MOJOK.CO – Alur pembahasan dan analisis terkait peristiwa G 30 S dipenuhi intrik dan nuansa misteri. Termasuk di dalamnya miskalkulasi yang dilakukan DN Aidit.
Sebagai generasi yang lahir di tahun 1980an dan mengalami masa perkuliahan jauh hari setelah reformasi bergulir, pada mulanya saya merasa kurang “ngeh” dan “sreg” berurusan dengan topik Gerakan 30 September 1965 atau G 30 S atau DN Aidit. Entah kenapa.
Oleh sebab itu, ketika mendapat bahan-bahan, terutama buku dan hasil penelitian tentang materi tersebut, saya “skip” dengan apriori. Bahan-bahan tersebut tetap saya simpan sebagai bagian dari koleksi buku saya, terutama berupa ebook di ponsel dan notebooks.
Setelah itu, saya memilih fokus memberikan prioritas pada bacaan-bacaan yang terkait dengan bidang saya. Misalnya bidang ekonomi, terutama ekonomi makro, ekonomi internasional, dan ekonomi politik internasional. Lainnya, saya juga suka sejarah ekonomi (Amerika, Rusia, Uni Eropa, Jepang, dan Cina), menyangkut sejarah kapitalisme global, moneter, krisis ekonomi, sejarah pemikiran ekonomi, dan sejenisnya.
Saya berusaha sedemikian rupa, dengan segala resources dan koneksi untuk mendapatkan bahan-bahan mutakhir terkait semua topik tersebut. Tidak ada tempat untuk tema G 30 S atau DN Aidit.
Sejarah Perang Dingin yang menentukan
Seiring berjalannya waktu, masih tanpa tema G 30 S atau DN Aidit, minat saya berkembang. Masih tentang sejarah, saya mendalami sejarah Perang Dunia, baik pertama maupun kedua, kajian perang dingin, perkembangan geopolitik global, dan isu-isu terkait gejala Perang Dingin Baru (New Cold War) antara Amerika dan Cina.
Minat ini yang membuat saya kemudian cukup akrab, bahkan menyenangi pakar-pakar sejarah Perang Dingin. Tokoh yang saya kagumi, antara lain Odd Arne Westad, John Paul Gaddis, David Miller, Margaret MacMillan, Ralph B Levering, Melvyn P Leffler, Timothy J Lynch, James Callanan (khusus covert action di masa Perang Dingin), Philip Jenkin, Martin Sixsmith, Andrew Bacevich, dan puluhan nama lainya.
Perjalanan intelektual tersebut membawa saya pada topik tentang pecah kongsi antara Uni Soviet dan Cina sejak 1956. Perpecahan itu terjadi tepat di tengah-tengah Perang Dingin antara Uni Soviet dan Amerika, pun antara Amerika dan Cina (segitiga Perang Dingin).
Kajian Perang Dingin dan buku-buku tentang pecah kongsi antara Moskow dan Beijing tersebut, meski tak banyak, mau tak mau, membawa saya kembali ke Indonesia. Kamu pasti tahu kalau negara kita ini adalah salah satu spot geopolitik terjadinya perebutan pengaruh, baik antara Moskow dan Beijing, maupun dengan Kubu Barat, dan masih tidak ada tempat untuk tema G 30 S atau DN Aidit.
Bahan bacaan Perang Dingin
Kalau saya ingat lagi, memang tidak banyak buku yang mendalami pecah kongsi Beijing dan Moskow. Jelas tak sebanyak buku-buku soal Perang Dingin itu sendiri. Beberapa buku terkait Perang Dingin di Asia, pecah kongsi Beijing dan Moskow, pun terkait peran Cina, di antaranya adalah, Mao’s China and The Cold War (2001) karya Chen Jian, The Sino-Soviet Split. Cold war in the communist world (2008) karya Lorenz M. Lüthi. Dia juga menerbitkan buku baru tahun 2020 dengan judul Cold War. Asia, Middle East, Europe.
Beberapa buku babon yang bisa kamu baca jika tertarik dengan tema ini, antara lain: Shadow Cold War: The Sino-Soviet Competition for the Third World (2018) karya Jeremy Friedman. Southeast Asia’s Cold War: An Interpretive History (2019) karya Cheng Guan Ang. Mao’s Third Front. The Militarization of Cold War China (2020) karya Covell F. Meyskens. Dan berapa judul lain.
