Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Meraba Ulang Peristiwa G 30 S: Miskalkulasi Fatal DN Aidit

Jika kembali kepada konteks global, suasana Perang Dingin, kita dengan sederhana bisa memaknai peristiwa G 30 S adalah peristiwa menangnya kubu Barat melalui tangan Soeharto dan Nasution atas Blok Komunis Soviet dan Cina.

Ronny P. Sasmita oleh Ronny P. Sasmita
29 September 2022
A A
Meraba Ulang Peristiwa G 30 S: Miskalkulasi Fatal DN Aidit MOJOK.CO

Ilustrasi Meraba Ulang Peristiwa G 30 S: Miskalkulasi Fatal DN Aidit. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Alur pembahasan dan analisis terkait peristiwa G 30 S dipenuhi intrik dan nuansa misteri. Termasuk di dalamnya miskalkulasi yang dilakukan DN Aidit.

Sebagai generasi yang lahir di tahun 1980an dan mengalami masa perkuliahan jauh hari setelah reformasi bergulir, pada mulanya saya merasa kurang “ngeh” dan “sreg” berurusan dengan topik Gerakan 30 September 1965 atau G 30 S atau DN Aidit. Entah kenapa. 

Oleh sebab itu, ketika mendapat bahan-bahan, terutama buku dan hasil penelitian tentang materi tersebut, saya “skip” dengan apriori. Bahan-bahan tersebut tetap saya simpan sebagai bagian dari koleksi buku saya, terutama berupa ebook di ponsel dan notebooks. 

Setelah itu, saya memilih fokus memberikan prioritas pada bacaan-bacaan yang terkait dengan bidang saya. Misalnya bidang ekonomi, terutama ekonomi makro, ekonomi internasional, dan ekonomi politik internasional. Lainnya, saya juga suka sejarah ekonomi (Amerika, Rusia, Uni Eropa, Jepang, dan Cina), menyangkut sejarah kapitalisme global, moneter, krisis ekonomi, sejarah pemikiran ekonomi, dan sejenisnya. 

Saya berusaha sedemikian rupa, dengan segala resources dan koneksi untuk mendapatkan bahan-bahan mutakhir terkait semua topik tersebut. Tidak ada tempat untuk tema G 30 S atau DN Aidit.

Sejarah Perang Dingin yang menentukan

Seiring berjalannya waktu, masih tanpa tema G 30 S atau DN Aidit, minat saya berkembang. Masih tentang sejarah, saya mendalami sejarah Perang Dunia, baik pertama maupun kedua, kajian perang dingin, perkembangan geopolitik global, dan isu-isu terkait gejala Perang Dingin Baru (New Cold War) antara Amerika dan Cina.

Minat ini yang membuat saya kemudian cukup akrab, bahkan menyenangi pakar-pakar sejarah Perang Dingin. Tokoh yang saya kagumi, antara lain Odd Arne Westad, John Paul Gaddis, David Miller, Margaret MacMillan, Ralph B Levering, Melvyn P Leffler, Timothy J Lynch, James Callanan (khusus covert action di masa Perang Dingin), Philip Jenkin, Martin Sixsmith, Andrew Bacevich, dan puluhan nama lainya. 

Perjalanan intelektual tersebut membawa saya pada topik tentang pecah kongsi antara Uni Soviet dan Cina sejak 1956. Perpecahan itu terjadi tepat di tengah-tengah Perang Dingin antara Uni Soviet dan Amerika, pun antara Amerika dan Cina (segitiga Perang Dingin). 

Kajian Perang Dingin dan buku-buku tentang pecah kongsi antara Moskow dan Beijing tersebut, meski tak banyak, mau tak mau, membawa saya kembali ke Indonesia. Kamu pasti tahu kalau negara kita ini adalah salah satu spot geopolitik terjadinya perebutan pengaruh, baik antara Moskow dan Beijing, maupun dengan Kubu Barat, dan masih tidak ada tempat untuk tema G 30 S atau DN Aidit.

