Mengubah Skenario Layangan Putus

Menjadi penutup kekecewaan saya di serial Layangan Putus adalah: Kenapa harus Reza Rahadian (lagi)?

Mengubah Skenario Layangan Putus MOJOK.CO

Ilustrasi Layangan Putus. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COTidak ada pesan moral yang lebih baik dari Layangan Putus selain sekadar berhati-hati saat melakukan perselingkuhan. Eh, itu pesan moral nggak, ya?

Seminggu yang lalu, kontrakan tempat saya tinggal mendadak heboh di tengah malam. Tiga teman saya, dengan perawakan laki-laki gagah pada umumnya, mendadak saling bersahutan menceritakan serial Layangan Putus di WeTv. Saya yang sedang sibuk membuat desain di aplikasi Canva merasa sedikit risih dengan obrolan mereka.

Seorang teman saya berkata, “Nangis dulu lah!”.

Yang lain lagi setengah mengumpat, “Dancook! Film asu!

Seorang lagi yang masih sibuk menghadap hape dan menggunakan headset sering mengulang kata-kata fuck tiap beberapa menit sekali. Seakan-akan bereaksi di tiap adegan dalam serial itu.

Hampir satu jam mereka membicarakan Layangan Putus. Saya tahu, lama-kelamaan, saya akan disuruh menonton serial yang mereka bicarakan. Benar saja, belum sempat saya bertanya, salah satu dari mereka meminta saya untuk nonton Layangan Putus. “Hukumnya wajib, karena ini kamu banget, Mas,” ucapnya.

Mohon maaf sebelumnya, untuk para sineas Indonesia. Saya terlalu sering dikecewakan dengan film atau serial bikinan Indonesia. Ketika saya baru merasa bangga dengan satu judul film, biasanya akan ada lima film buruk menyusul di belakangnya.

Contoh. Saat AADC 1 atau The Raid muncul, berapa banyak film receh yang tayang di bioskop setelahnya. Mending kalau receh tapi digarap dengan baik. Kebanyakan terlalu menyebalkan untuk dibahasakan.

Mulai dari lighting yang terlalu terang, sampai adegan dramatis yang tidak perlu. Ada juga soundtrack yang dibikin dadakan dan rasa-rasanya dibayar murah juga. Padahal, musik juga salah satu pendukung penting sebuah film. Bayangkan, betapa mennggelikannya Interstellar atau Pirates Of The Carribean kalau diisi sama lagu seperti “The Man Who Can’t Be Move”-nya The Script dan “Rollin”-nya Limp Bizkit di setiap adegannya. Nangis.

Digoda Layangan Putus

Pukul dua dini hari, saya masuk kamar dan berniat untuk tidur, meninggalkan tiga teman saya yang masih sibuk membicarakan Layangan Putus. Rasa penasaran sekaligus takut dikecewakan akhirnya membuat saya sulit tidur.

Tepat pukul tiga pagi, saya putuskan untuk menonton serial itu dengan segala konsekuensinya. Bodo amat, pikir saya. Lagipula sudah lama saya tidak menonton film atau serial bikinan Indonesia.

Dugaan saya ternyata salah, di tiga episode awal, napas saya dibuat tidak beraturan karena greget. Cerita seperti ini sudah lama tidak saya rasakan. Benar kata salah satu teman saya tadi, cerita ini saya banget. Tentu yang dimaksud adalah soal perselingkuhannya. Dan setelah menonton, saya seperti tercerahkan. Bahwa saya jauh lebih rapi dalam bertindak dan membuat alibi ketika selingkuh. Duh. Maaf.

Supaya kalian kebayang apa yang ada di kepala saya saat itu, jadi, beberapa film favorit saya dalam soal intrik percintaan itu antara lain, Wicker Park, Closer, No String Attached sampai drama komedi semodel Friend With Benefits atau Crazy, Stupid, Love.