Banyak tulisan tentang Perang Dingin yang membahas isu split antara Cina dan Soviet. Meskipun, sayangnya tidak terlalu panjang, bahkan kurang dari 1 bab. Misalnya di dalam buku karya David Mozingo yang berjudul China Policy Toward Indonesia (1970) dan beberapa kajian Rizal Kusuma tentang pecahnya kongsi ini. Sampai sini pun, tema G 30 S atau DN Aidit belum menarik minat saya. Namun, rangkaian buku dan tulisan ini penting untuk saya sampaikan di awal.
Lanjut, ya. Salah 1 bacaan menarik yang pernah saya dapatkan terjadi pada 2016. Bacaan yang saya maksud adalah pidato sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Asvi Warman Adam. Beliau memberi judul: “Fifty Years Study Of The 30th September Movement (5 Episode + 5 Aspects + 5 Solutions)”.
Pidato ini beliau sampaikan ketika menjadi keynote speaker di acara International Symposium Indonesian Relations with the World: Japanese Studies 50 years after 1965, yang dihelat di LIPI Jakarta, 18-19 September 2015.
Lompatan ide seorang doktor
Di luar konteks itu, tahun 2016, saya mendapat materi pidato sejarawan LIPI, Dr. Asvi Warman Adam, “Fifty Years Study Of The 30th September Movement (5 Episode + 5 Aspects + 5 Solutions)’ yang menjadi naskah sambutan beliau sebagai Keynote Speaker pada International Symposium Indonesian Relations with the World: Japanese Studies 50 years after 1965, di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta, 18-19 September 2015.
Saya menemukan “lompatan” yang menarik dari naskah pidato Dr. Asvi. Beliau melompat begitu saja dari cara pandang Cornell Paper (A Preliminary Analysis of October 1, 1965 Coup in Indonesia) yang ditulis oleh Benedict Anderson dan Ruth T. McVey sebagai gelombang kajian pertama, ke cara pandang versi pemerintah sebagai gelombang kajian ke dua.
Setelah itu, beliau melompat ke kajian terhadap pengakuan-pengakuan korban pembersihan komunisme setelah Soeharto lengser sebagai gelombang ketiga. Gelombang keempat masuk ke buku John Roosa versi Bahasa Inggris yang berjudul Pretext to Mass Murder (2006). Namun, Dr. Asvi menyebutnya terbitan tahun 2008. Saya yakin beliau mengacu ke tahun terbit buku John Roosa versi Bahasa Indonesia.
Padahal, spirit Cornell Paper itu hanya beda tipis dengan tulisan John Roosa. Bahkan yang membiayai penelitian mereka juga terbilang sama, yakni yayasan Rockefeller. Walhasil, saya merasa terpaksa untuk membuka kembali bahan-bahan yang saya simpan secara apriori tadi.
Lompatan yang penting untuk dipelajari
Lantas, mengapa saya mengatakan ada lompatan dalam naskah pidato Dr. Asvi? Dalam pembacaan saya, memang ada cara pandang yang benar-benar persis milik pemerintah sebelum Nugroho Notosusanto menerbitkan secara resmi versi pemerintah, setelah Cornell Paper.
Mereka adalah Arnold Brackman dalam bukunya yang berjudul In the Collapse of Indonesian Communism (1970) dan setahun sebelumnya, Guy J Parker, dalam laporannya untuk angkatan udara Amerika yang disponsori Rand Corporation. Judulnya The Rise and Fall of Indonesian Communism. Mereka meyakini pelaku abortive coup adalah PKI.
Namun, pada tahun 1968, Victor M. Fic sudah menghadirkan makalah di Konferensi Sejarah Asia Tenggara yang isinya menentang Cornell Paper. Menggunakan data-data yang cukup meyakinkan, Fic menyimpulkan bahwa pelakunya bukan PKI saja. Sebuah “kesimpulan yang sama-sama diyakini” oleh Brackman, Parker, dan pemerintah Indonesia. Menurut Fic, Sukarno dan Cina juga jelas-jelas terlibat.
Pandangan Fic didukung oleh Antonie Dake lewat bukunya yang berjudul In the Spirit of Red Banteng (1972). Perbedaannya dengan versi pemerintah cukup jelas. Seperti kata Antonie Dake, pemerintah Order Baru mengesampingkan peran bung Karno alias hanya fokus pada plot yang disiapkan oleh PKI. Lalu, masih menurut Fic, bahkan tidak hanya Sukarno, tapi juga Cina yang dengan jelas-jelas ada di dalamnya.