Bahan bacaan Perang Dingin

Kalau saya ingat lagi, memang tidak banyak buku yang mendalami pecah kongsi Beijing dan Moskow. Jelas tak sebanyak buku-buku soal Perang Dingin itu sendiri. Beberapa buku terkait Perang Dingin di Asia, pecah kongsi Beijing dan Moskow, pun terkait peran Cina, di antaranya adalah, Mao’s China and The Cold War (2001) karya Chen Jian, The Sino-Soviet Split. Cold war in the communist world (2008) karya Lorenz M. Lüthi. Dia juga menerbitkan buku baru tahun 2020 dengan judul Cold War. Asia, Middle East, Europe.

Beberapa buku babon yang bisa kamu baca jika tertarik dengan tema ini, antara lain: Shadow Cold War: The Sino-Soviet Competition for the Third World (2018) karya Jeremy Friedman. Southeast Asia’s Cold War: An Interpretive History (2019) karya Cheng Guan Ang. Mao’s Third Front. The Militarization of Cold War China (2020) karya Covell F. Meyskens. Dan berapa judul lain. 

Banyak tulisan tentang Perang Dingin yang membahas isu split antara Cina dan Soviet. Meskipun, sayangnya tidak terlalu panjang, bahkan kurang dari 1 bab. Misalnya di dalam buku karya David Mozingo yang berjudul China Policy Toward Indonesia (1970) dan beberapa kajian Rizal Kusuma tentang pecahnya kongsi ini. Sampai sini pun, tema G 30 S atau DN Aidit belum menarik minat saya. Namun, rangkaian buku dan tulisan ini penting untuk saya sampaikan di awal.

Lanjut, ya. Salah 1 bacaan menarik yang pernah saya dapatkan terjadi pada 2016. Bacaan yang saya maksud adalah pidato sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Asvi Warman Adam. Beliau memberi judul: “Fifty Years Study Of The 30th September Movement (5 Episode + 5 Aspects + 5 Solutions)”.

Pidato ini beliau sampaikan ketika menjadi keynote speaker di acara International Symposium Indonesian Relations with the World: Japanese Studies 50 years after 1965, yang dihelat di LIPI Jakarta, 18-19 September 2015.

Iklan

Lompatan ide seorang doktor

Di luar konteks itu, tahun 2016, saya mendapat materi pidato sejarawan LIPI, Dr. Asvi Warman Adam, “Fifty Years Study Of The 30th September Movement (5 Episode + 5 Aspects + 5 Solutions)’ yang menjadi naskah sambutan beliau sebagai Keynote Speaker pada International Symposium Indonesian Relations with the World: Japanese Studies 50 years after 1965, di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta, 18-19 September 2015.

Saya menemukan “lompatan” yang menarik dari naskah pidato Dr. Asvi. Beliau melompat begitu saja dari cara pandang Cornell Paper (A Preliminary Analysis of October 1, 1965 Coup in Indonesia) yang ditulis oleh Benedict Anderson dan Ruth T. McVey sebagai gelombang kajian pertama, ke cara pandang versi pemerintah sebagai gelombang kajian ke dua. 

Setelah itu, beliau melompat ke kajian terhadap pengakuan-pengakuan korban pembersihan komunisme setelah Soeharto lengser sebagai gelombang ketiga. Gelombang keempat masuk ke buku John Roosa versi Bahasa Inggris yang berjudul Pretext to Mass Murder (2006). Namun, Dr. Asvi menyebutnya terbitan tahun 2008. Saya yakin beliau mengacu ke tahun terbit buku John Roosa versi Bahasa Indonesia.

Padahal, spirit Cornell Paper itu hanya beda tipis dengan tulisan John Roosa. Bahkan yang membiayai penelitian mereka juga terbilang sama, yakni yayasan Rockefeller. Walhasil, saya merasa terpaksa untuk membuka kembali bahan-bahan yang saya simpan secara apriori tadi.