Bukan berarti saya tidak suka menonton film modelan Sicario, Se7en, Thor, The Transporter atau bahkan Fantastic Beasts dan A Lot Like Love. Rasanya hampir semua film saya “makan”. Dari situ pula saya belajar bagaimana film itu berhasil membuat emosi penontonya terpengaruh karena diisi soundtrack yang tepat.

Kembali ke soal Layangan Putus, di awal saya sudah menebak bahwa sang suami akan menjadi tukang selingkuh yang bodoh dan nggak rapi. Sepanjang saya menonton empat seri awal, pertanyaan dan rasa penasaran mengenai tokoh Aris ini terus muncul di kepala.

Apakah memang sengaja dibuat tidak rapi agar serial ini cepat selesai? Cepat ketahuan dan berakhir lalu akan muncul Layangan Putus season 2?

Padahal, kalau memang mau dibuat bagus, tidak perlu buru-buru membuat season selanjutnya. Penonton dibikin dalam suasana tanggung malah lebih baik menurut saya. Atau skenario yang kedua? Sang sutradara atau penulis naskah Layangan Putus memang nggak jago selingkuh dan hanya bisa membuat alur cerita perselingkuhan seperti itu saja?

Seorang teman perempuan saya pernah berkata kalau laki-laki itu semakin kaya semakin nakal. Sementara itu, perempuan itu semakin nakal semakin kaya. Lah, terus si Aris ini sudah kaya dan ditunjang segala fasilitas perselingkuhan dengan baik dan benar tapi malah bodoh dan nggak rapi.

Saya sudah menebak kebodohan sang suami sejak bau parfum yang berbeda sering dicium oleh istrinya. Ekspektasi saya tentang betapa ideal dan canggihnya sang suami menjadi peselingkuh andal langsung gugur di awal. Sudah tahu kalau dia, Aris, yang takut kehilangan istrinya, dia tidak membawa pakaian ganti tiap datang ke penthouse simpanannya.

Lalu seringnya pamit rapat dan urusan kantor sampai larut malam. Memang Jakarta sangat mendukung untuk alibi pulang malam karena pekerjaan. Belum lagi kalau ditambah alasan macet karena salah belok di jalan. Misalnya, malah masuk ke arah Jakarta Pusat atau nyasar ke Pasar Minggu pas jam pulang kantor. Kenapa nggak muncul skenario seperti itu. Malah alasannya tendar-tender nggak jelas yang kalau ditanya juga gelagepan. Layangan Putus terlalu nggak rapi pokoknya.

Jack Office

Pesan buat kalian yang mau main api: tidak usah menamai seseorang dengan nama yang tidak bisa kalian kuasai karakter dan latar belakangnya. Jadi, kalau suatu saat dicurigai, kalian bisa menjawabnya dengan tenang. Bisa menjelaskan siapa nama yang sering chat atau menelpon itu. Apa alasannya dia menghubungi tengah malam atau di jam-jam luar kantor.

Harusnya, Aris juga sudah lebih bisa tegas kepada selingkuhannya kalau dia hanya bisa menghubungi di jam yang sudah disepakati. Kan selingkuhannya sudah tahu posisi dan tahu risiko, tidak perlu bereaksi berlebihan. Kalau perlu, Aris nge-blok nomor “Jack” setiap pulang ke rumah dan berhenti chat saat berjarak tiga meter dari istri. Tapi emang, dasar laki-laki puber yang ceroboh dan tidak punya taktik, dia sendiri yang mulai bikin kesalahan.

Turki

Ini scene yang membuat saya paling kesal. Saya, kalau selingkuh, nggak bakal mematikan hape. Alasannya pergi ke Turki itu bener-bener mem-fuck-up-kan semua cerita Layangan Putus dari awal.

Kita mulai dari scene “Sticky Notes” itu. Kenapa nggak pamit aja, sih, malam sebelum pergi? Ngapain pakai nempelin pesan seperti itu?

Harus berani izin, dong!

