giliran Soviet menggeruduk Cekoslovakia. Brezhnev menginvasi Ceko dan menggasak gerakan reformis di sana. Di sisi lain, seteru kedua negara semakin menjadi-jadi. 

Tahun 1969, Mao menduduki wilayah di sekitar Sungai Ussuri di perbatasan Soviet dan Cina. Kedua negara nyaris saja perang nuklir. Soviet sudah bersiap-bersiap mengirim rudal nuklir ke instalasi senjata nuklir Cina. Untung saja Mao takut dan menarik pasukan dari Sungai Ussuri. 

Setelah itu, bagi Mao, bukan Amerika lagi yang menjadi ancaman utamanya, tapi Soviet. Kemudian, di tahun 1971, Henry Kissinger membuka jalur diplomasi dengan Mao, memanfaatkan seteru di dalam kubu komunis. Mao menyambut dengan hangat tangan Amerika. 

Lalu, di tahun 1972, Presiden Amerika bertemu Mao di Beijing. Mao akhirnya memilih berkawan dengan Amerika untuk melawan Soviet. 

Thanks to Cornell Paper!

BACA JUGA Kesia-siaan Operasi Tim Mawar dan Operasi G30S dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Ronny P. Sasmita

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version