Lompatan yang penting untuk dipelajari

Lantas, mengapa saya mengatakan ada lompatan dalam naskah pidato Dr. Asvi? Dalam pembacaan saya, memang ada cara pandang yang benar-benar persis milik pemerintah sebelum Nugroho Notosusanto menerbitkan secara resmi versi pemerintah, setelah Cornell Paper. 

Mereka adalah Arnold Brackman dalam bukunya yang berjudul In the Collapse of Indonesian Communism (1970) dan setahun sebelumnya, Guy J Parker, dalam laporannya untuk angkatan udara Amerika yang disponsori Rand Corporation. Judulnya The Rise and Fall of Indonesian Communism. Mereka meyakini pelaku abortive coup adalah PKI. 

Namun, pada tahun 1968, Victor M. Fic sudah menghadirkan makalah di Konferensi Sejarah Asia Tenggara yang isinya menentang Cornell Paper. Menggunakan data-data yang cukup meyakinkan, Fic menyimpulkan bahwa pelakunya bukan PKI saja. Sebuah “kesimpulan yang sama-sama diyakini” oleh Brackman, Parker, dan pemerintah Indonesia. Menurut Fic, Sukarno dan Cina juga jelas-jelas terlibat. 

Pandangan Fic didukung oleh Antonie Dake lewat bukunya yang berjudul In the Spirit of Red Banteng (1972). Perbedaannya dengan versi pemerintah cukup jelas. Seperti kata Antonie Dake, pemerintah Order Baru mengesampingkan peran bung Karno alias hanya fokus pada plot yang disiapkan oleh PKI. Lalu, masih menurut Fic, bahkan tidak hanya Sukarno, tapi juga Cina yang dengan jelas-jelas ada di dalamnya. 

Pada 2004, lewat salah 1 bukunya, Fic mengungkapkan bahwa sebenarnya Soeharto dan Angkatan Darat bisa menjerat Sukarno di persidangan Mahmilub. Konon, ada cukup banyak bukti yang bisa dipakai, tapi pemerintah melalui penyidik dan jaksa penuntut memilih mengabaikannya.

Sengaja dilewatkan?

Jadi, dengan kata lain, memang ada “genre perspektif” yang tidak disebutkan atau justru sengaja dilewatkan oleh Dr. Asvi. Meskipun sebenarnya tidak terlalu mirip versi pemerintah di satu sisi dan penulisnya berada di luar pengaruh pemerintah di sisi lain, baik yang terbit sebelum Soeharto lengser maupun setelahnya. 

Selain beberapa sumber di atas, Dr. Asvi melewatkan beberapa buku dan dokumen penting. Misalnya:

Yang paling jelas terlewat setelah kejatuhan Soeharto adalah karya Fic yang terbit tahun 2004 di India berjudul Anatomy of The Jakarta Coup. Versi terjemahannya diterbitkan Obor pada 2005.

Deklasifikasi dokumen Kementerian Luar Negeri Amerika pada 2001 tentang Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara.

Buku Antonie Dake berjudul Sukarno Files: 1965-1967 yang terbit tahun 2006 versi Bahasa Inggris (2005 versi Bahasa Indonesia).

Buku Helen Louser Hunter berjudul Sukarno and The Indonesian Coup. The Untold Story yang terbit tahun 2007.  

Buku Bradley Simpson yang terbit pada tahun 2008 berjudul The Economist with Guns. 

Deklasifikasi dokumen Kementerian Luar Negeri Cina (2008).

Karya ilmiah Taomo Zhou yang terbit tahun 2013. Semuanya terbit setelah Soeharto lengser dan sebelum naskah pidato Dr. Asvi. 

Karya-karya ini sangat penting karena sama sekali berbeda dengan kubu yang berpihak pada Cornel Paper juga berbeda dengan versi pemerintah. Meskipun menghadirkan kesimpulan yang hampir mirip dengan versi pemerintah, namun karya-karya mereka sangat didukung oleh data mutakhir dan metode kajian yang ketat di satu sisi dan di luar jangkauan pengaruh pemerintah di sisi lain. 