Diizinkan atau tidak sama istri itu sudah jadi risiko laki-laki tukang selingkuh. Aktifkan hape saat sudah sampai di tujuan. Jangan terus hilang ditelan bumi. Perempuan, kalau ditinggalkan tiba-tiba seperti itu, di dalam tanah pun pasti dicari sekadar untuk mendaptkan jawaban.

Seram.

Lalu soal Turki yang lain. Apa ya Aris nggak bisa memberikan janji manis lain untuk selingkuhannya selain pergi ke Turki? Ke Wakatobi kek, atau ke Labuan Bajo.

Kebodohan Layangan Putus di aspek prioritas menjadi cacat yang sering dimunculkan oleh karakter Aris ini. Laki-laki kadang suka bertindak bodoh saat takut kehilangan, hingga sebuah janji manis yang harusnya tidak dilakukan karena akan mencelakai diri sendiri akhirnya dilakukan.

Misalnya mengorbankan nyawa Reno yang seharusnya tidak perlu di-ada-ada-in. Come on, mendapatkan alur cerita tragis atau dramatis tidak perlu sampai sebegitunya.

Seandainya Kinan melahirkan lalu muncul perceraian dan akhirnya Aris tidak memiliki siapa-siapa tentu akan memperpanjang usia serial ini dan pengembangan cerita bisa lebih baik. Toh, sosok Kinan sebagai perempuan pemaaf terhadap suaminya yang muncul setelah badai hebat di hubungan mereka membuat orang yang menonton berharap ada pengembangan cerita Layangan Putus lagi.

Jadi, buat apa harus mengorbankan Reno yang justru bisa punya cerita sendiri di dalam serial ini? Entah Reno bisa menjadi alasan lain bagi Aris kembali berjuang untuk Kinan atau malah Lidia jatuh cinta dan sayang kepada Reno karena Reno ada dan tumbuh di saat mereka (Aris dan Lidia) membuat masalah. Embuhlah, Bro!

Kenapa harus Reza lagi?

Menjadi penutup kekecewaan saya di serial Layangan Putus adalah: Kenapa harus Reza Rahadian (lagi)?

Apakah sang sutradara tidak bisa memerintahkan kru atau siapa saja yang terlibat dalam Layangan Putus untuk memberikan referensi aktor selain nama itu tadi? Aktingnya memang bagus. Namun, ibarat tiap hari makan Indomie, sesekali boleh dong makan Mie Sedap dan Sarimi yang rasanya juga tidak kalah enak.

Christopher Nolan memang sering membawa Christian Bale, Michael Caine, Joseph Gordon-Levitt, Anne Hathaway, Cillian Murphy, Morgan Freeman sampai Tom Hardy di beberapa filmnya. Tapi tidak sebanyak Reza Rahadian.

Apalagi di beberapa adegan saat berbicara menggunakan Bahasa Inggris. Saya malah seperti sedang menonton film Habibie & Ainun. Sayang sekali, alur cerita yang lumayan sempurna dengan aktor dan aktris yang jarang saya lihat harus dicederai dengan kehadiran si aktor utama.

Tidak ada pesan moral yang lebih baik dari Layangan Putus selain sekadar berhati-hati saat melakukan perselingkuhan. Tahu mana prioritas dan kapan harus tegas. Tidak buta akan kondisi dan ceroboh. Jangan sampai depresi atau mengorbankan nyawa dan tahu kapan harus berhenti.

Untuk hal ini, saya acungi satu jempol untuk Layangan Putus di luar beberapa kekurangannya. Sudah lama saya tidak mendapatkan suguhan intrik percintaan dengan adrenalin rush seperti ini.

Kalau kemudian ada season dua, saya sih berharap ada penyempurnaan skenario agar intrik Layangan Putus makin terasa menyakitkan dan menyayat hati para penontonnya. Dan kalau produser atau sutradarnya mau berjudi, aktor utamanya perlu dipikirkan lagi.

BACA JUGA 5 Kekonyolan buat Mengakali Jalan Cerita Sinetron Indonesia dan ulasan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Khoirul Fajri Siregar

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version