Menjunjung Tinggi Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia tapi Berlogat Jakarta

MOJOK.CO – Bahasa persatuan kita bahasa Indonesia. Katanya sih biar bhineka tunggal ika, ternyata malah bhineka tunggal Jakarta!

Di Bulan Bahasa kali ini, rasanya tak ada salahnya kita membayangkan suasana debat kongres Sumpah Pemuda 90 tahun lalu. Saat itu, tentu saja jong Batak, jong Jawa, jong Ambon, dan jong-jong lainnya ngomong pakai bahasa Melayu dengan logat daerah masing-masing.

Hmm. Pasti lucu di telinga, ya?

Nah, coba sekarang jong-jong milenial suruh rapat hari ini: isinya pasti ungkapan “lo-gue lo-gue” yang njakarta semua! Apa pasal? Ya biar nggak ketahuan kalau mereka-mereka itu sebenarnya adalah jong daerah, jong-jong yang udik, kampungan, sekaligus ndeso.

FYI aja, Indonesia tercinta punya lebih dari 700 bahasa daerah. Jumlah ini belum ditambah pula dengan hitungan dialek-dialek di dalam bahasa daerah tersebut. Sebagai contoh, bahasa Jawa saja masih terbagi dalam dialek Mataraman, Banyumasan, Tegal, dan lain-lain, plus logatnya. Logat Jogja dan Solo, misalnya, adalah dua logat yang berbeda meskipun sama-sama dialek Mataram.

Dengan banyaknya bahasa lokal di Indonesia, kita jelas beruntung punya bahasa nasional. Coba saja bandingkan dengan India yang punya yang semilyar lebih penduduk dan ratusan (bahkan ribuan) bahasa etnik. Di tengah ‘kehebohan’ itu, India tidak punya bahasa nasional. Mereka memakai bahasa Inggris sebagai bahasa administrasi saja dan tetap menggunakan bahasa masing-masing antaretnis. Bahasa Hindi memang menjadi bahasa yang dominan, tapi tidak semua etnis bisa bicara bahasa Hindi. Mungkin hal ini disebabkan oleh Pandawa-Kurawa dahulu kala di sana sibuk perang, sampai-sampai lupa bikin kongres pemuda untuk memilih bahasa nasional.

Di Indonesia, kita sepakat bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi nasional sekaligus lingua franca alias bahasa pemersatu. Tapi, kenapa logat betawi Jakarta harus menjadi tolok ukur kekerenan dalam berbahasa Indonesia? Bukankah setiap daerah harus mengembangkan potensinya? Tapu kenapa aksen bicara pun harus ikut “pusat”?

Sebelum kita menuduh bahwa semua ini adalah salah Jokowi, ketahuilah bahwa sebenarnya media penyiaran merupakan pihak paling bertanggungj awab dalam pengultusan logat ibu kota itu.

TV adalah biang kerok utamanya. Lihat saja semua presenter, pembaca berita, komentator bola, kuis, komedi, sinetron, hingga Uya Kuya—semua berlogat sama: logat betawi Jakarta! Belum lagi di internet; bahasa untuk nge-vlog di YouTube dan Instagram Story akan terasa lebih enak didenger bila diucapkan dengan logat Jakarta. Alhasil, netizen dari daerah pun berusaha keras meniru logat tersebut.

Radio juga sama saja. Ini pengalaman pribadi saya siaran radio di Jogja. Untuk bisa menjadi penyiar radio gaul di Jogja, syarat utamanya adalah TIDAK BOLEH MEDHOK (harus ditulis medhok supaya membedakan dengan medok yang dalam bahasa Jawa artinya main perempuan). Bahkan jika calon penyiar radio lolos seleksi wajah good looking, pintar, gaul, tapi masih medhok, dia harus mengikuti training khusus untuk menghilangkan medhoknya yang bisa memakan waktu berbulan-bulan. Malah, penyiar radio di Jogja sekarang ngomongnya sudah “lo-gue lo-gue”!

Logat asli mereka dikebiri hanya supaya terdengar seperti penyiar radio di Jakarta. Memang tetap ada radio dan TV lokal yang penyiarnya medhok, bahkan menggunakan bahasa Jawa. Namun jelas, jumlahnya kalah dibandingkan dengan yang berlogat gaul-gaul itu. Di daerah-daerah lain, gejala pengebirian logat lokal seperti ini juga terjadi. Hal ini membuat saya teringat cerpen Ni Komang Ariani, Lidah, sebuah satir tentang orang-orang Bali yang menghilangkan aksen “th” supaya bisa membaur dengan lidah metroseksual Jakarta.

Di sinilah kesenjangan berbahasa sebenarnya telah muncul. Kebhinekaan dalam bahasa persatuan Indonesia yang katanya ‘tunggal ika’, kini menjelma ‘tunggal Jakarta’.

Yang lebih menyedihkan lagi, logat-logat daerah yang kelihatan udik itu justru dijadikan bahan becandaan,  ece-ecenan di TV. Simak saja, terutama di acara-acara hiburan. Ketika ada artis ngomong pakai logat Batak, Jawa, Tegal, Ambon, Papua, penonton gerrrr—tertawa semua. Lalu artis lain yang berlogat Jakarta akan berusaha menirukan logat daerahnya, yang ternyata salah, dan lucu, dan penonton gerrr lagi. Orang-orang yang nonton TV di rumahnya di pelosok-pelosok nusantara sana pun akhirnya tahu bahwa kalau mereka ngomong pakai logat daerah, jelas akan ditertawai dan diece orang. Haduh!

Perhatikan juga beberapa artis dari daerah. Kalau sudah go nasional, alias jadi artis ibu kota, mereka pun akan berusaha berbicara dengan logat Jakarta juga. Sering kali, mereka beralasan hal tersebut terjadi karena pengaruh lingkungan, tapi… halah, itu mengada-ada! Buktinya, tokoh sekaliber David Beckham juga sudah lama tinggal di Amerika, tapi tetap aja beraksen British, tuh. Malah, doi nggak pernah berusaha menghilangkan lidah lokalnya itu!

FYI, meskipun saya termasuk Sheila Gank (penggemar band Sheila On 7), saya sebenernya agak risih juga denger Mas Duta shampoo lain berusaha menyamarkan konsonan “d, dh, t, th” yang jadi ciri khas bahasa Jawa saat bicara di TV nasional. Padahal, dulu saat masa-masa promosi album-album awal Sheila On 7 berlangsung, masih kentara banget lho medhok Jogjanya Mas Duta. Tapi sekarang, logatnya sudah serupa logat ibu kota, Gaes.

Stereotip “yang-lokal-yang-adalah-yang-udik”—terutama dalam kebahasaan—adalah jarak atau ketimpangan yang sebenarnya kita ciptakan sendiri. Tenang saja, tulisan ini tidak bermaksud diskriminatif, ya, jong netizen, jadi tolong jangan di-salty-in di-bully dan dicap merendahkan suku-suku di Indonesia. Justru kita musti otokritik pada diri kita sendiri, Gaes!

Ibaratnya, kalau tidak bisa adil sejak dari jidat, minimal adillah sejak dalam cocotmu dulu saja. Ingat, jangan diskriminatif sama logat aslimu!

Exit mobile version