Dan menurut saya, karya-karya dan bahan-bahan tersebut pada akhirnya membuat buku-buku terbitan baru tentang G 30 S dan DN Aidit setelah tahun 2008 (setelah deklasifikasi dokumen Kementerian Luar Negeri Cina) tidak lagi fokus pada pelaku kudeta, seolah-seolah sudah menerima fakta bahwa PKI adalah dalangnya, lalu mereka beralih fokus kepada masalah pembunuhan massal selepas kejadian 1 Oktober. Bahkan sudah mulai memakai kata genoside.

Benarkah G 30 S adalah masalah internal TNI?

Seperti yang telah kita pahami, Cornell Paper memaknai peristiwa G 30 S sebagai masalah internal TNI Angkatan Darat. Sebagaimana pernyataan pertama yang bertanda tangan Letnan Kolonel Untung di pagi hari via RRI tanggal 1 Oktober. 

Dalam pernyataan kelompok yang menamakan dirinya Gerakan 30 September atau kita kenal sebagai G 30 S itu juga dijelaskan bahwa tindakan mereka tidak ada kaitan dengan PKI sama sekali. Sebuah pernyataan yang tidak bisa begitu saja dimaknai demikian. Secara terselubung, pernyataan itu seperti menyelamatkan 1 kubu yang sedang berseteru. Boleh jadi, pernyataan itu setara dengan pernyataan Anas Urbaningrum yang berbunyi, “Gantung di Monas kalau terbukti korupsi.” Ujung ceritanya tentu kita sudah mengetahui. 

Bahkan jika membaca Paper Cornell, yang dibuat pada awal 1966 dan sempat beredar terbatas sebelum resmi dipublikasi pada 1971, laporan tersebut terpaku pada friksi Angkatan Darat semata. Oleh sebab itu, sangat wajar jika hasilnya demikian. 

Makanya, mereka menggunakan istilah abortive coup alias digagalkannya rencana coup oleh personel junior di Angkatan Darat. Keterbatasan tersebut diakui secara pribadi oleh Anderson di kata pengantar terbitan resminya (1971). Begitu pula dalam pengantar McTurnan Kahin yang dengan jelas mengatakan bahwa dia tidak sepenuhnya sependapat dengan isi Cornell Paper.

Halaman 1 dari 2
12Next

Terakhir diperbarui pada 7 Oktober 2022 oleh

Tags: aiditDN Aiditg 30 sgestoknasutionPKISoehartoSukarno
Ronny P. Sasmita

Ronny P. Sasmita

Penikmat Kopi dan Penggemar Berat Billy Joe Amstrong. Analis Senior di Indonesia Strategic and Economic Action Institution.

Artikel Terkait

Nasib buruh usai Marsinah jadi pahlawan nasional. MOJOK.CO
Ragam

Suara Hati Buruh: Semoga Gelar Pahlawan kepada Marsinah Bukan Simbol Semata, tapi Kemenangan bagi Kami agar Bebas Bersuara Tanpa Disiksa

12 November 2025
Kami Berdoa Setiap Hari agar Soeharto Jadi Pahlawan Nasional MOJOK.CO
Ragam

Kami Berdoa Setiap Hari agar Soeharto Jadi Pahlawan Nasional. Sejarawan: Pragmatis dan Keliru

11 November 2025
Suara Marsinah dari Dalam Kubur: 'Lucu! Aku Disandingkan dengan Pemimpin Rezim yang Membunuhku'.MOJOK.CO
Ragam

Suara Marsinah dari Dalam Kubur: ‘Lucu! Aku Disandingkan dengan Pemimpin Rezim yang Membunuhku’

10 November 2025
Alasan Soeharto tak layak dapat gelar pahlawan, referensi dari buku Mereka Hilang Tak Kembali. MOJOK.CO
Aktual

Buku “Mereka Hilang Tak Kembali”, Menyegarkan Ingatan bahwa Soeharto Tak Pantas Dapat Gelar Pahlawan, tapi Harus Diadili Mantan Menantunya

1 November 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.