Pada 2004, lewat salah 1 bukunya, Fic mengungkapkan bahwa sebenarnya Soeharto dan Angkatan Darat bisa menjerat Sukarno di persidangan Mahmilub. Konon, ada cukup banyak bukti yang bisa dipakai, tapi pemerintah melalui penyidik dan jaksa penuntut memilih mengabaikannya.
Sengaja dilewatkan?
Jadi, dengan kata lain, memang ada “genre perspektif” yang tidak disebutkan atau justru sengaja dilewatkan oleh Dr. Asvi. Meskipun sebenarnya tidak terlalu mirip versi pemerintah di satu sisi dan penulisnya berada di luar pengaruh pemerintah di sisi lain, baik yang terbit sebelum Soeharto lengser maupun setelahnya.
Selain beberapa sumber di atas, Dr. Asvi melewatkan beberapa buku dan dokumen penting. Misalnya:
Yang paling jelas terlewat setelah kejatuhan Soeharto adalah karya Fic yang terbit tahun 2004 di India berjudul Anatomy of The Jakarta Coup. Versi terjemahannya diterbitkan Obor pada 2005.
Deklasifikasi dokumen Kementerian Luar Negeri Amerika pada 2001 tentang Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara.
Buku Antonie Dake berjudul Sukarno Files: 1965-1967 yang terbit tahun 2006 versi Bahasa Inggris (2005 versi Bahasa Indonesia).
Buku Helen Louser Hunter berjudul Sukarno and The Indonesian Coup. The Untold Story yang terbit tahun 2007.
Buku Bradley Simpson yang terbit pada tahun 2008 berjudul The Economist with Guns.
Deklasifikasi dokumen Kementerian Luar Negeri Cina (2008).
Karya ilmiah Taomo Zhou yang terbit tahun 2013. Semuanya terbit setelah Soeharto lengser dan sebelum naskah pidato Dr. Asvi.
Karya-karya ini sangat penting karena sama sekali berbeda dengan kubu yang berpihak pada Cornel Paper juga berbeda dengan versi pemerintah. Meskipun menghadirkan kesimpulan yang hampir mirip dengan versi pemerintah, namun karya-karya mereka sangat didukung oleh data mutakhir dan metode kajian yang ketat di satu sisi dan di luar jangkauan pengaruh pemerintah di sisi lain.
Dan menurut saya, karya-karya dan bahan-bahan tersebut pada akhirnya membuat buku-buku terbitan baru tentang G 30 S dan DN Aidit setelah tahun 2008 (setelah deklasifikasi dokumen Kementerian Luar Negeri Cina) tidak lagi fokus pada pelaku kudeta, seolah-seolah sudah menerima fakta bahwa PKI adalah dalangnya, lalu mereka beralih fokus kepada masalah pembunuhan massal selepas kejadian 1 Oktober. Bahkan sudah mulai memakai kata genoside.
Benarkah G 30 S adalah masalah internal TNI?
Seperti yang telah kita pahami, Cornell Paper memaknai peristiwa G 30 S sebagai masalah internal TNI Angkatan Darat. Sebagaimana pernyataan pertama yang bertanda tangan Letnan Kolonel Untung di pagi hari via RRI tanggal 1 Oktober.
Dalam pernyataan kelompok yang menamakan dirinya Gerakan 30 September atau kita kenal sebagai G 30 S itu juga dijelaskan bahwa tindakan mereka tidak ada kaitan dengan PKI sama sekali. Sebuah pernyataan yang tidak bisa begitu saja dimaknai demikian. Secara terselubung, pernyataan itu seperti menyelamatkan 1 kubu yang sedang berseteru. Boleh jadi, pernyataan itu setara dengan pernyataan Anas Urbaningrum yang berbunyi, “Gantung di Monas kalau terbukti korupsi.” Ujung ceritanya tentu kita sudah mengetahui.
Bahkan jika membaca Paper Cornell, yang dibuat pada awal 1966 dan sempat beredar terbatas sebelum resmi dipublikasi pada 1971, laporan tersebut terpaku pada friksi Angkatan Darat semata. Oleh sebab itu, sangat wajar jika hasilnya demikian.
Makanya, mereka menggunakan istilah abortive coup alias digagalkannya rencana coup oleh personel junior di Angkatan Darat. Keterbatasan tersebut diakui secara pribadi oleh Anderson di kata pengantar terbitan resminya (1971). Begitu pula dalam pengantar McTurnan Kahin yang dengan jelas mengatakan bahwa dia tidak sepenuhnya sependapat dengan isi Cornell Paper.